Beragam Jurus dan Gaya Sukarno Sang Arjuna dari Istana Memikat Wanita
Moh. Habib Asyhad August 15, 2025 02:34 PM

Cantik, itu pasti. Walau cantik saja, rupanya tidak cukup. Pastilah ada berbagai keistimewaan hingga seorang perempuan bisa dipuja oleh pria yang begitu spesial, seperti Sukarno. Sebagai lelaki dengan segudang pengalaman dalam percintaan, Sukarno tahu betul bagaimana harus bersiasat.

Pernah tayang di Majalah Intisari dengan judul "Beragam Jurus dan Gaya Arjuna dari Istana" pada Agustus 2017 ditulis oleh Tjahjo Widyasmoro

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Memang tidak ada yang pernah memastikan, seperti apa kriteria perempuan yang bisa memikat hati Sukarno. Namun jika kita mencoba menarik benang merahnya, bolehlah kita berkesimpulan, Sukarno adalah pengagum kecantikan alami. Sebuah kecantikan dari dalam yang memancarkan keanggunan tanpa banyak polesan.

Sukarno sendiri sebagai sang Arjuna dalam lakon percintaan ini juga tidak pernah secara gamblang mengungkap tentang tipe perempuan idealnya. Tercatat, dia hanya pernah sekali mengutarakannya kepada Fatimah (kemudian menjadi Fatmawati) tatkala gadis Bengkulu itu masih begitu lugu.

Seperti ditulis dalam An Autobiography as Told to Cindy Adams, saat belum menikah, keduanya pernah plesir di tepi pantai. Saat itulah Fatmawati melontarkan pertanyaan tentang jenis perempuan yang dikagumi Sukarno, ayah angkat dari sahabatnya ketika itu.

Sukarno terkejut, itu pasti. Namun sebagai pria yang sudah makan asam garam dalam menghadapi perempuan, situasi itu justru digunakannya untuk melancarkan “serangan baliknya” ke jantung lawan.

“Aku memandang kepada gadis desa ini yang berpakaian baju kurung merah dan berkerudung kuning diselubungkan dengan sopan. Kukatakan padanya aku menyukai perempuan dengan keasliannya. Bukan wanita modern yang pakai rok pendek, baju ketat, gincu bibir yang menyilaukan,” kata Soekarno.

Awalnya Fatmawati yang polos tidak sadar, ungkapan itu sesungguhnya menyasar ke dirinya. Kata-kata Sukarno terkesan jujur dan tulus, sehingga dia jadi terkesima.

Berawal dari simpati, perlahan-lahan jatuh hati. Hingga akhirnya Fatmawati bersedia dinikahi oleh Sukarno, meski konsekuensinya harus menyakiti hati Inggit yang sudah mendampingi suaminya selama hampir 20 tahun.

Bantah ada affair

Harus diakui, perempuan akan sulit menolak curahan perhatian yang besar dari lelaki yang begitu karismatis. Bisa jadi, ini pula yang terjadi pada perempuan-perempuan yang didekati oleh Sukarno. Mereka tak kuasa menolak perhatian yang terasa mengejutkan, dari sosok yang semula mereka kagumi.

Namun di balik itu semua, ada yang lebih menentukan, yakni kegigihan Sukarno dalam mendapatkan perempuan-perempuan pujaan hatinya. Boleh juga kita artikan, keinginan Sukarno sulit untuk ditolak.

Dari sejumlah perempuan yang diperistri Sukarno, sesungguhnya sebagian dari mereka tidak berstatus sendirian. Dimulai saat menikahi Inggit Garnasih sebagai perkawinan yang kedua, ibu kosnya itu masih berstatus istri dari Sanusi. Namun karena Sukarno melihat Inggit terlampau disia-siakan suaminya, dia berinisiatif untuk “menyelamatkannya”.

Pertemuannya dengan Siti Suhartini atau Hartini di Salatiga pada 1954, juga membuat Sukarno merasa harus memilikinya. Buku Bung Karno Panglima Revolusi oleh Peter Kasenda mengungkap, kala itu sebenarnya Hartini masih terikat perkawinan dengan Dr. Soewondo. Bahkan sudah ada lima anak.

