TRIBUNJATENG.COM, PATI – Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPRD Pati menduga ada kejanggalan dalam proses mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dokter di RSUD RAA Soewondo Pati.
Dokter atas nama Reni Kurniawati, hanya dalam kurun satu bulan, mendapat tiga kali Surat Keputusan (SK) mutasi yang ditandatangani Bupati Pati Sudewo.
Dari RSUD Soewondo, dia dipindah ke RSUD Kayen, kemudian ke Puskesmas Kayen, dan terakhir dikembalikan lagi ke RSUD Soewondo.
Perkara ini dibahas dalam rapat Pansus Hak Angket di Ruang Badan Anggaran (Banggar) DPRD Pati, Rabu (3/9/2025).
“Saya menerima SK pertama 9 Juli 2025, bahwa saya dipindah ke RSUD Kayen. Tapi baru satu hari, saat saya menghadap ke direktur dan jajaran manajemen RSUD Kayen, saya diminta menghadap BKPSDM, katanya SK salah dan perlu direvisi, sehingga dianggap tidak berlaku dan saya diminta menunggu SK revisi,” ujar Reni memberi kesaksian di hadapan Pansus.
Selanjutnya, 14 Juli 2025, Reni kembali menerima SK mutasi dari Bupati Pati. Dia dipindahkan ke Puskesmas Kayen.
Dia lalu bertugas di Puskesmas Kayen, sampai pada 4 Agustus, dia kembali mendapatkan SK.
“SK itu tertanggal 1 Agustus 2025. Saya kembali dipindahkan ke RSUD Soewondo, kembali ke tempat semula,” jelas Reni.
Reni mengaku kaget, sedih, dan bertanya-tanya, ketika mendapat SK mutasi yang pertama. Di mana dia dinyatakan dimutasi dari RSUD Soewondo ke RSUD Kayen.
“Saya sedih karena harus meninggalkan RS yang sudah saya anggap rumah kedua saya sendiri. Merasa agak lucu juga sih, tapi ya sudahlah, saya tidak mau mempermasalahkan,” kata dia.
Anggota Pansus dari PKB, Muhammadun, bertanya pada Reni, apakah pernah melakukan sesuatu yang membantah pimpinan, entah pimpinan langsung ataupun bupati, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang memungkinkan jadi alasan mutasi tersebut.
Madun juga bertanya, apakah Reni maupun suaminya pernah terlibat dalam dukung-mendukung paslon pada Pilkada lalu.
“Apakah ketika Pilbup, Ibu tidak mendukung bupati terpilih? Ibu memilih siapa itu rahasia Ibu, tapi apakah Ibu atau suami pernah mengajak atau melarang memilih Paslon tertentu, sehingga nasib Ibu hampir sama dengan kejadian lain. Rata-rata karena dianggap berpolitik oleh (bupati) yang menang, sehingga sewenang-wenang memutasi bawahannya, bahkan dipingpong seperti ini,” ungkap Madun.
Reni menjawab, saat menerima SK mutasi yang pertama, dia langsung bertanya pada direktur RSUD Soewondo, apakah dirinya membuat masalah sehingga dimutasi sebagai hukuman.
Dirinya mengaku tidak pernah merasa membuat masalah dengan orang-orang di lingkungan rumah sakit, baik dengan pegawai maupun keluarga pasien.
“Bu Direktur menjawab, tidak ada. Katanya ini hanya bagian dari perjalanan hidup. Bahkan beliau berharap saya bisa kembali lagi ke RSUD Soewondo karena memang saya tidak ada masalah apa pun,” jelas Reni.
Terkait pertanyaan Madun seputar dukung-mendukung saat Pilbup, Reni menegaskan bahwa baik dirinya maupun suami adalah ASN yang berkomitmen menjunjung netralitas. Dia dan suaminya tidak pernah terlibat dalam politik praktis.
“Kami tidak pernah berpolitik, baik kampanye, memasang status, atau mengajak orang (memilih paslon tertentu). Bahkan kami menolak ‘amplop’ dari mana pun,” tegas Reni.
Madun menimpali dengan menceritakan kasus lain. Dia menyebut, ada kasus mutasi ASN lain yang juga janggal. Di mana ada seorang ASN yang suaminya bekerja di bidang swasta.
Suami dari ASN tersebut sangat kritis terhadap kebijakan Pemkab Pati. Sehingga istrinya dimutasi, “dibuang” ke tempat jauh yang jaraknya puluhan kilometer.
“Kami mendengar, tolong dikonfirmasi, suami Ibu saat Pilkada tidak mendukung pasangan yang sekarang jadi. Bahkan cenderung ke paslon lain. Mohon ini dikonfirmasi benar atau tidak,” ucap Madun.
Reni menegaskan, baik dirinya maupun sang suami tidak tertarik sama sekali dengan politik praktis.
Dia bahkan mengatakan, apabila ada yang menyebut suaminya mendukung paslon tertentu, hal itu adalah fitnah.
“Pekerjaan kami saja sudah banyak, ngapain ngurus politik. Kami hanya rakyat yang menggunakan hak pilih, tapi tidak pernah ngajak-ngajak memilih paslon tertentu,” jelas Reni.
Dia mengaku tidak tahu apa yang menjadi alasan dirinya dimutasi, bahkan sampai mendapat SK mutasi tiga kali dalam kurun satu bulan saja.
“Saya hanya menerima dan menjalani. Menyerahkannya pada Allah. Saya sadari, sebagai ASN, saya sudah menyatakan bersedia ditempatkan di mana saja. Ya sudah saya melihat ke depan saja, saya yakini itu jalan terbaik dalam hidup saya,” ungkap Reni.
Ketika pada akhirnya dikembalikan ke RSUD Soewondo, Reni mengaku senang. Bagi dia, rasanya seperti pulang ke rumah.
Reni mengaku tidak pernah memohon agar dimutasi kembali ke RSUD Soewondo. Namun, dia menduga karena kompetensi dan kualifikasi dirinya masih dibutuhkan di sana.
“Di Soewondo memang saya memegang beberapa pekerjaan yang memerlukan kompetensi khusus. Di antaranya dokter pelaksana di bank darah dan pendamping dokter internship. Butuh pelatihan yang tidak instan, berbulan-bulan, untuk bisa memegang tanggung jawab tersebut. Penggantinya butuh pelatihan khusus. Kalau pemindahan tiba-tiba, otomatis akan terjadi ketidaksesuaian,” jelas dia.
Mendengar uraian jawaban Reni, Madun mengaku bingung dengan motivasi bupati mengeluarkan SK mutasi tersebut.
“Bapak-Ibu biasa-biasa saja, tapi ‘dihukum’ sedemikan rupa oleh penguasa? Apa masalahnya? Kok tidak masuk nalar. Kesimpuan pribadi saya, berarti pejabat yang memperlakukan ibu seperti ini adalah pejabat yang zalim,” tegas Madun.
Ketua Pansus Hak Angket DPRD Pati, Teguh Bandang Waluya, menilai kasus yang dialami Reni Kurniawati sesuatu yang “lucu”.
“Dokter Reni dalam sebulan dipindah tiga kali, bahkan ada SK yang salah. Ini hal yang lucu. Kecuali SK-nya bersama-sama (dengan ASN lain-red.). Ini, kan, SK sendiri. Beliau dari Soewondo, digeser ke RSUD Kayen, dipanggil, salah SK, dipindah ke Puskesmas, kemudian geser lagi ke Soewondo. Ini bentuk pembinaan atau seperti apa, prinsipnya kami mendalami,” ungkap politisi PDIP ini. (mzk)