Laporan Wartawan TribunSolo.com, Anang Ma'ruf
TRIBUNSOLO.COM, SUKOHARJO - Tidak banyak masyarakat Sukoharjo yang mengetahui cerita makam kuno Ki Ageng Balak di Desa Mertan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo.
Makam yang berada di tengah permukiman padat ini terkenal karena mitos dan kepercayaan kuat yang melekat di tengah warga.
Setiap hari, peziarah datang dari berbagai daerah untuk berdoa, memohon penolak bala, atau meminta hajat tertentu.
Terkhusus pada tanggal Jawa malam Jumat Kliwon dan malam Satu Suro.
Makam yang tertutup kain putih diyakini merupakan peristirahatan terakhir Ki Ageng Balak.
Sosok yang diyakini masyarakat sebagai Raden Sujono, putra Prabu Brawijaya V dari Keraton Majapahit.
Juru kunci makam Ki Ageng Balak, Sumarno (83), mengaku kisah Ki Ageng Balak telah diwariskan secara turun-temurun dari leluhurnya.
“Saya mendapat cerita dari mbah buyut. Mbah buyut saya lah yang bertemu Ki Ageng Balak,” ujarnya, Selasa (12/8/2025).
Cerita makam Ki Ageng Balak dimulai dari perselisihan keluarga Kerajaan Majapahit saat itu.
Kala itu, Raden Sujono tidak sejalan dengan pola pikir ayahandanya, Prabu Brawijaya.
Perselisihan itu membuatnya meninggalkan Majapahit, ditemani dua pengawal setia, Tumenggung Simbarjo dan Tumenggung Simbarjoyo.
Dalam perjalanannya, mereka tiba di wilayah yang kini dikenal sebagai Desa Mertan, yang kala itu masih berupa hutan dan pegunungan.
Di sinilah buyut Sumarno bertemu dengan sosok tinggi besar yang mengaku sebagai Raden Sujono.
“Awalnya beliau mengajak berbicara, tetapi ketika mbah buyut menoleh sejenak, sosok itu menghilang,” ujarnya.
Beberapa waktu kemudian, buyut Sumarno kembali dipanggil dan mendapat pesan untuk merawat tempat tersebut.
“Raden Sujono berjanji, kalau tempat ini dibersihkan dan dijaga, anak cucu mbah buyut akan diberi kemudahan mencari sandang pangan,” lanjut Sumarno.
Demi menyamarkan identitasnya dari pihak kerajaan, Raden Sujono kemudian dikenal dengan nama Ki Ageng Balak yang berarti penolak bala.
(*)