Hartini sendiri membantah soal affair dengan Sukarno. Bahkan dia mengaku tidak langsung mengiyakan sewaktu dilamar untuk menikah. “Saya meminta waktu kepada beliau. Tiga bulan setelah itu, saya menerima lamarannya,” tutur perempuan Jawa yang lemah lembut itu.

Hanya saja, gosip rupanya sudah terlanjur merebak. Sampai-sampai, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menegur Sukarno agar segera menikahi saja Hartini untuk mengakhiri desas-desus itu.

Begitu pula dengan beberapa gadis yang dinikahi Sukarno saat belum menikah, sebenarnya masih menjalin sebuah hubungan percintaan. Haryati yang sebenarnya sudah memiliki pacar, akhirnya luluh dengan rayuan yang begitu gencar. Atau Yurike Sanger dan Heldy Djafar, dua anak SMA yang sebenarnya juga sedang naksir-naksiran dengan pemuda sebayanya.

Tak segan turun tangan

Dari sisi perempuan, pada awalnya tentu saja ada rasa terkejut ketika mendapat perhatian yang begitu besar. Di samping tentu ada kebanggaan tersendiri, didekati oleh seseorang dengan kekuasan dan pengaruh yang begitu besar. Mereka juga tidak menyangka akan diperlakukan sedemikian penting.

Apalagi harus diakui, dari segi penampilan fisik, Sukarno sendiri punya daya tarik. Untuk ukuran pria di Indonesia, sosoknya cukup menawan. Terutama ketika dia mengenakan pakaian kebesarannya: jas ala pemimpin militer, peci hitam, kacamata hitam, serta tongkat komando. Tampak begitu gagah.

Di balik semua penampilan fisik itu sebenarnya ada faktor lain yang tak semua orang menyadarinya. Sikap dan tata krama Sukarno, rupanya telah menerbitkan simpati banyak perempuan. Sukarno tahu betul bahwa perempuan sangat senang dipuji serta diperlakukan sebagai orang yang paling penting di dunia ini.

Dalam berbagai kesempatan, Sukarno selalu bersikap sopan dan hangat terhadap setiap perempuan. Contohnya, dia tak segan-segan mengambilkan minum, menyalakan api rokok, atau tangannya yang sigap menyambut seorang perempuan yang baru turun dari mobil.

Ada pula satu kebiasaannya yang terasa spesial, yakni Sukarno sangat memperhatikan penampilan mereka. Pujian dan kekaguman sering terlontar dari mulutnya secara spontan. “Alangkah serasinya kain kebaya yang anda pakai” atau “Nyonya kelihatan lebih muda dengan tatanan rambut itu”.

Terhadap istri-istrinya, Sukarno paling rajin memberikan kritikan terhadap pakaian, gaya rambut, bahkan riasan. Bahkan, dia tidak segan-segan turun tangan sendiri misalnya untuk membenahi dandanan yang kurang pas atau memasang selendang. Diperlakukan demikian perempuan mana yang tidak akan tersanjung?

“Daya tarik serta taraf intelektualnya yang tinggi menjadikan Sukarno seorang master dalam menaklukkan hati wanita,” tutur Bambang Widjanarko, ajudan pribadi Sukarno dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno.

Bambang juga bersaksi, Sukarno pandai mencurahkan perhatian terhadap perempuan. Hingga akhirnya perempuan itu merasa menjadi satu-satunya orang yang paling dicintai. “Bung Karno tahu, setiap wanita amat senang mendapat pujian,” tulis Bambang yang mendampingi Sukarno selama delapan tahun.

Sikap sopan ini tidak hanya menjadi buah bibir di kalangan perempuan Indonesia. Dalam kunjungan ke Eropa dan Amerika, para perempuan Barat yang sudah terbiasa menghadapi tatakrama semacam ini juga memberi pujiannya. “Your President is real gentleman,” puji mereka seperti dikatakan Bambang.

Tak perlu obat kuat

Bagi Sukarno, kecantikan adalah sebuah keindahan. Fakta inilah yang dibenarkan Hartini, istri nomor empat. “Dia sangat mencintai keindahan, termasuk keindahan dalam kecantikan wanita,” tutur Hartini kepada Tempo, 1999.

