Jakarta (ANTARA) - Pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto, dituntut pidana penjara selama 6 tahun terkait kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari hasil korupsi penjualan bijih nikel yang berasal dari wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Antam Tbk., Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) Alif Ardi Darmawan turut menuntut Windu Aji dengan pidana denda sebesar Rp500 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan maka diganti (subsider) pidana kurungan selama 6 bulan.
"Kami meyakini terdakwa Windu Aji Sutanto terbukti secara sah sebagai orang yang melakukan dan turut serta melakukan perbuatan menempatkan, mengalihkan, mentransfer, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, atau mengubah bentuk harta kekayaan yang patut diduga sebagai hasil perbuatan pidana," ucap JPU dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Selain Windu Aji, JPU turut meyakini pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, Glenn Ario Sudarto melakukan tindak pidana yang sama.
Namun, Glenn Ario hanya dituntut agar dikenakan pidana penjara selama 5 tahun, meski pidana denda yang dituntut sama, yakni sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dengan demikian atas perbuatannya, JPU meyakini Windu Aji dan Glenn Ario telah melanggar Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelum melayangkan tuntutan kepada Windu Aji dan Glenn Ario, JPU mempertimbangkan beberapa hal memberatkan dan meringankan.
Keadaan yang memberatkan, yakni kedua terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Khusus Windu Aji, hal memberatkan lainnya yang dipertimbangkan, yakni dalam tindak pidana asal terbukti menikmati uang hasil korupsi dan dibebani uang pengganti sebesar Rp 135,83 miliar dan belum mengembalikan uang hasil korupsi yang dinikmatinya.
"Sementara hal meringankan yang dipertimbangkan, kedua terdakwa bersifat sopan selama persidangan," tutur JPU.
Dalam kasus tersebut, Windu Aji didakwa melakukan TPPU dari hasil korupsi penjualan bijih nikel yang berasal dari Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Antam Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Windu Aji menggunakan uang rasuah itu untuk membeli satu unit mobil Toyota Land Cruiser, satu unit Mercedes Benz Maybach, dan satu unit mobil Toyota Alphard, serta menerima uang Rp1,7 miliar.
Sementara Glenn Ario, yang hanya selaku pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining, didakwa justru lebih aktif berperan dalam penambangan bijih nikel hingga melakukan pengangkutan dan penjualan.
Hasil penambangan bijih nikel yang dilakukan PT Lawu Agung Mining pada lahan Antam seharusnya diserahkan kepada Antam, serta tidak dapat dilakukan pengangkutan dan penjualan ke pihak lain, tetapi Glenn diduga membeli dokumen PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) dan dokumen PT Tristaco Mineral Makmur (TTM) dengan harga antara 3–5 dolar AS per metrik ton sehingga seolah-olah bijih nikel tersebut berasal dari WIUP PT KKP dan PT TMM dan dapat dijual ke pihak lain.
Atas perbuatannya, Windu Aji didakwa melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Glenn Ario didakwa melanggar Pasal 3 atau Pasal 4 UU TPPU jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Windu Aji dan Glenn Ario telah divonis dalam kasus korupsi penjualan bijih nikel tersebut. Berdasarkan putusan tingkat kasasi, Windu Aji divonis 10 penjara dan Glenn Ario divonis 7 tahun penjara, serta denda masing-masing sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.