DeSoto adalah mobil dinas pertama Bung Hatta sebagai Wakil Presiden. Konon mobil ini pernah dijadikan oplet oleh pemilik baru sebelum dibeli kembali oleh sang Bapak Koperasi.
Artikel ini tayang di Majalah Intisari edisi 2016 dengan judul "Cerita Lama Mobil Hatta" oleh T. Tjahjo Widyasmoro
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Dalam keseharian, Bung Hatta dikenal sebagai pribadi yang terpelajar dan santun. Bisa jadi karena pembawaannya itu, dia tidak terlalu mengurus soal kendaraan yang dipakainya. Lewat mobil dinas, Hatta bahkan bisa menunjukkan kejujurannya.
Di zaman pemerintah kolonial Belanda, gedung megah di Jalan Menteng Raya nomor 31, Jakarta Pusat, itu adalah sebuah hotel. Namanya Hotel Schomper yang diambil dari nama pemiliknya, keluarga L.C. Schomper. Di zaman penjajahan Jepang, Gunseikanbu Sendenbu atau Jawatan Propaganda Jepang berkantor di sana. Dan setelah merdeka, gedung itu menjadi Museum Joang ’45.
Gedung yang terawat rapi itu terasa istimewa bukan hanya karena menyimpan benda-benda peninggalan sejarah kemerdekaan. Namun juga karena halaman belakangnya menjadi rumah bagi tiga mobil peninggalan Sukarno dan Hatta. Ketiganya ditempatkan di dalam sebuah garasi berkaca, karena sekaligus menjadi pertunjukan bagi pengunjung museum.
Mobil peninggalan Hatta berada di tengah, bermerek DeSoto (divisi dari Chrysler Corporation Amerika Serikat) produksi tahun 1942. Di kiri-kanannya ada mobil peninggalan Sukarno yakni Buick-8 tipe Limited-8 dengan 5.247 cc produksi tahun 1939 serta Chrysler Imperial 38.
Mobil-mobil ini patut dilestarikan karena menjadi saksi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, awal kemerdekaan. Mobil Buick-8 berpelat nomor “Rep-1” itu misalnya, merupakan mobil pertama Kepresidenan RI. Sejarahnya juga unik, karena merupakan mobil paling mewah saat itu dan dicuri dari seorang pejabat pemerintahan Jepang.
Adapun Chrysler Imperial 38 adalah mobil yang menjadi saksi percobaan pembunuhan presiden di Sekolah Cikini, 30 November 1957. Peristiwa pelemparan granat ke arah Soekarno itu sendiri mengakibatkan korban 9 orang tewas dan 100 orang luka-luka. Mobil itu terkena juga kerusakan di spakbor kiri dan kaca belakang yang bekasnya masih dipertahankan hingga sekarang.
Pernah jadi oplet
Jika mobil Sukarno terasa begitu megah, ceritanya sedikit berbeda dengan mobil pertama Hatta. Mobil DeSoto adalah hadiah dari Djohan Djohor, seorang pengusaha kaya yang kebetulan paman Hatta. Djohan memang sengaja ingin membantu mobilisasi perjuangan keponakannya. Selain itu, untuk menghindar dari perampasan dari pihak pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia.
Mobil inilah yang menemani Hatta dalam menjalankan tugas sebagai Wakil Presiden I di Jakarta, maupun saat Ibukota pindah ke Yogyakarta pada 1946-1950. Sayangnya, tidak ada catatan pasti kapan mobil ini mulai pensiun. Yang jelas, dalam ingatan Meutia Farida, putri sulung Hatta, masih ada dua mobil dinas Wapres lain yakni Buick berpelat nomor “B-17845” dan sebuah mobil berpelat nomor “Indonesia 2”.
Setelah Hatta tidak mempergunakannya lagi, DeSoto berpindah pemilik. Bahkan konon oleh pemilik barunya sempat dijadikan angkutan umum (oplet). Mengetahui hal itu, Hatta berinisiatif untuk membelinya dan merestorasinya kembali. Tentu saja dengan bantuan Hasjim Ning, konglomerat pada saat itu yang kebetulan kemenakannya juga.
Menurut catatan, pada 20 Agustus 1975 Hatta menyerahkan mobil ini kepada Dewan Harian Nasional 45 untuk dijadikan koleksi di Museum Joang ’45. Saat ini meski usianya sudah hampir 75 tahun, mobil DeSoto masih terawat baik. Mesinnya masih bisa dihidupkan, bahkan masih bisa berjalan.
Masih kuat napak tilas
Menengok kondisinya terkini di Museum Joang ‘45, mobil DeSoto memang tampak uzur tapi boleh dikatakan sehat. Catnya yang krem cukup terawat, meski ada beberapa noda. Krom pada beberapa bagian mobil tampak sudah kusam. Namun kelengkapan seperti lampu, sein, kaca, aksesori, semua komplet. Hanya karet-karet saja yang sudah menyusut, bahkan karet wiper sudah tidak ada.