Sebagai pencinta seni sekaligus seniman, Sukarno rupanya juga tidak bisa jauh-jauh dari “keindahan” itu. Bahkan menempatkan keindahan itu di sekitarnya. Ini yang terlihat dari koleksi berbagai benda seni di istana-istana kepresidenan di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Bali.

Benda-benda seni berupa lukisan atau patung itu umumnya menggambarkan perempuan dengan kemolekan tubuhnya. Bagi pencinta seni, karya-karya itu mempunyai nilai yang amat tinggi. Namun bagi orang awam, justru menimbulkan rasa risih. Itu pula sebabnya, pada masa Orde Baru, karya-karya tersebut langsung disimpan di gudang.

Apresiasi terhadap tubuh perempuan ini lantas membuat orang menghubungkan-hubungkan dengan gairah Sukarno dalam hal kebutuhan biologisnya. Apakah benar dia memiliki gairah seksual yang besar?

Khusus untuk soal yang sangat pribadi ini, kita hanya pernah mendengar penuturan blak-blakannya kepada Cindy Adams, penulis buku biografinya.”I’m a very physical man. I must have sex everyday.

Memang tidak pernah ada konfirmasi. Terutama dari para istrinya – karena mereka yang paling tahu tentunya. Mungkin, hanya Yurike Sanger yang pernah menyinggungnya, meski kebenarannya perlu dipertanyakan. Dalam buku Bung Karno, Perginya Seorang Kekasih Suamiku dan Kebanggaanku karya Erka, Yurike mengungkapannya.

“Itulah sebabnya Babe (sebutan untuk Soekarno) tanpa menggunakan obat-obat kuat, toh sangat hebat di tempat tidur,” tutur Yurike yang dinikahi saat masih berusia SMA. Maklumlah jika istri kedelapan Sukarno itu tidak canggung mengatakannya mengingat usia dan latar belakangnya ketika itu.

Keberadaan perempuan juga yang seolah mampu memberi tenaga tambahan kepada Sukarno. Dalam pesta dansa contohnya, Sukarno yang dikenal pintar berdansa cha-cha itu bisa berganti-ganti menggandeng tangan perempuan, dalam 2-4 kali putaran irama. Staminanya tak pernah surut jika ada perempuan di sekelilingnya.

Terpaut lebih dari 40 tahun

Berbicara perjalanan kisah cinta Sukarno, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kelompok penggembira ini banyak dilibatkan dalam acara-acara kenegaraan di era tahun 1960-an. Mereka terdiri atas barisan para pelajar sekolah menengah yang biasanya berjumlah 50 pasang remaja.

Sebagai barisan pagar betis dalam acara kenegaraan, tentu yang terpilih dalam barisan ini adalah remaja-remaja rupawan. Selain menyambut tamu, tugas mereka yang sebenarnya lebih mulia, yakni mewakili keanekaragaman budaya Indonesia.

Dari barisan yang kehadirannya diorganisir oleh pihak protokoler istana ini, terdapat dua gadis yang kemudian menjadi istri dari Sukarno yakni Yurike Sanger dan Heldy Djafar. Dua nama yang sebenarnya tidak terlalu lama menjadi perbincangan, seiring memudarnya pamor Sukarno di senjakala kekuasaannya.

Soal Yurike Sanger yang dinikahi Sukarno pada 1964, umumnya publik sudah tahu. Sementara untuk sosok Heldy, masih menjadi pembicaraan di kalangan terbatas. Nama gadis dari Tenggarong, Kalimantan Timur ini, baru benar-benar mencuat setelah pengakuannya muncul dalam buku Heldy Cinta Terakhir Bung Karno oleh Ully Hermono dan Peter Kasenda. Buku ini sendiri baru terbit pada 2011 atau setelah tumbangnya Orde Baru yang dikenal sangat anti-Sukarno.

Karena berasal dari barisan Bhinneka Tunggal Ika, tentu usia keduanya masih sangat muda saat menjadi Nyonya Sukarno. Bahkan, status mereka sebenarnya masih pelajar sekolah menengah. Bayangkan, dari gadis remaja kinyis-kinyis, menjadi istri presiden yang memperoleh pengawalan dan diperhatikan segala kebutuhannya. Hidup mereka berubah 180 derajat dalam sekejap.

