TRIBUNNEWS.COM - Situasi politik dan militer Israel kembali memanas setelah Kepala Staf Militer atau IDF, Eyal Zamir, mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk segera menerima proposal pertukaran tahanan yang sedang diajukan.
Desakan itu dilontarkan bukan tanpa alasan, Zamir memperingatkan bahwa rencana pendudukan Kota Gaza justru menimbulkan “risiko serius” terhadap keselamatan para sandera yang masih ditahan oleh Hamas.
Adapun jumlah sandera yang ditahan Hamas diperkirakan mencapai 50 orang, 20 di antaranya dipercaya masih hidup.
Namun apabila pendudukan Kota Gaza direalisasikan, Zamir meyakini upaya ini hanya akan memicu serangan besar-besaran.
Lantaran pengeboman, hingga operasi darat dapat mendorong Hamas untuk menggunakan sandera sebagai tameng.
“Tentara memang mampu menduduki Gaza, tetapi operasi tersebut dapat membahayakan nyawa para sandera,” kata Zamir mengutip dari Anadolu.
Selain itu, rencana pencaplokan total Gaza juga bakal membuat Israel semakin terpojok, di mana negara-negara Barat sekutu Israel mulai menjaga jarak bahkan menjauhi dan mengecam agresi Tel Aviv ke Gaza.
Alasan tersebut yang mendorong Zamir menyerukan gencatan senjata, menganggap rencana sang PM Netanyahu tidak ideal.
Merespons pernyataan Zamir, para keluarga sandera menyambut positif desakan itu. Mereka menilai, komentar tersebut mencerminkan tuntutan mayoritas publik Israel yang menginginkan kesepakatan komprehensif.
“Kepala staf mencerminkan suara rakyat yang ingin melihat 50 sandera dipulangkan dan perang segera diakhiri,” ungkap perwakilan keluarga dalam sebuah pernyataan resmi.
Meski tekanan meningkat, pada akhir pekan lalu Menteri Pertahanan Israel Yoav Katz menyetujui rencana militer untuk menduduki Kota Gaza.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dilaporkan telah menyiagakan sekitar 60.000 tentara cadangan untuk mendukung rencana pendudukan Kota Gaza.
Selain pengerahan pasukan baru, kontrak sekitar 20.000 tentara cadangan yang telah aktif akan diperpanjang.
Keputusan ini disebut sebagai bagian dari fase baru perang guna mempercepat pencaplokan Gaza.
Terlebih Gaza memiliki posisi strategis di pesisir Laut Tengah. Kendali atas wilayah ini bisa memberi Israel keuntungan militer dan geopolitik dalam jangka panjang.
Buntut perselisihan tersebut, upaya diplomasi untuk menghentikan perang Israel–Hamas kembali memasuki babak krusial.
Proposal gencatan senjata yang difasilitasi Mesir dan Qatar sebenarnya telah berada di atas meja, namun hingga kini belum ada titik temu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu belum memberikan tanggapan resmi, sementara Hamas sudah menyatakan kesediaan dengan beberapa catatan tambahan.
Adapun isi dari proposal yang dimaksud yakni mencakup penghentian sementara pertempuran selama enam puluh hari.
Selama periode itu, kedua pihak akan melakukan pertukaran tahanan dalam dua tahap.
Hamas berjanji, membebaskan sepuluh sandera hidup dan menyerahkan delapan belas jenazah warga Israel. Sebagai gantinya, Tel Aviv diminta membebaskan ratusan tahanan Palestina.
Selain itu, Israel dituntut untuk menarik pasukan ke sekitar perbatasan Gaza untuk membuka akses bantuan kemanusiaan.
Pada tahap akhir, kedua pihak diminta melanjutkan pembicaraan mengenai kemungkinan gencatan senjata permanen.
Kendati usulan ini diyakini dapat meredam konflik antara Hamas dan Israel yang telah berlangsung sejak 2023 silam, namun Netanyahu menilai penghentian operasi militer berisiko memberi ruang bagi Hamas untuk bangkit kembali.
Dalam beberapa kesempatan, ia menegaskan bahwa tujuan Israel bukan hanya memulangkan sandera, melainkan juga “menghancurkan kemampuan Hamas” agar tidak lagi menjadi ancaman jangka panjang.
Sikap ini membuat Netanyahu belum siap memberi lampu hijau terhadap gencatan senjata jangka menengah, apalagi permanen.
(Tribunnews.com / Namira)