Cerita Kriminal ini tentang tewasnya mahasiswa bernama Meredith Kercher. Polisi sempat buntuh hingga ditemukan DNA yang menempel di tali kutang korban. Sempat ada tersangka utama tapi akhirnya bebas karena bukti-bukti dianggap kurang kuat.
Artikel ini pertama tayang di Majalah Intisari edisi Desember 2011 dengan judul "Alibi yang Masih Teka-teki"
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Kriiing, telepon di ruang kantor polisi Via Della Pergola, Perugia, Italia, berdering nyaring. Jam dinding menunjukkan pukul 07.00, 1 November 2007. Seorang polisi dengan setengah mengantuk mengangkat telepon itu, terdengar suara panik seorang wanita di ujung telepon. Dia mengaku melihat dua buah benda mencurigakan teronggok di taman dekat rumahnya, yang diduga sebagai detonator bom.
Maka segera meluncurlah dua polisi ke taman yang disebutkan si wanita. Sesuai dengan laporan, di sana polisi menemukan dua buah benda teronggok, yang ternyata bukan pemicu bom tapi telepon genggam. Setelah diselidiki, ternyata kedua telepon tersebut milik seorang mahasiswi bernama Meredith Kercher yang tinggal di pondokan dekat taman.
Kedua polisi itu pun segera menuju ke tempat tinggal Meredith, sebuah pondokan mahasiswa yang rindang dengan pergola menaungi jalan menuju pintu rumah. Bukannya bertemu dengan si pemilik telepon genggam, kedua polisi malah bertemu dengan dua orang kawannya yang memperkenalkan diri sebagai Amanda Knox dan Raffaele Sollecito.
Amanda adalah teman Meredith yang juga tinggal di pondokan itu. Tapi dia mengaku baru saja tiba di pondokan sepulangnya dari rumah Raffaele, pacarnya. Pasangan kekasih itu curiga ada seseorang yang telah masuk ke pondokan secara paksa karena kaca jendela samping pondokan terbuka dan pecah. Mereka juga mengaku melihat ceceran darah di dalam kamar mandi.
Segera saja kedua polisi yang tadinya hanya berniat mengembalikan telepon genggam itu masuk ke dalam pondokan. Benar saja, kaca jendela samping pecah dan ada ceceran darah di kamar mandi. Pintu kamar Meredith Kercher terkunci dari dalam. Amanda dan Raffaele mengaku tak tahu menahu tentang kejadian yang menimpa Meredith.
Polisi kemudian mendobrak pintu kamar. Brak! Pintu terbuka. Sesosok tubuh wanita tergolek setengah telanjang terbungkus selimut di tengah-tengah genangan darah. Kamar terlihat berantakan dan kotor akibat bercak darah yang mengotori lantai dan dinding.
Dari pemeriksaan tubuh korban, Meredith dinyatakan meninggal dunia akibat tusukan benda tajam di bagian lehernya. Di sekujur tubuh Meredith juga ditemukan luka-luka tusukan lain.
Mengingat pembunuhan terjadi di dalam kamar tidur korban, polisi punya dugaan awal pelaku adalah seseorang yang mengenal baik Meredith, entah teman atau mungkin kekasih. Polisi juga menduga kemungkinan terjadinya pemerkosaan atau tindak kekerasan seksual karena tubuh Meredith ditemukan dalam keadaan hampir tanpa busana.
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan polisi, sehari sebelum peristiwa pembunuhan itu Meredith sempat menghadiri pesta Halloween di rumah pacarnya Giacomo Silenzi. Mereka berpesta hingga lewat tengah malam. Usai pesta, Meredith menginap di apartemen Robyn Butterworth, salah satu kawan kuliahnya.
Keesokan harinya, Meredith baru pulang ke pondokan tempat dia tinggal bersama Amanda Knox. Menurut kawan-kawan sekampus mereka, Amanda yang asal Amerika dan Meredith yang asal Inggris itu berteman dekat meskipun keduanya memiliki karakter yang berseberangan.
Berbeda warga negara, keduanya berasal dari universitas ternama di negaranya masing-masing. Keduanya sama-sama mahasiswi cerdas yang berprestasi. Keduanya juga pintar bermain gitar, senang pergi ke bar dan sesekali menghisap mariyuana, kenakalan khas mahasiswi yang tinggal jauh dari keluarga.
