TIMESINDONESIA, MALANG – Islam sejak diutuskan Nabi Muhammad SAW hadir sebagai rahmatan lil-‘alamin, rahmat bagi seluruh semesta, bukan hanya untuk satu golongan, etnis, atau mazhab tertentu. Misi Islam tidak berhenti pada ibadah ritual yang bersifat vertikal kepada Allah, tetapi juga mengakar dalam harmoni sosial dan kemanusiaan. Namun, kenyataan umat sering kali memperlihatkan polarisasi akibat perbedaan pandangan fikih yang justru mengaburkan wajah Islam yang inklusif dan ramah.
Ketika ibadah dipersempit pada ritus vertikal tanpa dimensi sosial, mihrab masjid hanya dilihat sebagai batas ritual, padahal Islam memandang ibadah sebagai kesatuan hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan manusia). Mihrab seharusnya menjadi simbol keseimbangan antara pengabdian spiritual dan tanggung jawab sosial.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id
Ibadah dan Akhlak Sosial: Mihrab sebagai Simbol Kesatuan
Al-Qur’an menegaskan: “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Imam al-Qurthubi menafsirkan ayat ini sebagai bukti bahwa rahmat Nabi mencakup semua manusia, melalui ajaran yang mencegah kezaliman dan mengajak kepada kebaikan.
Nabi SAW bersabda: “Agama itu adalah interaksi (muamalah)” (HR. al-Baihaqi). Hadis ini menegaskan bahwa kualitas ibadah tidak hanya dinilai dari ritual, tetapi juga dari akhlak sosial. Shalat yang khusyuk seharusnya melahirkan kejujuran, kepedulian, dan keadilan. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menambahkan, shalat berjamaah di mihrab melatih disiplin, persamaan derajat, dan kepedulian sosial. Dengan demikian, ibadah sejati mendorong umat untuk hadir di masyarakat dengan membawa nilai rahmat, kasih sayang, dan toleransi.
Perbedaan Mazhab sebagai Rahmat
Perbedaan fikih merupakan keniscayaan. Imam al-Syafi’i berkata: “Pendapatku benar tetapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tetapi mungkin benar” (al-Bayhaqi, Manaqib al-Syafi’i). Perbedaan ini lahir dari metode istinbat, kondisi sosial, dan pemahaman terhadap dalil, bukan hawa nafsu. Ibn Rusyd menegaskan dalam Bidayat al-Mujtahid bahwa khilafiyah memperkaya khazanah fikih dan memberi fleksibilitas bagi umat.
Sejarah mencatat variasi praktik ibadah, seperti shalat tarawih. Imam Malik meriwayatkan 36 rakaat di Madinah, sementara di Makkah 20 rakaat, dan ada juga riwayat 8 rakaat dari Aisyah. Semua ini memiliki landasan yang sahih, menunjukkan keluasan syariat yang memberi ruang sesuai konteks.
Etika perbedaan menuntut adab. Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah menegaskan: “Jangan jadikan perbedaan fikih sebagai alasan memutus silaturahim, karena tujuan ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan memenangkan ego pribadi.” Dengan demikian, perbedaan bukan penghalang, melainkan jalan menuju saling memahami. Persatuan bukan berarti keseragaman mutlak, melainkan harmoni dalam keragaman, sebagaimana ditegaskan Allah dalam QS. Al-Hujurat: 10.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id
Membumikan Nilai Rahmat
Ibadah berkualitas tidak berhenti pada syarat dan rukun lahiriah, tetapi juga membentuk akhlak batiniah. Shalat mencegah perbuatan keji (QS. Al-‘Ankabut: 45), puasa menumbuhkan ketakwaan (QS. Al-Baqarah: 183), zakat membersihkan harta dan hati (QS. At-Taubah: 103). Jika nilai ini dihayati, ibadah akan mengikis curiga, memperkuat ukhuwah, dan menumbuhkan penghargaan terhadap perbedaan.
Perbedaan fikih sejatinya adalah rahmat. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi: “Ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan di tengah umatku adalah rahmat). Perbedaan ini menunjukkan keluasan syariat yang bisa diaplikasikan di berbagai tempat dan zaman. Karenanya, menjadikan perbedaan sebagai bahan permusuhan bertentangan dengan tujuan syariat (maqashid asy-syari‘ah), yang antara lain menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta (al-Syatibi, Al-Muwafaqat).
Berpegang pada etika perbedaan berarti teguh dalam koridor syariah, namun lapang menerima variasi ibadah selama ada dalil sahih. Adab perbedaan mencakup tidak merendahkan pendapat lain, tidak memaksakan keseragaman, dan mengutamakan kemaslahatan.
Jika nilai ini hidup, Islam tampil bukan hanya sebagai sistem hukum, tetapi kekuatan moral yang teduh dan inklusif. Rasulullah SAW melalui Piagam Madinah mencontohkan bagaimana Islam melindungi semua kelompok, termasuk non-Muslim, dalam bingkai keadilan. Dari mihrab yang hening hingga ruang publik yang ramai, semangat rahmat dan toleransi harus terus mengalir, menjadi cahaya persatuan yang membimbing umat keluar dari polarisasi menuju harmoni. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Imam Safi’i, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id