Jakarta (ANTARA) - Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni memastikan Indonesia terus membuka pintu untuk kerja sama dengan berbagai komunitas internasional demi mendukung aksi konservasi dan rehabilitasi hutan di Nusantara.
Ditemui usai membuka Kick Off Meeting Concept Note dan Proposal Pendanaan Baru untuk RBP REDD+ CGF Tahap II di Jakarta, Selasa, Menhut menyampaikan bahwa dengan atau tanpa dukungan dari luar negeri, pemerintah terus berupaya menjaga hutan dan mendukung kesejahteraan masyarakat dengan pemanfaatan lestari.
"Tetapi kalau ini merupakan bagian dari persoalan dunia dan dunia terlibat berkontribusi terhadap apa yang sedang kita kerja, tentu kita sangat terbuka untuk bekerja sama dengan funding agency GCF dan lain sebagainya," katanya.
Indonesia sudah mendapatkan pendanaan berdasarkan hasil (result based payment/RBP) dari Green Climate Fund (GCF) tahap pertama sebesar 103,78 juta dolar AS atau sekitar Rp1,69 triliun dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation plus/REDD+) .
Pembayaran itu dilakukan untuk pengurangan emisi 20,25 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) di sektor kehutanan pada 2014-2016.
Tidak hanya itu, Indonesia juga sudah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Norwegia untuk pendanaan berbasis kontribusi (result based contribution/RBC) yang sudah memasuki tahap kelima. RBC-5 sendiri sedang dinegosiasikan jumlah pembayarannya, yang dapat mencapai sekitar Rp1 triliun.
Sebelumnya, dalam RBC-1 diterima pembayaran sebesar 56 juta dolar AS (sekitar Rp920 miliar) untuk pengurangan emisi 11,2 juta ton CO2e periode 2016-2017. Sedangkan pembayaran RBC-2 dan RBC-3 dilakukan secara bersamaan yakni sebesar 100 juta dolar AS (Rp1,6 triliun) untuk pengurangan emisi 20 juta ton CO2e pada 2017-2019.
Raja Juli menyampaikan selain kerja sama antarpemerintah dan dengan agensi pendanaan, pihaknya juga tengah mengejar agar hasil pengurangan emisi di sektor kehutanan dapat masuk ke pasar karbon.
Menurutnya, masuknya sektor kehutanan di perdagangan karbon Indonesia menunggu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Karena dengan merevisi Perpres 98 Tahun 2021 itu akan memungkinkan pihak swasta untuk berinvestasi dalam upaya rehabilitasi.
"Kepentingan kami sebenarnya kan kita punya sekitar 6,5 juta ha di sektor kehutanan, di hutan kita yang didefinisikan sebagai degraded land, lahan kritis. Dengan kemudian kita membuka voluntary carbon market ini, kita berharap akan ada investasi untuk menanam di daerah-daerah yang tandus itu," demikian Raja Juli Antoni.