Sayangnya, kedekatan keduanya tak bertahan lama. Hubungan Amanda dan Meredith mulai renggang semenjak Amanda memacari Raffaele, si mahasiswa Italia. Frekuensi kedatangan Raffaele ke pondokan dan kamar Amanda dinilai terlalu sering dan mengganggu kenyamanan Meredith.
Karena Amanda sibuk dengan pacar baru dan teman-teman baru, persahabatannya dengan Meredith mulai renggang.
Kesaksian berubah-ubah
Sebagai dua orang yang pertama kali ditemui oleh polisi di di tempat Meredith terbunuh, Amanda dan Raffaele pun tak luput dari pemeriksaan polisi. Awalnya, keduanya diperiksa hanya sebagai saksi. Namun, seiring dengan proses investigasi, polisi menaikkan status pasangan kekasih muda itu tak hanya sebagai saksi karena pengakuan keduanya berubah-ubah.
Semula, Amanda mengajukan alibi bahwa dia tidak berada di pondokan saat peristiwa pembunuhan terjadi karena dia menginap di tempat tinggal Raffaele. Berdasarkan cerita Amanda itu, polisi lalu mengecek tempat tinggal Raffaele dan memeriksa setiap sudut apartemennya.Ternyata terdapat beberapa kejanggalan dan ketidaksesuaian antara cerita dua sejoli itu dengan fakta yang ditemukan oleh polisi di sana.
Kepada polisi, Raffaele mengaku berada di apartemennya bersama Amanda di malam saat Meredith terbunuh. Menurut pengakuannya, dia bekerja di depan laptop semalam suntuk sementara Amanda membaca buku.
Dia juga mengatakan sempat menonton film lewat pemutar DVD berdua dengan Amanda malam itu. Tapi polisi menemukan bukti, komputer milik Raffaele tidak dalam keadaan habis dinyalakan semalam suntuk pada malam pembunuhan itu.
Di apartemen Raffaele, polisi juga mencium aroma menyengat larutan pemutih pakaian. Di sana polisi juga menemukan sebuah pisau kecil yang diduga kuat adalah senjata yang dipakai untuk membunuh Meredith. Polisi curiga Raffaele telah membersihkan jejak dan menghilangkan noda pada pisau itu dengan menggunakan larutan pemutih pakaian.
Polisi juga mencurigai Amanda karena keterangannya selalu berubah-ubah dan tidak sesuai dengan hasil penyelidikan. Awalnya dia mengaku berada di apartemen Raffaele di malam pembunuhan. Tapi polisi menemukan fakta lain.
Lewat rekaman kamera CCTV, mereka mendapatkan bukti bahwa Amanda sempat masuk ke dalam pondokan pukul 20:45. Amanda tak bisa mengelak. Dia akhirnya mengaku bahwa dirinya malam itu memang sempat berada di dalam pondokan Meredith. Dia juga mengaku mendengar teriakan dari kamar Amanda. Namun, anehnya dia mengaku hanya menutup telinga saat mendengar teriakan, tidak mengecek ke kamar Meredith.
Polisi juga menemukan fakta lain yang mencurigakan. Telepon genggam dua sejoli ini ternyata sama-sama dimatikan sekitar pukul delapan malam pada malam pembunuhan dan baru kembali dinyalakan menjelang siang keesokan harinya. Padahal, Raffaele dan Amanda tidak punya kebiasaan mematikan telepon genggam pada jam-jam itu.
Sebelum polisi datang ke pondokan, Raffaele mengaku dia sudah menghubungi kantor polisi untuk melaporkan kemungkinan adanya orang yang masuk secara paksa ke dalam pondokan. Tapi, nyatanya di kantor polisi tidak ada laporan tentang hal itu dari seorang bernama Raffaele.
Polisi justru menduga Raffaele-lah yang dengan sengaja memecahkan kaca jendela agar polisi mencurigai orang lain sebagai pelakunya. Kecurigaan tim penyelidik semakin kuat setelah mendengar Amanda dengan fasih bisa menggambarkan kondisi kamar Meredith setelah kawannya itu terbunuh.
