TIMESINDONESIA, MALANG – Menjelang perayaan HUT ke-80 RI, publik dikejutkan oleh fenomena pengibaran bendera bajak laut dari serial manga dan anime populer One Piece—Jolly Roger—di berbagai daerah. Aksi ini memicu perdebatan sengit di ruang publik, memisahkan pandangan menjadi dua kubu besar: mereka yang melihatnya sebagai bentuk kritik kreatif dan damai, serta mereka yang menilainya sebagai tindakan yang mencederai simbol negara.
Di balik perbedaan pandangan tersebut, fenomena ini mencerminkan hubungan yang tegang antara simbol nasional dan kebutuhan warga—khususnya generasi muda—untuk menyatakan keresahan mereka.
Bagi kubu pendukung, pengibaran bendera One Piece dipandang sebagai bentuk kritik simbolik terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang belakangan banyak menuai kekecewaan. Pengamat menilai, generasi muda memilih simbol dari budaya populer karena dinilai aman, universal, dan jauh dari makna politis yang rawan disalahartikan.
Penggunaan bendera Jolly Roger dalam konteks ini tidak dimaksudkan untuk menghina negara, melainkan sebagai “bahasa budaya” untuk menyampaikan keresahan yang sulit disalurkan melalui jalur formal. Banyak yang menganggapnya sebagai bentuk protes damai—tanpa kekerasan, tanpa ancaman fisik, hanya melalui simbol yang familiar bagi jutaan penikmat One Piece.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id
Beberapa akademisi bahkan menilai ini sebagai “tamparan budaya asing” bagi pemerintah. Artinya, ketika simbol-simbol lokal tidak lagi menjadi saluran kritik yang efektif, generasi muda beralih pada ikon global yang mereka rasa mewakili semangat melawan ketidakadilan.
Di sisi lain, sebagian pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat menilai pengibaran bendera One Piece berpotensi merendahkan kehormatan Merah Putih. Mereka khawatir hal ini akan memunculkan preseden buruk, di mana simbol nasional bisa tergeser oleh ikon lain, meskipun dalam konteks protes.
Ada pula yang menuduh aksi ini sebagai bentuk provokasi terkoordinasi menjelang peringatan kemerdekaan. Sejumlah langkah represif diambil, mulai dari penertiban mural hingga penyitaan bendera, dengan alasan menjaga martabat negara.
Pandangan ini berangkat dari kekhawatiran bahwa jika dibiarkan, akan timbul simbol tandingan yang mengikis rasa nasionalisme di kalangan generasi muda. Bagi pihak ini, simbol Merah Putih bukan hanya kain, melainkan identitas kolektif yang wajib dijaga dengan penuh hormat.
Fenomena bendera One Piece sebenarnya mengungkap dua hal penting. Pertama, generasi muda Indonesia masih punya keberanian untuk bersuara, meski memilih jalur yang tidak konvensional. Kedua, ada jurang komunikasi antara cara pemerintah melihat simbol negara dan cara generasi muda mengekspresikan identitas serta kritik mereka.
Penting untuk dicatat, publik pada umumnya tidak mungkin mengkhianati negara ini. Mayoritas masyarakat masih cinta tanah air, namun rasa cinta itu kini dibarengi dengan kekecewaan terhadap sejumlah kasus korupsi, kebijakan yang dirasa berat sebelah, dan situasi ekonomi yang membuat frustrasi. Bendera One Piece, bagi sebagian, hanyalah medium untuk mengatakan, “Kami kecewa, tapi kami tetap di sini.”
Generasi muda tumbuh di era media sosial, di mana simbol dan visual menjadi bahasa utama. Pilihan mereka terhadap ikon populer seperti bendera Jolly Roger menunjukkan pergeseran pola komunikasi politik. Kritik tidak lagi selalu diutarakan lewat orasi jalanan, melainkan melalui simbol-simbol yang viral dan mudah dipahami.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id
Dalam kacamata ini, bendera One Piece menjadi metafora perjuangan melawan ketidakadilan—persis seperti tokoh Luffy dan kru Topi Jerami yang melawan tirani dalam cerita aslinya. Simbol tersebut menjadi wadah imajinasi kolektif sekaligus pelampiasan rasa frustrasi terhadap realitas.
Walaupun pengibaran bendera ini dimaksudkan sebagai kritik damai, risiko kesalahpahaman tetap ada. Ketika pesan simbolik diterjemahkan secara berbeda oleh pihak berwenang, potensi konflik bisa membesar. Di sinilah diperlukan kebijaksanaan semua pihak: generasi muda perlu memahami batas hukum, sementara pemerintah harus memahami konteks sosial di balik simbol yang digunakan.
Jalan tengah yang mungkin adalah membuka ruang dialog. Alih-alih merespons dengan tindakan represif, pemerintah bisa mengundang perwakilan komunitas kreatif untuk membicarakan aspirasi mereka. Dengan begitu, simbol nasional tetap dihormati, sementara kebebasan berekspresi tetap terjaga.
Fenomena bendera One Piece bukan sekadar tren viral atau aksi iseng. Ia adalah refleksi dari ketegangan antara kecintaan pada negara dan kekecewaan terhadap cara negara dijalankan. Bagi sebagian, bendera ini adalah medium kritis dan damai; bagi sebagian lainnya, ia adalah sinyal bahwa kebanggaan nasional sedang diuji.
Yang perlu diingat: mengkritik bukan berarti mengkhianati. Justru, kritik yang jujur lahir dari rasa peduli. Selama negara bersedia mendengar, simbol-simbol asing tidak akan menggantikan Merah Putih di hati rakyat—karena di lubuk terdalam, masyarakat Indonesia tetap memeluk tanah airnya dengan erat. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id