Pemain Judi Online Mayoritas Berpenghasilan di Bawah Rp 5 Juta & Sudah Menikah
Dewi Agustina August 06, 2025 10:32 AM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Firman Hidayat mengungkap profil pemain judi online. 

Pemetaan profil pemain judi online ini dilakukan Firman dan DEN berdasarkan beragam hasil studi dari berbagai negara. 

Kemudian, ia cocokkan dengan data yang dimiliki Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Judi online merupakan bentuk perjudian yang dilakukan melalui internet, di mana pemain memasang taruhan uang pada permainan digital seperti slot, poker, togel, atau taruhan olahraga. 

Meski terlihat mudah dan menggiurkan, praktik ini memiliki dampak sosial, ekonomi, dan hukum yang sangat serius.

 

 

Merujuk data PPATK, Firman mengatakan rata-rata pemain judi online adalah seorang pria berusia 30 sampai 50 tahun. 

Di Hong Kong, penjudi usia muda trennya meningkat seiring dengan peningkatan judi online. 

Pemain judi online di negara ini memiliki kemungkinan ketagihan lebih tinggi 1,5 - 3,2 kali.

"Mereka mulainya biasanya muda. Kalau di Swedia itu bahkan di umur 15 sudah mulai," katanya dalam acara diskusi bertajuk "Strategi Nasional Memerangi Kejahatan Finansial" di Jakarta, Selasa (5/8/2025).

Berdasarkan studi di New York, Amerika Serikat (AS) ia mengatakan, para pemain judi ini adalah mereka yang memiliki pendapatan rendah. 

Firman menyebut pemain judi online ini rata-rata merupakan blue collar worker atau pekerja kerah biru.

Bila merujuk data PPATK, pemain judi online 70,7 persen berasal dari pekerja dengan berpenghasilan rendah (Rp 0 - 5 juta). 

"Orangnya berasal dari kelompok yang pendapatannya rendah, areanya juga dari area yang relatif kumuh dan lain-lainnya," ujar Firman.

Kemudian, berdasarkan studi yang dikumpulkan Firman, pemain judi juga rata-rata yang sudah menikah. 

Hal itu lah yang membuat banyak sekali kasus kekerasan dalam rumah tangga akibat judi. 

Ini banyak terjadi di berbagai negara selain Indonesia.

Firman mengungkap sebuah penelitian dari Taiwan yang menunjukkan bahwa penolakan untuk menyerahkan uang untuk perjudian atau alkohol dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.

Bahkan, ada satu perhitungan di Australia, dimana berbagai masalah hubungan keluarga menyumbang 65 persen dari total biaya perjudian. 

PPATK melaporkan setelah pembekuan rekening dormant dilakukan deposit judi online (judol) langsung menurun.  

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan pada April 2025 deposit judi online mencapai Rp 5 triliun, tetapi jumlah tersebut terus melandai.

Pada Juni 2025, data PPATK menunjukkan nilai deposit judol tinggal Rp 1 triliun. 

Nilai deposit judi online (judol) anjlok lebih dari 70 persen pada periode April hingga Juni 2025.

"Dari Rp 5 triliun lebih menjadi hanya Rp 1 triliun lebih," kata dia.

Penurunan juga terjadi pada banyaknya transaksi judi online. 

Pada April 2025, frekuensi transaksi judol mencapai 33,23 juta kali transaksi. 

Angka itu susut menjadi hanya sebesar 2,79 juta kali transaksi pada Juni 2025 

"Ini kan semua hasil positif, sesuai Asta Cita dan Indonesia Emas," ujar Ivan.

Perputaran uang dari praktik judi online di Indonesia diperkirakan bisa menembus Rp 1.200 triliun pada akhir tahun 2025. 

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sinyal bahaya bahwa kejahatan digital telah berkembang melampaui kemampuan pendekatan konvensional.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menegaskan bahwa sistem lama sudah tidak relevan lagi untuk menghadapi kompleksitas kejahatan finansial berbasis teknologi. 

Menurutnya, dibutuhkan sinergi lintas sektor mulai dari regulator, pelaku industri, hingga masyarakat sipil untuk menutup celah penyalahgunaan teknologi keuangan.

"Upaya-upaya ini bisa memperkuat integritas ekosistem digital dan mempersempit celah penyalahgunaan teknologi keuangan oleh pihak tidak bertanggung jawab," ujar Ivan. (Tribun Network/daz/wly)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.