Padahal, semenjak pintu kamar Meredith didobrak polisi, praktis tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam kamar tersebut kecuali polisi. Bukti-bukti ini kemudian digunakan oleh polisi sebagai dasar untuk menjadikan Amanda dan Raffaele sebagai tersangka.
Tersangka baru
Hasil pemeriksaan DNA dari barang-barang bukti rupanya memunculkan tersangka baru, yaitu Patrick Diya Lumumba. Patrick adalah atasan kerja Amanda sekaligus pemilik bar Le Chic, tempat Amanda bekerja paruh waktu sebagai pelayan.
Pria berkulit hitam ini dengan cepat membantah tuduhan polisi dan mengajukan alibi bahwa dirinya berada di bar semalaman saat Meredith terbunuh. Tapi Patrick mengakui, dia pernah berkenalan dengan Meredith di bulan Oktober.
Dia pertama kali bertemu Meredith saat mahasiswi itu datang ke Le Chic dan menyapa Patrick dengan sedikit membual bahwa dirinya pandai meracik mojitos, sejenis minuman keras campuran Vodka, lemon, gula, daun mint dan rum.
Ketika polisi meminta keterangan Amanda, Amanda menuduh Patrick-lah yang membunuh Meredith. Dalam cerita barunya, Amanda bilang, sebenarnya atasannya itu menaruh hati kepada Meredith dan bahwa Patrick malam itu datang ke pondokan bersama dirinya.
Menurut kesaksian baru Amanda, dia dan Patrick sempat menonton TV bersama saat keduanya berada di pondokan sebelum peristiwa pembunuhan itu. Setelah itu, Patrick masuk ke kamar tidur bersama Meredith sementara Amanda berada di luar kamar. Tak lama setelah itu Amanda mengaku mendengar teriakan dari dalam kamar.
Namun, Patrick dengan cepat memberikan alibi kuat pada polisi bahwa dia berada di bar Le Chic di malam pembunuhan. Bukti yang dikumpulkan polisi memang menunjukkan bahwa Patrick berada di bar saat peristiwa pembunuhan.
Akhirnya Patrick, yang sempat ditahan polisi dua minggu, dibebaskan kembali karena kurangnya bukti yang menguatkan tuduhan dirinya sebagai pembunuh Meredith.
Pemeriksaan DNA atas barang-barang bukti terus dilanjutkan. Patrick bebas, tapi polisi menemukan tersangka baru, yaitu Rudy Hermann Guede. Pria berkulit hitam ini ditangkap karena sidik jarinya cocok dengan sidik jari yang ditemukan polisi dalam kamar Meredith.
Imigran asal Afrika ini ternyata memiliki rekam jejak kriminal sebagai pencuri dan pengedar narkoba. Saat polisi memburunya, Rudy rupanya sudah melarikan diri dengan kereta api menuju Jerman. Di Jerman, dia sempat ditangkap polisi setempat karena ketahuan naik kereta api tanpa tiket. Karena permintaan polisi Perugia, akhirnya Rudy diekstradisi kembali ke Italia.
Rudy, pria asal Pantai Gading, pindah dan menetap di Italia sejak berusia lima tahun mengikuti ayahnya yang bermigrasi ke sini. Setelah beberapa tahun menetap di Italia, ayah Rudy kembali ke kampung halamannya di Afrika.
Namun Rudy kecil memilih tinggal di Italia. Di sini ia tinggal dan dibesarkan oleh keluarga Caporali, sebuah keluarga pengusaha terkenal di Italia. Namun, karakter Rudy yang senang membangkang akhirnya memicu konflik antara dirinya dengan keluarga Caporali.
Pertikaian itu membuat Rudy diusir dari kediaman Caporali. Terkatung-katung dengan nasib tak jelas, Rudy tenggelam dalam dunia gelap anak-anak muda Perugia. Dia pun mulai menjadi pengedar narkoba untuk menopang hidup.
Saat diinterogasi polisi, Rudy bercerita bahwa dia baru berkenalan dengan Meredith dalam hitungan hari. Rudy juga datang ke pesta Halloween sehari sebelum kematian Meredith. Di pesta ini keduanya berkenalan. Setelah asyik mengobrol sepanjang pesta, keduanya membuat janji bertemu kembali keesokan malamnya di pondokan Meredith.
