Gajinya Rp 120 Ribu, Yayat Tukang Las Kaget PBB Rp 389 Ribu Naik Jadi Rp 2,3 Juta, Pilih Nunggak
Mujib Anwar August 19, 2025 01:30 PM

TRIBUNJATIM.COM - Seorang tukang las di Kota Cirebon terpaksa nunggak pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena kenaikan yang cukup drastis.

Apalagi tukang las bernama Yayat itu gajinya Rp 120 ribu per hari.

Yayat tinggal di pinggir jalan RW 10, Kelurahan Pegambiran, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Bagi Yayat, nilai hitungan PBB yang ditetapkan pemerintah terhadap bangunan rumahnya sangat memberatkan.

Meski berada di pinggir jalan, kondisi keuangan dirinya sebagai kepala keluarga tidak sebanding dengan angka yang tertera di dalam PBB yang sangat tinggi.

Upah Rp 120.000 per hari untuk menafkahi istri dan dua anaknya masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan harian dan bulanan yang sering mendadak.

Ia tidak dapat menabung, apalagi membayar PBB yang naik berkali-kali lipat.

"Saya tinggal di pinggir jalan, tetapi lihat, pinggir jalan di sini, satu mobil berhenti saja langsung macet. Terus lihat kemampuan saya, buruh harian satu hari dapat Rp 120 ribu, untuk makan dan nafkah istri saja kadang kurang, itu kalau kerja, sedangkan kerjaan tidak setiap hari, bagaimana mau bayar pajak yang naik," keluh Yayat saat ditemui di rumahnya, Senin (18/8/2025).

Yayat menunjukkan perbedaan nilai mencolok dari surat tagihan PBB tahun 2022 dengan tahun 2024, setelah Perda Nomor 1 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) ditetapkan pada tahun 2024 lalu.

Pada tahun 2022 dan 2023, Yayat masih mampu membayar sebesar Rp 389.231.

Sementara di tahun 2024, Yayat harus membayar Rp 2.377.450.

Mendapati hal itu, Yayat mendatangi BKD dan Bappeda di tahun 2024 untuk menyampaikan nota keberatan.

Yayat disyaratkan melengkapi Surat Keterangan Tidak Mampu, Surat Keterangan dari Lurah, Camat, dan lainnya sebagai dokumen penyerta.

Yayat mendapatkan diskon potongan sebesar Rp 594.363 sehingga total nilai PBB yang harus dibayar Yayat menjadi Rp 1.783.087.

Meski telah mendapatkan bonus dan stimulan dari pemerintah, Yayat menilai jumlah tersebut masih sangat tinggi bagi dirinya yang merupakan buruh lepas tanpa penghasilan tambahan.

Alhasil, Yayat tidak mampu membayar PBB tahun 2024 yang akhirnya menunggak.

Tak berhenti di situ, Yayat pun semakin kaget karena diskon tersebut tidak berlaku di tahun 2025, karena masa tenggat bonus di tahun 2024 yang diberikan pemerintah hanya dalam batas kurun waktu tertentu.

Hingga saat ini, Yayat masih belum dapat membayar pajak.

"Pajak tahun kemarin belum dibayar karena setelah dari Rp 2,3 juta dapat stimulus Rp 590-an jadi Rp 1.780-an, masih memberatkan sekali. Ini setelah saya ke BKD Dispenda minta keringanan, saya disuruh bikin SKTM, kelurahan, kecamatan, itu pun dipotong 50 persen itu, bagi saya masih memberatkan," keluh Yayat, seperti dilansir dari Kompas.com.

Yayat menyadari, kenaikan PBB yang sangat melonjak drastis terjadi karena Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) rumahnya melonjak drastis.

Tahun 2022 dan 2023, tertulis dalam PBB, NJOP rumahnya Rp 399 juta.

Sementara di tahun 2024, NJOP rumahnya mencapai Rp 1,198 miliar.

Kenaikan ini tidak sebanding dengan nilai upah yang Yayat dapat dari buruh harian.

Begitupun dengan upaya jual rumah senilai Rp 1,1 miliar yang sangat tidak mudah dalam waktu dekat.

Dia menunjukkan dua rumah yang tepat beriringan dengannya yang dijual di angka Rp 900 juta.

Sejak dipasang iklan tahun-tahun sebelumnya, hingga hari ini belum laku terjual.

Yayat memohon kepada Wali Kota Cirebon dan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, agar dapat memberikan kepastian perhitungan pajak.

Menurutnya, kondisi ini sangat memberatkan, tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga banyak warga lainnya.

