Kafe di Manado Hening Gara-Gara Royalti Musik, Begini Kata Dosen Fakultas Hukum Unsrat
Rizali Posumah August 16, 2025 08:32 AM

TRIBUNMANADO.CO.ID - Penerapan aturan royalti musik di ruang publik termasuk untuk kafe dan restoran menuai polemik.

Di Kota Manado, Sulawesi Utara, aturan ini disikapi sejumlah pemilik kafe dengan memilih membuat usahanya hening daripada membayar royalti pemutaran musik.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Toar Palilingan Junior atau Yaakov Baruch menyebut, fenomena ini terjadi akibat kurangnya sosialisasi tentang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan Musik

Dua regulasi tersebut melahirkan Lembaga Kolektif Manajemen Nasional (LKMN).

LKMN adalah sebuah lembaga non-pemerintah yang bertugas untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait atas penggunaan karya musik secara komersial.

"Masalahnya, masyarakat umum tidak mengetahui soal keberadaan LKMN tersebut," terang Ninoy, panggilan akrabnya kepada Tribun Manado, melalui pesan Whatsapp, Jumat (15/8/2025). 

Menurutnya, fenomena kafe yg menjadi hening akibat kekhawatiran tentang royalti musik dapat memberikan dampak negatif jangka pendek dan jangka panjang.

Jangka pendek, suasana kafe menjadi kurang menarik dan bisa mengurangi kunjungan pelanggan.

"Karena Musik seringkali menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan di kafe," terang dia.

Ketiadaan musik bisa membuat suasana menjadi sepi, kurang hidup, dan bahkan canggung bagi beberapa pengunjung.

"Bagi sebagian orang, musik adalah bagian dari pengalaman bersantai di kafe. Tanpa musik, kafe mungkin kehilangan daya tarik bagi pelanggan yang mencari suasana yang lebih hidup dan menghibur," terang dosen yang mengajar di Fakultas Hukum yang beralamat di Jalan Kampus Barat, Kelurahan Bahu, Kecamatan Malalayang, Kota Manado. 

Jika suasana kafe terasa kurang menarik karena ketiadaan musik, beberapa pelanggan mungkin memilih untuk tidak kembali atau menghabiskan waktu lebih singkat di kafe tersebut.

Sedangkan untuk jangka panjang, jika kafe terus mempertahankan suasana hening karena ketakutan akan royalti, reputasinya bisa menurun. 

Pelanggan mungkin mulai mencari alternatif kafe lain yang menawarkan suasana yang lebih menyenangkan.

Penurunan kunjungan dan reputasi yang buruk dapat menyebabkan penurunan pendapatan bagi kafe.

Ini bisa menjadi masalah serius terutama bagi usaha kecil dan menengah.

"Jika dampak negatif ini berlanjut dalam jangka waktu yang lama, kafe mungkin menghadapi kesulitan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya," ujar dia. 

Menurutnya, penerapan aturan royalti seharusnya dilakukan dengan memastikan hak-hak pencipta dan pengguna karya dilindungi secara adil.

Penerapan aturan ini harus mempertimbangkan beberapa aspek seperti transparansi, kemudahan akses, dan kesesuaian tarif dengan nilai ekonomi karya.

"Apakah aturan yang ada sudah memenuhi asas keadilan? Hal ini menjadi perdebatan," ujar dia,

Di satu sisi, aturan royalti memang penting untuk melindungi hak cipta dan mendorong pencipta untuk terus berkarya.

Di sisi lain, penerapan aturan yang tidak tepat bisa menimbulkan ketidakadilan bagi pengguna karya.

"Terutama usaha kecil dan menengah (UKM), Penerapan aturan royalti yang adil membutuhkan keseimbangan antara kepentingan pencipta dan pengguna karya," ujar dia.

Kata dia, pemerintah dan lembaga terkait sebaiknya melakukan beberapa langkah untuk mengatasi kontroversi aturan royalti.

Termasuk meningkatkan sosialisasi, memperbaiki transparansi, dan memperjelas aturan. 

Selain itu, diperlukan dialog berkelanjutan antara semua pihak terkait untuk mencapai solusi yang adil dan saling menguntungkan.

Pemerintah melalui DPR dapat mempercepat proses revisi Undang-Undang Hak Cipta untuk memperjelas aturan terkait royalti, khususnya dalam konteks penggunaan karya di ruang publik.

Memperjelas peraturan teknis terkait royalti, termasuk penentuan tarif yang proporsional dan mekanisme pembayaran yang mudah.

Memfasilitasi dialog berkelanjutan antara pencipta, pemegang hak cipta, pelaku usaha, dan lembaga terkait untuk mencari solusi terbaik dan menghindari kesalahpahaman.

Pemerintah perlu menyediakan ruang diskusi yang inklusif bagi semua pihak terkait untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka.

Mencari solusi yang menguntungkan semua pihak, termasuk pencipta, pelaku usaha, dan masyarakat.

"Dengan langkah-langkah ini, diharapkan kontroversi terkait aturan royalti dapat diatasi, dan tercipta ekosistem yang adil dan berkelanjutan bagi industri kreatif di Indonesia," pungkasnya.

Tentang Narasumber

Toar Palilingan Junior atau Yaakov Baruch adalah dosen Fakultas Hukum Unsrat, ahli hukum internasional dan humaniter.

Ia juga menjabat sebagai Rabi senior di Sinagoga Sha’ar Hashamayim, yang beralamat di Kelurahan Rerewokan, Kecamatan Tondano Barat, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Lahir pada 14 November 1982 dari keluarga lintas agama dan etnis, ia dikenal sebagai simbol toleransi dan pluralisme di Sulawesi Utara.

Selain aktif di dunia akademik dan keagamaan, ia mendirikan Museum Holocaust Sha’ar Hashamayim untuk mengedukasi masyarakat tentang sejarah dan nilai kemanusiaan. Museum berada di kompleks Sinagoga. 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.