Rudy tak menyangkal dirinya memang berada di pondokan Meredith pada malam pembunuhan. Dia juga mengakui bahwa dia dan Meredith malam itu melakukan hubungan seks tanpa paksaan. Tapi, Rudy berkali-kali menegaskan bahwa dia tidak membunuh Meredith.
Dia berkata, ada orang lain yang masuk ke kamar tidur Meredith saat dirinya sedang berada di kamar mandi. Kata dia, ketika si pembunuh masuk ke dalam kamar, dia sedang menyalakan pemutar MP3 di dalam kamar mandi. Akibatnya, dia tak begitu jelas mendengar suara dari dalam kamar. Ketika akhirnya Rudy mendengar teriakan Meredith, dia cepat-cepat merapikan bajunya dan lari menuju kamar tidur.
Di sana Rudy mengaku melihat seorang pria berambut cokelat yang tak dia kenal tapi dia yakini sebagai pelaku pembunuhan. Saat pria itu melihat Rudy, dia menyumpahi Rudy dengan kata-kata kasar bernada rasisme. Sempat mencoba menolong Meredith yang sekarat, Rudy tiba-tiba menyadari kemungkinan polisi bisa mencurigainya sebagai pelaku sehingga dia cepat-cepat keluar dari pondokan dan melarikan diri.
Kepada polisi, Rudy mengaku tidak melihat Amanda saat keluar dari pondokan. Dia juga mengaku baru sekali bertemu Amanda ketika dirinya sedang minum-minum di bar Le Chic.
Rudy malah menduga bahwa Amanda mungkin salah mengira dirinya sebagai Patrick Lumumba, karena keduanya sama-sama berkulit hitam. Namun, keterangan Rudy ini bertentangan dengan temuan polisi. Semua bukti menunjukkan bahwa dia terlibat dalam pembunuhan ini.
Polisi curiga, Rudy tidak sendirian beraksi dalam kasus pembunuhan ini. Mungkinjuga dia dijebak oleh pelaku utama. Apalagi saat pemeriksaan, Rudy sempat bercerita kepada polisi bahwa Meredith pernah menjuluki Amanda sebagai “pecandu gila”. Amanda, kata dia, juga sempat memaksa meminjam sejumlah uang kepada Meredith untuk digunakan membeli obat-obatan terlarang.
Bukti jejak sepatu
Polisi terus melanjutkan penyelidikan terhadap dua sejoli Amanda dan Raffaele dan menemukan bukti-bukti baru. DNA Amanda ditemukan cocok dengan DNA yang menempel di pisau yang diduga sebagai senjata pembunuhan. Tapi Raffaele berkelit bahwa pisau tak ada kaitannya sama sekali dengan pembunuhan sebab dia memang hobi mengoleksi pisau.
Belakangan polisi juga menemukan kecocokan antara jejak sepatu yang ada di antara genangan darah di kamar Meredith dengan jejak sepatu olahraga milik Raffaele. Namun, pada saat sidang pengadilan Raffaele digelar, tim pengacara yang membela Raffaele menolak bukti ini dengan mengatakan bahwa Rudy Guede juga punya sepasang sepatu yang serupa dengan milik Raffaele.
Ayah Raffaele, Francesco Sollecito, ahli urologi terkenal di Italia, memberi kesaksian, anak lelakinya tidak mungkin terlibat dalam kasus pembunuhan. Francesco berpendapat Raffaele menjadi korban jebakan Amanda yang disebutnya sebagai gadis manipulatif. Namun, bukti-bukti yang dikumpulkan pihak kepolisian cukup menjadi dasar menjadikan Raffaele sebagai tersangka bersama Amanda.
Pihak keluarga Amanda di Amerika juga tak mau kalah mengemukakan pendapatnya di media massa. Curt, ayah Amanda bahkan rela mengeluarkan biaya lebih dari AS $ 500 juta demi memperjuangkan putrinya di meja hijau. Dia dan mantan istrinya bergantian menjenguk Amanda selama sang putri mendekam di belakang jeruji. Namun, Edda, ibunda Amanda tidak diperkenankan hadir dalam proses persidangan karena dia dijadikan saksi oleh polisi.
