TRIBUNNEWS.COM - Pelajaran berharga didapat Timnas U17 Indonesia dari ajang Piala Kemerdekaan 2025 yang telah selesai digelar pada Senin (18/8/2025) tadi malam.
Perjuangan Timnas U17 Indonesia besutan Nova Arianto berakhir dengan kekalahan melawan Mali di laga terakhir.
Indonesia meraih hasil imbang melawan Tajikistan (2-2) dan sempat mengalahkan Uzbekistan (2-0) dalam dua laga pertamanya di Piala Kemerdekaan 2025.
Namun sayang, di laga terakhir Garuda Muda Indonesia harus menelan kekalahan dari Mali.
Bertanding di Stadion Utama Sumatra Utara, perlawanan sengit diperlihatkan skuad Garuda Muda yang akan berlaga dalam ajang Piala Dunia U17 2025 pada November mendatang.
Meskipun pada akhirnya kalah dengan skor tipis 1-2 di tangan Mali, permainan dan kerja keras Timnas U17 Indonesia layak diacungi jempol.
Apalagi kekuatan Mali memang satu atau dua tingkat berada di atas Garuda Muda, karena mereka sudah menjadi langganan peserta di Piala Dunia U17 sebanyak tujuh kali.
Dari tujuh kali partisipasinya tersebut, Mali pernah mengukir sejarah sebagai runner-up (2015), juara ketiga (2023) dan juara keempat alias semifinalis (2017).
Mali tercatat juga pernah menisbatkan diri sebagai juara Piala Afrika U17 sebanyak dua kali (1997 dan 2025).
Berkaca dari hal tersebut, tak salah jika kekuatan Mali cukup jauh berada di atas Timnas U17 Indonesia.
Dan kekalahan yang diderita Timnas U17 Indonesia tadi malam, menjadi bukti sebagian kekuatan yang dimiliki Mali.
Pelatih Timnas U17 Indonesia, Nova Arianto pun mengakui timnya banyak belajar dari kekalahan melawan Mali.
Terutama dalam hal pressing, Nova Arianto memuji kualitas Mali dalam menekan pemain Timnas U17 Indonesia.
Nova Arianto menyebutnya tingginya intensitas sekaligus agresifitas pemain Mali dalam menekan membuat timnya sulit mengembangkan permainan.
Hal itulah yang dianggap membuat permainan Garuda Muda tidak sebaik melawan Tajikistan atau Uzbekistan.
Meskipun demikian, Nova Arianto justru merasa senang dengan hal itu, karena pemainnya bisa merasakan tekanan semacam itu sebelum nanti tampil di Piala Dunia U17.
"Inilah kenapa sekali saya terima kasih karena kami mendapatkan lawan yang secara kualitas pastinya ada di satu atau dua level di atas kita ya," ujar Nova Arianto dikutip Tribunnews dari Bolasport.
"Sehingga pemain bisa merasakan dengan pressing yang tinggi itu kita cukup kesulitan untuk keluar,"
"Dan saya yakin pemain juga merasakan itu,"
"Itu hal yang saat ini sangat penting buat pemain, bisa pemain bisa belajar dari itu,"tukasnya menambahkan.
Masalah resistensi dalam menghadapi high press lawan memang menjadi tantangan tersendiri bagi pemain Indonesia.
Dalam sepak bola modern, setiap pemain dituntut untuk tetap tenang ketika dipress oleh lawan.
Lebih dari itu, dalam fase build-up alias membangun serangan dari lini belakang, kemampuan pemain untuk bisa tahan sekaligus lepas dari tekanan lawan menjadi kualitas mewah yang harus terus diasah.
Pelajaran itulah yang ingin diajarkan Nova Arianto kepada para pemainnya setelah Piala Kemerdekaan 2025.
Tepat di Piala Dunia U17 2025, semakin baiknya kualitas lawan, tentu kualitas pressing tim tersebut makin bagus.
Nova Arianto pun tak ingin para pemainnya minder ataupun kalah dulu sebelum menghadapi tantangan tersebut.
Lebih lanjut, ada pelajaran berharga lain yang tampaknya bisa juga dipetik dari Piala Kemerdekaan 2025.
Salah satunya menyoal kualitas lemparan maut ke dalam yang bisa dijadikan senjata Timnas U17 Indonesia.
Sejak Pratama Arhan menjadi pioner ini, hampir di segala lini dan usia Timnas Indonesia, lemparan maut ke dalam kerapkali menjadi senjata efektif memecah deadlock.
Tak terkecuali di Timnas U17 Indonesia, di mana Fabio Azka menjadi aktor utama lemparan maut ke dalam Garuda.
Dalam laga melawan Mali, saat kondisi Timnas U17 Indonesia tertinggal, terbukti lemparan maut ke dalam menjadi awal usaha Garuda Muda bisa menyamakan skor.
Dengan kualitasnya, lemparan jauh yang dieksekusi Fabio Azka berbuah manis, lantaran bola jatuh tepat di kepala Alberto Hengga yang sudah siap menyambutnya di mulut gawang Mali.
Dengan sekali gerakan saja, Alberto Hengga bisa mengarahkan bola masuk ke gawang Mali dengan sundulannya.
Melihat skema tersebut, senjata efektif berupa lemparan maut ke dalam layak untuk tetap dicoba sekaligus ditingkatkan kualitasnya saat Timnas U17 Indonesia beraksi di Piala Dunia U17 2025.
Apalagi beberapa gol Timnas U17 Indonesia besutan Nova Arianto di laga-laga sebelumnya, juga berasal dari skema ini.
Maka dengan sedikit sentuhan tambahan, lemparan maut ke dalam layak untuk terus diandalkan sebagai senjata Timnas U17 Indonesia.
Merujuk klasemen akhir Piala Kemerdekaan, Timnas U17 Indonesia harus rela menempati peringkat kedua dengan empat poin.
Sedangkan, Mali yang menjadi juara turnamen sukses menyapu bersih tiga laga dengan kemenangan serta berhak meraup poin sempurna yakni 9 angka.
Sementara posisi ketiga serta keempat ditempati secara berurutan oleh Tajikistan (2 poin) dan Uzbekistan (1 poin).
(Dwi Setiawan) (Bolasport.com/Lukman Adhi Kurniawan)