TRIBUNNDEWS.COM - Ribuan warga Israel menggelar aksi protes besar-besaran, memblokir jalanan kota guna menuntut pemerintah agar segera mengakhiri perang di Jalur Gaza yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023.
Perang terbaru di Gaza bermula ketika militan sayap kanan asal Palestina, Hamas, melancarkan serangan mendadak ke Israel yang menewaskan lebih dari 1.200 orang. Hamas turut menyandera ratusan warga Israel. Serangan itu memicu serangan balasan besar-besaran Israel ke Gaza.
Setelah dua tahun perang berlangsung, warga Israel kompak menuntut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu agar segera menghentikan konflik karena perang dianggap tidak lagi memberi arah atau tujuan yang jelas, justru memperpanjang penderitaan rakyat.
Selain itu, masih ada 50 sandera yang ditahan Hamas dan tak kunjung mendapat kepastian pulang.
Serangkaian alasan ini membuat warga Israel murka. Mereka menilai Netanyahu lebih mementingkan strategi politik dan operasi militer daripada keselamatan sandera.
Padahal, penyelamatan mereka dianggap sebagai tanggung jawab moral negara terhadap warganya.
Buntut kemarahan warga Israel atas tindakan Netanyahu, jalan-jalan utama di Kota Tel Aviv lumpuh total akibat aksi blokade yang dilakukan ribuan masyarakat.
Aksi demonstrasi nasional tersebut digerakkan oleh Forum Sandera dan Keluarga Hilang, dimulai pada Selasa (26/8/2025), waktu yang sama dengan saat Hamas melancarkan serangan pada 7 Oktober 2023.
Sambil mengibarkan bendera Israel di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tel Aviv sebagai simbol solidaritas, para pengunjuk rasa turut melontarkan kalimat-kalimat kritikan kepada Netanyahu.
Beberapa kelompok bahkan membakar ban di tengah jalan sebagai bentuk protes.
Selain memadati jalanan kota, aksi demo juga turut digelar di luar rumah sejumlah menteri Israel yang ada di berbagai wilayah negara Yahudi tersebut.
Di Hostages Square, Tel Aviv, keluarga para sandera berkumpul menyampaikan pernyataan emosional.
Einav Zangauker, ibu sandera bernama Matan Zangauker, mengecam keras kebijakan Netanyahu.
“Setelah 690 hari perang tanpa tujuan yang jelas, terbukti Netanyahu hanya takut pada satu hal yakni tekanan publik,” ujarnya.
Sementara itu, Itzik Horn, ayah sandera Eitan Horn, menuduh pemerintah dengan sengaja menggagalkan kesepakatan pembebasan.
“Pemerintah ini meninggalkan warganya dan meruntuhkan tanggung jawab moral terhadap rakyatnya,” katanya.
Tak dirinci kapan aksi unjuk rasa ini akan rampung, tetapi mengutip laporan The Times of Israel, puncak demonstrasi dijadwalkan berlangsung hingga malam hari dengan pawai besar dari Stasiun Kereta Savidor menuju Hostages Square, Tel Aviv.
Meski tekanan meningkat, pada akhir pekan lalu Menteri Pertahanan Israel Katz menyetujui rencana militer untuk menduduki Kota Gaza.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dilaporkan telah menyiagakan sekitar 60.000 tentara cadangan untuk mendukung rencana pendudukan Kota Gaza.
Selain pengerahan pasukan baru, kontrak sekitar 20.000 tentara cadangan yang telah aktif akan diperpanjang.
Keputusan ini disebut sebagai bagian dari fase baru perang guna mempercepat pencaplokan Gaza.
Terlebih Gaza memiliki posisi strategis di pesisir Laut Tengah. Kendali atas wilayah ini bisa memberi Israel keuntungan militer dan geopolitik dalam jangka panjang.
Di tengah memanasnya konflik internal yang terjadi di pemerintahan Israel, AS melaporkan bahwa negosiasi antara Israel dan Hamas kembali menemui jalan buntu.
Perundingan yang diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan pembebasan 50 sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza belum menunjukkan hasil.
Hamas menyatakan siap melepaskan sebagian sandera terlebih dahulu, namun Netanyahu menolak usulan tersebut.
Netanyahu bersikeras agar seluruh sandera dibebaskan sekaligus. Perbedaan sikap ini membuat proses negosiasi terhenti dan menimbulkan ketidakpastian.
(Tribunnews.com / Namira)