Purwokerto (ANTARA) - Akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Dr Indaru Setyo Nurprojo menilai istilah penonaktifan anggota DPR RI yang dilakukan partai politik terhadap kadernya merupakan mekanisme internal partai, bukan ketentuan yang secara jelas diatur dalam undang-undang.

"Logika dasarnya, keanggotaan seseorang di legislatif bermula dari keputusan partai politik. Mekanisme penonaktifan ini sudah diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) setiap partai," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin.

Dalam hal ini, kata dia, AD/ART tersebut menjadi alat kontrol partai terhadap anggotanya yang duduk di legislatif, sehingga pencopotan atau penggantian tidak bisa dilakukan secara semena-mena.

Ia mengatakan penonaktifan ini biasanya dilakukan dengan alasan-alasan tertentu, seperti merugikan nama partai atau kepentingan partai.

"Meskipun istilah penonaktifan tidak selalu jelas, mekanismenya ada. Kasus-kasus yang ada sekarang, saya pikir lebih ke konteks merugikan nama dan kepentingan partai," katanya menjelaskan.

Menurut dia, penonaktifan anggota dewan tidak menutup kemungkinan akan berujung pada proses pergantian antar waktu (PAW).

Ia mengatakan jika seorang anggota dinonaktifkan tanpa batas waktu yang jelas, secara otomatis harus ada penggantinya.

"Kalau saya membacanya begitu. Dengan sendirinya, karena enggak jelas sampai batas waktu penonaktifannya sampai kapan, berarti mau enggak mau harus ada penggantinya, PAW-nya," katanya menegaskan.

Ia pun membandingkan dengan kasus Fahri Hamzah yang dinonaktifkan dari partainya pada tahun 2016, namun tetap menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI karena tidak bisa serta-merta dicabut melalui mekanisme internal partai.

Menurut dia, fenomena penonaktifan anggota legislatif oleh partai bisa dipahami sebagai cerminan dinamika politik internal maupun upaya partai menjaga citra dan kepentingan organisasinya.

Akan tetapi secara umum, kata dia, penonaktifan merupakan mekanisme yang sah dalam internal partai untuk menjaga disiplin dan kepentingan bersama.

Ia mengatakan mekanisme kontrol partai terhadap kader yang duduk di legislatif merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).

"Pada akhirnya, partai politik akan menimbang untung ruginya, baik dari sisi citra maupun konsolidasi internal," kata Indaru.

Sebanyak lima anggota DPR RI periode 2024-2029 telah dinonaktifkan oleh partai politiknya karena telah mengeluarkan pernyataan kontroversial yang memicu kemarahan publik.

Lima legislator yang dinonaktifkan terdiri atas Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (PAN), Surya Utama alias Uya Kuya (PAN), Ahmad Sahroni (Partai Nasdem), Nafa Urbach (Partai Nasdem), dan Adies Kadier (Partai Golkar).