Akan tetapi jika kita jeli, justru di sinilah menariknya sosok Sukarno. Meski terpaut usia lebih dari 40 tahun, dia ternyata mampu menghilangkan jarak dengan remaja-remaja itu.

Dengan segudang pengalamannya dalam percintaan, dia membuat hubungan itu menjadi tidak menegangkan. Terkadang Sukarno bahkan mampu menempatkan diri selayaknya kekasih remaja, yang suka bermanja-manja dan minta diperhatikan.

Sempat pacaran

Sebagai pria yang pertama menaruh hati, Sukarno juga sangat piawai memberi sinyal cinta kepada lawannya. Pertemuan pertama dengan Yurike misalnya, terjadi saat gadis itu masih kelas 2 SMP di sebuah acara di Istana Olahraga Senayan. “Radar” Sukarno langsung menangkap keberadaan Yurike yang semula disangkanya mahasiswa.

Sejak sapaan pertama itulah, Yurike selalu mendapat perhatian lebih dari Sukarno. Tapi hebatnya, Sukarno selalu bisa memahami Yurike sebagai gadis yang semula masih canggung berhadapan seorang pria dewasa. Dengan sabar Sukarno menanti, sampai gadis manis asal Manado ini mampu mencairkan kekakuan dirinya.

Begitu juga dengan Heldy yang pertama kali disapa Sukarno saat kelas 2 SKKA (sekarang SMK). Sukarno mencoba memahami betul perasaan dari gadis yang taat beragama dan berasal dari keluarga terpandang ini. Dia menempatkan Heldy sebagai perempuan terhormat melalui dandanan serta perilakunya sehari-hari.

Dalam membina hubungan kepada keduanya, polanya juga mirip-mirip. Tanpa banyak orang tahu, Sukarno sering menyambangi gadis-gadis ini di rumah masing-masing. Mungkin inilah yang disebut berpacaran.

Sebelum terjadi pernikahan, Sukarno memang telah memberikan sebuah rumah kepada mereka agar selalu leluasa bertemu. Yurike di Polonia, Jakarta Timur (belakangan menjadi posko kampanye Prabowo-Hatta pada Pemilu 2014). Sedangkan Heldy di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Biasanya presiden datang dengan kendaraan biasa dan tanpa pengawalan menyolok.

Menariknya, di antara sembilan istri Sukarno, mungkin hanya mereka berdua yang pernah “akur” berkumpul. Beberapa kali Sukarno meminta Heldy ke rumah Yurike untuk menemuinya. Bahkan mereka bertiga pernah main kartu bersama. Meski belakangan, seperti dituturkan Heldy dalam Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno, Yurike mulai menunjukkan rasa tidak senang dengan kehadiran dirinya.

Sayangnya, meski menjalani kisah senada, tapi akhir cerita dari keduanya sedikit berbeda. Setelah bercerai dengan Sukarno, Heldy masih menempati rumahnya di Kebayoran Baru, meski tak ada lagi pengawalan. Dia menjadi gadis biasa sampai kemudian menikah dengan Gusti Suriansyah Noor, keturunan bangsawan dari Kalimantan.

Sedangkan Yurike, pada awalnya tidak pernah berniat untuk bercerai dari Sukarno. Namun suaminya itu yang malah terus menyarankan, mengingat kondisi kesehatan dan keuangannya sudah tidak memungkinkan. Hingga akhirnya, keduanya bercerai secara baik-baik.

Hanya saja yang mungkin menyedihkan, belakangan Yurike juga harus angkat kaki dari rumah yang ditempatinya. “Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu. Toh, bukan milik kita,” begitu pesan Sukarno yang ditulis di kertas bekas bungkus rokok.

Meski sempat bingung dengan kenyataan itu, dia akhirnya angkat kaki juga. Sepeninggal Sukarno, dia menikah dua kali dan memiliki empat orang anak. Hanya saja, soal bagaimana dengan kondisi masa tuanya saat ini, tak banyak orang yang mengetahuinya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.