BANJARMASINPOST.CO.ID- ROYALTI musik kini jadi sorotan. Kini masyarakat terusik dengan royalti musik. Apalagi, ada rencana penarikan royalti musik itu sampai ke transportasi umum. Rencana ini ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik.
Ya, tidak hanya hotel, restoran dan kafe, penarikan royalti lagu serta musik juga menyasar angkutan umum. Praktis, hal ini memunculkan polemik di masyarakat. Apalagi, angkutan umum di Indonesia, apalagi antarprovinsi sering memutar musik.
Memang, masalah royalti mulai menjadi sorotan setelah sejumlah pencipta lagu menggugat sejumlah penyanyi yang memakai lagunya, tapi tak minta izin dan tak memberikan bayaran. Ada yang menuntut Rp 1,5 miliar hingga Rp 24 miliar.
Apalagi, sejumlah lembaga pemungut royalti malah membuat lebih riuh. Ada yang menyebut restoran harus bayar royalti jika memutar rekaman suara burung. Alasannya, suara burung itu ada yang merekam atau menciptakannya. Orang yang merekam harus mendapatkan royalti itu.
Sebenarnya, sejumlah musisi juga mengkritisi soal pemungutan royalti musik atau lagu ini. Mereka juga tak setuju jika pemungutan royalti secara serampangan. Seperti Ahmad Dhani, dia malah menggatiskan lagu-lagu Dewa 19 untuk acara pernikahan dan kafe. Hal serupa juga dilakukan musisi lainnya.
Tentunya, sistem pemungutan royalti lagu ini mesti jelas. Wilayah dan momen apa saja yang harus dipungut atau tidak terkait royalti ini. Selain itu, hitungannya juga transparan dan tak terlalu memberatkan. Indonesia juga patut melihat negara lain dalam sistem pemungutan royalti.
Sandhy Sandoro yang kini berkiprah di dunia musik Jerman, mengungkap sistem pemungutan royalti di sana. Itu diungkapkannya dalam podcast Rhoma Irama, belum lama ini. Menurutnya, sistem pembayaran royalti di sana sangat transparan dan tertata rapi.
Ketika musisi tampil, tak memikirkan membayar royalti kepada pencipta lagu atau komposer. Semuanya diatur oleh kafe-kafe itu. Dan di sana ada wadah yang memang mengurusnya secara transparan. Tiap bulan, kafe-kafe itu menyetorkan pembayaran royalti itu kepada lembaga itu lalu disalurkan pada pencipta lagu dan komposer.
Menariknya, royalti yang dikenakan tidak tinggi nilainya sehingga tak memberatkan bagi kafe-kafe atau restoran yang ada pertunjukan musiknya. Tapi, karena jumlah yang membayar royalti banyak, akhirnya uang yang terkumpul melimpah untuk dibagikan pada insan musik.
Nah, dengan sistem seperti itu, mungkin tak perlu lagi jika pemungutan royalti sampai bus-bus yang memutar lagu hanya untuk mengurangi rasa kantuk dari sopir dan penumpang. Dengan pengelolaan yang transparan saja, pemungkutan royalti itu bisa menghasilkan uang yang banyak untuk kesejahteraan pencipta lagu dan komposer. (*)