Laporan Wartawan Tribuncirebon.com, Eki Yulianto
TRIBUNCIREBON.COM, CIREBON- Gelombang protes warga terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon terus membesar.
Di tengah sorotan publik, Wali Kota Cirebon, Effendi Edo menegaskan bahwa isu kenaikan hingga 1.000 persen yang dikeluhkan warga tidak sepenuhnya benar.
"Artinya 1.000 persen itu tidak benar. Kalau kenaikan ada, tapi tidak sampai 1.000 persen," ujar Effendi Edo saat ditemui di Balai Kota, Kamis (14/8/2025).
Effendi Edo menjelaskan, kebijakan kenaikan pajak itu sebenarnya sudah ditetapkan satu tahun lalu, jauh sebelum ia menjabat sebagai wali kota.
Ia yang baru lima bulan memimpin, mengaku sudah melakukan pembahasan internal terkait PBB sejak sebulan lalu untuk mencari solusi.
"Mudah-mudahan dalam minggu ini kita sudah tahu dan formulasi yang kita buat itu sesuai dengan keinginan masyarakat. Artinya ada perubahan, InsyaAllah," ucapnya.
Menurut Edo, formulasi kenaikan PBB berasal dari Kementerian Dalam Negeri yang memberikan delapan opsi.
Opsi itu kemudian dipadukan oleh Pemerintah Kota Cirebon sehingga tarif yang berlaku bervariasi.
"Soal warga yang punya bukti PBB 2023 kemudian naik drastis di tahun berikutnya, monggo itu semuanya dari Depdagri."
"Itu kan ada delapan pilihan yang di-mix oleh pemerintah kota, jadi akan berbeda-beda," jelas dia.
Landasan hukum kebijakan ini adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang ditetapkan saat Kota Cirebon masih dipimpin Penjabat (Pj) Wali Kota.
Edo menyebut, desakan warga untuk mengubah perda tersebut harus melalui kajian mendalam.
"Sekarang saya sedang evaluasi itu bersama melakukan kajian-kajian juga."
"Kalau memang hasil evaluasi dan kajian menyatakan perlu diubah, ya tidak menutup kemungkinan."
"Saya terbuka sekali melakukan audiensi dengan masyarakat yang merasa terdampak," katanya.
Sementara itu, di luar Balai Kota, suara penolakan terus bergema.
Puluhan warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon kembali berkumpul di sebuah rumah makan di Jalan Raya Bypass, Rabu (13/8/2025) malam.
Mereka menegaskan tuntutan agar kenaikan PBB dibatalkan.
"Perjuangan kami sudah lama, sejak Januari 2024. Kami hearing di DPRD 7 Mei, turun ke jalan 26 Juni, lalu 2 Agustus ajukan judicial review."
"Desember kami dapat jawaban, JR kami ditolak," ujar Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati.
Menurut Hetta, kenaikan PBB berdasarkan perda tersebut berlaku merata, dengan kisaran minimal 150 persen hingga 1.000 persen.
Bahkan, ia mengungkap adanya kasus ekstrem hingga 100.000 persen akibat kesalahan pemerintah namun tetap dibebankan ke warga.
"Tahun 2023 kita baru selesai pandemi, apakah bijak dinaikkan hingga 1.000 persen? Pemerintah bilang ekonomi naik 10 persen, tapi dari mana? Dari titik nol?" ucapnya.
Gelombang protes juga datang dari Paguyuban Masyarakat Cirebon (PAMACI).
Mereka berencana menggelar aksi damai pada 11 September 2025 dan membuka posko partisipasi untuk mengajak masyarakat terlibat.
"Semoga ini bisa berjalan dengan lancar dan saya hanya berharap masyarakat Cirebon bisa bersatu atau guyub dalam menghadapi permasalahan yang ada di Kota Cirebon," jelas Ketua Harian PAMACI Kota Cirebon, Adji Priatna.
Adji juga menilai Pemkot terlalu fokus mengejar pendapatan dari pajak.
"Masih banyak sektor lain yang harus dibenahi, contoh lima BUMD kita, bobrok semua."
"Jadi itu yang mesti dipikirin dulu, jangan hanya pajak, pajak, dan pajak" katanya.