Ia mengungkapkan bahwa banyak warga tidak bersuara karena takut, padahal mereka sama-sama merasakan keberatan.

Sementara itu, protes warga Kota Cirebon atas kenaikan tarif PBB yang disebut mencapai 1.000 persen, akhirnya mulai mendapat tanggapan serius dari Pemerintah Kota Cirebon.

Wali Kota Cirebon, Effendi Edo mengaku, pihaknya sedang menyiapkan langkah penurunan tarif tersebut, namun realisasinya baru bisa dilakukan pada 2026.

"Kami sedang mengupayakan penurunan tarif yang dikeluhkan masyarakat Kota Cirebon pada tahun 2026 nanti," ujar Effendi Edo, usai Rapat Paripurna DPRD Kota Cirebon dalam rangka Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI, Jumat (15/8/2025).

Menurutnya, evaluasi tarif PBB harus melalui pembahasan revisi Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan hukum.

Penurunan tahun ini tidak memungkinkan, karena akan berdampak pada rancangan APBD yang sudah disusun.

"Kalau dipaksakan harus sekarang, nanti merubah semua rancangan APBD," ucapnya, seperti dilansir dari TribunCirebon.

Edo menegaskan, kenaikan tarif hingga 1.000 persen itu bukan kebijakannya, melainkan berlaku pada masa kepemimpinan Pj Wali Kota sebelum ia menjabat.

"Kenaikan tarif itu sebelum saya menjabat. Jadi, saya juga tidak tahu alasannya," jelas dia. 


Meski demikian, ia memberikan perhatian khusus dengan menerapkan diskon pembayaran PBB sebesar 50 persen dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan RI.

"Sekarang kita berlakukan diskon sebesar 50 persen," katanya.

Namun, langkah tersebut belum meredakan kekecewaan warga yang tergabung dalam Paguyuban Pelangi Cirebon.

Puluhan orang kembali berkumpul di sebuah rumah makan di Jalan Raya Bypass, Rabu (13/8/2025) malam, untuk menegaskan tuntutan mereka, yakni membatalkan kenaikan PBB hingga 1.000 persen.

Juru Bicara Paguyuban Pelangi Cirebon, Hetta Mahendrati, mengatakan perjuangan sudah berjalan sejak Januari 2024.

Mereka telah melakukan hearing dengan DPRD, turun ke jalan, mengajukan judicial review (JR), hingga mengadu ke Presiden Prabowo Subianto dan berbagai lembaga negara, namun belum ada hasil.

"Semua keluhan sudah kami sampaikan, tapi sampai detik ini belum ada satu pun jawaban," ujar Hetta.

Hetta mencontohkan, salah satu warga mengalami kenaikan PBB 1.000 persen, ada yang 700 persen, bahkan kasus ekstrem kenaikan 100.000 persen akibat kesalahan pemerintah.

"Orang itu sampai harus berutang ke bank untuk bayar PPHTB dan mengurus AJB. Apakah itu bijak?" ucapnya.

Paguyuban membawa empat tuntutan utama, termasuk membatalkan Perda No. 1 Tahun 2024 dan mengembalikan tarif PBB seperti tahun 2023, menurunkan pejabat yang bertanggung jawab, memberi tenggat satu bulan bagi Wali Kota untuk bertindak, serta mengingatkan agar pajak tidak dijadikan sumber utama PAD.

"Kalau di Pati bisa batalkan kenaikan PBB, kenapa di Cirebon tidak? Kami akan terus berjuang sampai tuntutan ini dikabulkan," jelas dia.

Wakil Ketua I DPRD Kota Cirebon, Harry Saputra Gani, memastikan revisi Perda No. 1 Tahun 2024 masuk Program Pembentukan Peraturan Daerah (Prolegda) 2025, dengan target pengesahan September nanti.

"DPRD dan Pemkot sepakat tarifnya tidak lagi 0,5 persen, tapi maksimal 0,3 persen."

"Nanti akan kita simulasikan lagi, bisa jadi 0,25 persen," kata HSG, sapaan akrabnya.

Menurutnya, lonjakan hingga 1.000 persen terjadi di beberapa titik akibat penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah belasan tahun tidak diperbarui.

"Kalau NJOP naik, otomatis PBB ikut naik. Tapi itu hanya terjadi di satu-dua titik," ujarnya.

HSG menambahkan, pemerintah sudah sempat memberikan diskon 50 sampai 70 persen untuk mengurangi beban masyarakat.

"Biar pengalinya nggak besar. Kita mau pastikan masyarakat tidak lagi terbebani seperti kemarin," ucap dia. 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.