Melongok ke bagian interior, umumnya semua masih berfungsi baik. Panel di dashboard-nya yang sangat sederhana itu juga komplet. Hanya jok saja yang terlihat sudah tidak orisinil. Kulit sintetis yang membalut jok itu terlihat sangat tidak natural dan mengganggu. Tapi maklumlah, mobil ini pernah dijadikan oplet.
Dalam kondisi seperti itu, DeSoto setiap tahun masih kuat keluar kandang untuk mengikuti acara Napak Tilas Proklamasi. Acara tahunan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI ini rutin diadakan setiap 16 Agustus. Rutenya dari Museum Joang ’45 di Jalan Menteng Raya, melewati Jalan Teuku Umar, Taman Suropati, untuk menuju Tugu Proklamasi. Pulang-pergi, jarak yang ditempuh sekitar 6 km saja.
Dalam iring-iringan napak tilas, biasanya mobil Soekarno dan Hatta diiringi oleh berbagai komunitas. Seperti drumband, pasukan pengibar bendera pusaka, pelajar, sampai penggemar sepeda kuno. Mereka sama-sama bergerak dari Museum Joang ’45 untuk menghayati peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI berpuluh-puluh tahun silam.
Sejauh ini, dalam acara napak tilas, baik DeSoto maupun Buick-8 tidak pernah merepotkan. Semua itu, menurut Euis Rahmi, petugas di Museum Joang ’45 karena mobil-mobil itu dirawat berkala. Bodi mobilnya saja diperhatikan, terlebih lagi mesinnya. Perawatan khusus mesin melibatkan seorang mekanik mobil antik bernama Asiu. “Pak Asiu itu juga yang jadi sopir kalau lagi napak tilas,” kata Euis.
Milik negara
Cerita tentang kesederhanaan, kejujuran, dan integritas Hatta tentu kita pernah mendengarnya. Rupanya, ada sebuah kisah kecil tentang prinsip-prinsip tersebut yang berhubungan dengan mobil dinasnya.
Pada 1950, Hatta begitu merindukan ibundanya dan mereka jarang bertemu. Ketika Sang Bunda tinggal di Sumedang, Jawa Barat, Hatta tidak kunjung bisa menjemputnya. Padahal seluruh sanak famili berharap dia bisa datang. Masalahnya ternyata hanya soal ketiadaan kendaraan.
Bukankah ada mobil dinas? Nah, di sinilah menariknya. Hatta berprinsip tidak akan menggunakan mobil dinas untuk keperluan pribadi. “Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim,” kata Hatta seperti ditulis dalam autobiograi Hasjim Ning, Pasang Surut Pengusaha Pejuang oleh A.A. Navis.
Walhasil, Hasjimlah yang harus menjemput ibunda Hatta di Sumedang. Padahal, Hasjim sempat membayangkan, ibu yang sudah tua itu tentu akan bahagia bila anaknya yang menjemput langsung.
“Apa salahnya ibunda seorang perdana menteri naik mobil anak kandungnya? Siapa yang tak akan setuju? Malah rakyat pun akan menerimanya sebagai sesuatu yang wajar saja, karena rakyat menghormati pemimpinnya,” begitu Hasjim berpikir. “Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara,” tegas Hatta.
Tidak bisa menyetir
Selain mobil dinas, Hatta juga punya mobil pribadi. Dalam ingatan Meutia, mereknya Buick, biru tua, bernomor polisi B-17845. Mobil ini terus dipakai sampai pensiun. “Setelah dikembalikan karena rusak, plat nomornya masih disimpan,” tutur Meutia. Sayangnya, dia kini tidak tahu di mana mobil tersebut.
Selain itu ada pula mobil kepresidenan untuk keluarga bermerek Dodge. Mobil berwarna gading itu memiliki pelat nomor B 317. Setelah Hatta meninggal, Ny. Rahmi Hatta juga pernah mendapat mobil Volvo dari pemerintah. “Mobil itu boleh dibeli,” tambah Meutia.
Menurut Meutia, ayahnya sebenarnya tidak pernah terlalu mengurusi soal mobil. Hatta akan berangkat dengan kendaraan apa pun kalau memang harus pergi ke suatu acara. “Soalnya dia juga tidak bisa menyetir,” ungkap mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan pada 2004-2009 ini.
“Dulu sebelum Kemerdekaan dia lama di Belanda. Kemudian saat pulang ke Tanah Air, malah lebih sering di pengasingan. Jadinya, sama sekali tidak pernah memegang setir mobil.”
Meski selalu duduk di kursi penumpang, Hatta rupanya amat perhatian jika bepergian dengan istrinya. Hatta akan memperhatikan arah kedatangan sinar matahari. Jika menyorot dari sisi kanan, maka dia akan duduk di sisi kanan. Begitu pula sebaliknya. Semua itu agar istrinya selalu terlindungi. Oh, romantisnya.