Kasus Amanda ini diberitakan besar-besaran di Amerika Serikat. Sorotan media massa Amerika yang cenderung berpihak kepada Amanda akhirnya membentuk opini publik. Banyak orang Amerika beramai-ramai membela Amanda dan berpendapat bahwa gadis itu tidak bersalah.
Bahkan selama proses pengadilan berlangsung, sejumlah warga Amerika yang menamakan diri “Friends of Amanda” memberi bantuan hukum bagi Amanda. Ahli kriminalitas asal Chicago, Paul J. Ciolino, serta pengacara asal Seattle, Anne Bremner, bahkan tak segan-segan membantu kelancaran proses hukum Amanda secara cuma-cuma.
Bremner membuat pernyataan di hadapan publik bahwa pihak kepolisian Italia tidak kompeten menangani kasus ini. Dia menuduh tim kepolisian Italia lambat dalam melakukan penyelidikan untuk menemukan bukti-bukti penting.
Kepala tim penyidik kepolisian Italia mengakui beberapa bukti terkait dengan kasus itu memang baru ditemukan lebih dari sebulan setelah pembunuhan Meredith terjadi.
Amanda dan Raffaele bebas
Salah satu bukti yang dianggap penting namun baru belakangan diketahui keberadaannya adalah tali kutang Meredith yang penuh dengan bercak darah. Benda ini ditemukan di bawah tumpukan barang di kamar Meredith.
Barang bukti ini ternyata mengandung DNA Raffaele dan Amanda. Pengacara Raffaele, Giulia Bongiorno, mengatakan bahwa tali kutang itu tak layak dijadikan bukti karena bisa saja telah terkontaminasi setelah pembunuhan terjadi.
Rudy yang ditangkap lebih dulu menjalani proses persidangan yang tergolong cepat dibandingkan dengan persidangan Amanda dan Raffaele. Rudy dituduh melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap Meredith.
Jaksa penuntut, Giuliano Mignini, menyatakan bahwa Rudy telah menjadi korban rayuan Amanda dan Raffaele yang mengajaknya turut serta dalam sebuah permainan seks yang berakhir dengan meninggalnya Meredith.
Dalam persidangan, Rudy berdalih bahwa dirinya tak berniat membunuh Meredith. Dari pengakuannya di depan hakim, Rudy mengaku telah secara seksual menyerang Meredith sementara Raffaele memegangi kepala dan pundak Meredith agar dia tidak berontak.
Menurut Rudy, Amanda-lah yang menusuk Meredith dengan pisau di bagian dada sebelum akhirnya menikamnya di tenggorokan hingga Meredith tak lagi bernyawa. Karena kejahatan ini, Rudy menerima vonis hukuman penjara 16 tahun.
Sementara itu, Amanda maupun Raffaele mendapat tuduhan telah melakukan aksi penyerangan seksual, pembunuhan, pencurian, kepemilikan senjata tajam serta pencurian telepon genggam. Menyatakan naik banding, keduanya diganjar hukuman penjara, 25 tahun bagi Raffaele dan 26 tahun bagi Amanda.
Tak puas dengan keputusan hakim, keluarga Amanda menyewa detektif dan meneruskan penyelidikan kasus ini untuk membuktikan bahwa Amanda tak bersalah. Perjuangan mereka selama empat tahun akhirnya membuahkan hasil.
Setelah menjalani hukuman empat tahun, Amanda dan juga Raffaele akhirnya dibebaskan karena bukti-bukti baru, alibi yang menunjukkan Amanda dan Raffaele tidak terlibat dalam pembunuhan itu.
Keputusan baru ini disambut sorak sorai pihak Amanda dan Raffaele. Sebaliknya, keputusan ini menuai kecaman dari kubu Meredith Kercher. “Keputusan ini betul-betul mengecewakan. Ini berarti pembunuh yang sebenarnya masih berkeliaran di luar sana atau malah secara hukum sudah resmi dibebaskan dari penjara,” komentar Stephanie, adik kandung Meredith.