Curhat Pedagang Beras di Kota Malang Alami Penurunan Omzet
Ndaru Wijayanto August 13, 2025 09:30 PM

Poin penting:

  • Toko beras di Kota Malang alami penurunan pembeli
  • HET beras medium dinilai tak sesuai dengan harga gabah di lapangan
  • Stok beras medium sangat terbatas

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Benni Indo

TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Di sudut dekat bangunan Pasar Besar Malang, tepat di antara deretan kios sembako yang dulu selalu riuh, toko beras milik Wibowo Utomo (55) kini terasa lengang.

Parkiran mobil di depan tokonya yang biasanya penuh, kini nyaris kosong. Sudah sebulan terakhir, pembeli datang hanya sesekali—sekadar membeli secukupnya, bukan lagi dalam jumlah besar seperti dulu.

“Kalau dulu, sekali datang orang bisa ambil 500 kilo sampai satu ton. Sekarang paling hanya beberapa sak untuk kebutuhan harian,” tutur Wibowo sambil menatap tumpukan karung beras premium yang masih utuh di rak, Rabu (13/8/2025).

Wibowo sudah berdagang di tempat ini sejak era 1970-an, meneruskan usaha keluarganya. Ia paham betul ritme pasar. 

Tapi kali ini, sepinya pembeli bukan karena isu beras oplosan yang sempat merebak, melainkan menurutnya akibat kebijakan pemerintah terkait Harga Eceran Tertinggi (HET).

Menurutnya, HET untuk beras medium yang ditetapkan sebesar Rp 14.900 per kilogram membuat para penggilingan menengah tak mampu bersaing.

Harga gabah di lapangan sudah menembus lebih dari Rp 7.000 per kilogram, jauh di atas harga acuan yakni Rp 6.000 yang dipatok pemerintah. 

“Kalau beli gabah Rp 7.000, diolah jadi beras, ongkos transport, dan tenaga kerja dihitung, tidak nutut dijual Rp 12.500 per Kilogramnya. Makanya mereka lebih memilih jual gabah ketimbang memproduksi beras,” jelasnya.

Akibatnya, suplai beras medium berkurang drastis di pasaran. Wibowo kini hanya menjual merek-merek premium, beras yang harganya sudah pasti di atas HET. Tidak ada lagi beras medium yang tersisa di tokonya yang berukuran sekitar 10x5 meter persegi.

Konsumen, khususnya warung-warung kecil yang dulu menjadi langganan setianya, kebingungan mencari beras yang lebih terjangkau. Wibowo mengatakan, pelanggannya memilih untuk menunggu beras dari Bulog ketimbang beli beras pada umumnya.

“Mereka akhirnya menunggu beras Bulog, meskipun jatahnya terbatas,” ujarnya.

Menurut Wibowo, isu beras oplosan yang sempat mencuat tak terlalu relevan. Ia menjelaskan, perbedaan kualitas biasanya disebabkan oleh kadar butir patah (broken) yang bervariasi, bukan campuran bahan lain. 

“Beras premium itu utuhnya lebih banyak, kalau medium butir patahnya lebih banyak. Itu saja. Kalau pabrik besar saya kira tidak berani juga ngurangi takaran atau oplos aneh-aneh, risikonya besar,” katanya.

Namun, bagi Wibowo, masalah sebenarnya adalah tidak sinkronnya kebijakan pemerintah dengan kondisi di lapangan. Kebijakan mulai dari penerapan pembelian harga gabah oleh pemerintah dinilai kurang tepat. Tidak sesuai kondisi riil di lapangan.

“Sebelum menetapkan HET, mestinya lihat harga gabah dulu. Kalau gabah bisa dibeli Rp 6.000, pabrik masih bisa jual di harga HET. Tapi faktanya, tidak ada gabah semurah itu,” keluhnya.

Dengan tujuh karyawan yang tetap digaji penuh dan biaya operasional yang tak bisa ditekan, Wibowo mengaku usahanya kini merugi. Meski begitu, ia memilih bertahan. Satu-satunya usaha yang ia jalankan adalah menjual beras.

“Harapannya harga bisa normal lagi seperti dulu. Kasihan juga penggilingan kecil dan menengah, mereka tidak bisa jalan. Semua rantai dagang ini jadi kena imbasnya,” ujarnya.

Sutarjo, seorang juru parkir di depan tokonya Wibowo mengatakan, dalam sehari biasanya ia membantu tiga truk besar yang membawa beras parkir. Namun, kini, dalam sepekan tidak ada truk yang datang.

Kondisi itu menunjukan bahwa pasokan beras mulai berkurang, artinya juga bahwa penjualan beras di toko milik Wibowo berkurang. Sebagai juru parkir, Sutarjo juga merasakan dampak berkurangnya para pedagang yang datang.

"Saya ini hanya juru parkir, belakangan sudah sepi. Tidak banyak yang datang. Lihat saja sendiri," kata Sutarjo sambil menunjuk lahan parkir yang ia kelola.

Di situ, ada dua mobil yang parkir berjauhan, telat di depan toko milik Wibowo. Padahal kawasan itu bisa menampung hingga enam mobil.

"Saya malah merugikan karena haru bayar setoran di Dishub," imbuhnya. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.