Label 'rakyat' dan 'unggul' bisa menciptakan sekat yang tidak tertulis, dimana siswa dari sekolah rakyat merasa di 'kelas bawah' dan siswa sekolah unggul merasa di 'kelas atas',
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Endro Dwi Hatmanto menilai gagasan Presiden Prabowo Subianto soal pembentukan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan perlu mengantisipasi munculnya sekat sosial baru.
"Label 'rakyat' dan 'unggul' bisa menciptakan sekat yang tidak tertulis, dimana siswa dari sekolah rakyat merasa di 'kelas bawah' dan siswa sekolah unggul merasa di 'kelas atas'," kata Endro di Yogyakarta, Jumat.
Endro menilai ide tersebut menarik karena berupaya menjangkau kelompok rentan melalui Sekolah Rakyat, sekaligus mendorong daya saing bangsa melalui Sekolah Unggul di bidang sains dan teknologi.
Namun, ia mengingatkan adanya tantangan yang harus diantisipasi sejak awal yakni munculnya sekat yang berpotensi memengaruhi rasa percaya diri, peluang karier, hingga memunculkan stigma sosial.
Untuk itu, Endro menekankan pentingnya jalur mobilitas sosial yang jelas, seperti program beasiswa dan mekanisme transfer siswa, agar pelajar berpotensi dari Sekolah Rakyat memiliki kesempatan yang sama menempuh pendidikan di Sekolah Unggul.
Endro menekankan pemerataan kualitas pendidikan tidak cukup hanya membangun gedung, tetapi membutuhkan ekosistem yang merata meliputi guru berkualitas, kurikulum relevan, fasilitas layak, serta dukungan orang tua dan komunitas dari kota hingga desa.
Ia mencontohkan, pada rencana pengembangan sekolah berasrama, keberhasilan sangat bergantung pada kehadiran guru yang tinggal di asrama untuk membentuk peran teladan yang konsisten.
"Ini membentuk 'role model' yang konsisten, bukan sekadar sosok yang datang-mengajar-pulang," ujar dosen Fakultas Pendidikan Bahasa UMY ini.
Endro juga menilai pemanfaatan teknologi seperti layar pintar bermanfaat untuk distribusi materi, namun tidak dapat menggantikan interaksi langsung guru dan siswa.
Ia menekankan bahwa pendidikan bahasa melatih empati, pemikiran kritis, dan kemampuan komunikasi yang merupakan fondasi penting untuk membangun peradaban.
Guru bahasa, menurutnya, harus berperan sebagai fasilitator aktif setelah siswa menerima materi melalui teknologi, disertai pelatihan berkelanjutan bagi guru di daerah.
Ia mengingatkan pentingnya pendidikan humaniora di tengah pesatnya kemajuan sains dan teknologi.
"Tanpa humaniora, teknologi kehilangan arah kemanusiaannya," katanya menegaskan.
Endro menyebut keberhasilan program ini akan sangat bergantung pada konsistensi kebijakan, pendanaan, dan evaluasi berbasis data. Jika tidak, ia khawatir program ini hanya akan menjadi deretan target di atas kertas tanpa dampak nyata di lapangan.