TRIBUNJATENG.COM, BANYUMAS - Teriakan "Ganyang dosen cabul!" menggema di tengah barisan massa, menggambarkan kemarahan sekaligus tuntutan keadilan bagi korban.
Ratusan mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) itu menggelar aksi unjuk rasa di halaman Rektorat, Senin (8/9/2025).
Mereka membawa spanduk bertuliskan "Unsoed Darurat Kekerasan Seksual" dan "Alarm Keras, Waktunya Perlawanan" sebagai bentuk protes terhadap lambannya penanganan kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang profesor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Aksi ini menyerukan desakan keras terhadap pihak rektorat agar bersikap transparan.
Presiden BEM Unsoed, M Hafizd Baihaqi, menyatakan mahasiswa menuntut kejelasan sikap dan pertanggungjawaban dari pihak rektorat atas proses dan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
"Kita meyakini aksi ini adalah bentuk permintaan kejelasan dari rektorat.
Apakah hasil rekomendasi hukuman boleh disampaikan atau tidak, kita perlu tahu itu.
Mahasiswa butuh jaminan proses ini berjalan seadil-adilnya," ujarnya kepada Tribunjateng.com.
Hafizd menambahkan, mahasiswa ingin memastikan kampus benar-benar berkomitmen menciptakan lingkungan akademik yang bebas dari kekerasan seksual.
"Kami ingin hukuman seadil-adilnya.
Prosedur hukum tentu kembali ke pihak berwenang, tapi harus dijalankan secara adil, transparan, dan akuntabel," kata dia.
Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unsoed, Tri Wuryaningsih, mengungkapkan kasus ini telah ditangani sesuai ketentuan dalam Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024.
Dalam peraturan tersebut, satgas dan rektorat memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan, namun tidak bisa memberikan sanksi secara langsung.
"Satgas telah menuntaskan pemeriksaan dan menyampaikan hasilnya ke rektor.
Kami juga telah merekomendasikan pembentukan tim disiplin karena dugaan pelanggaran tergolong sedang hingga berat," ujar Tri.
Dari pemeriksaan yang dilakukan, terbukti bahwa dosen terlapor melanggar kode etik kesusilaan.
"Yang bersangkutan telah melanggar pasal tentang kekerasan seksual, berdasarkan 25 indikator bentuk kekerasan seksual dalam Permendikbudristek," katanya.
Sebagai bentuk sanksi internal, dosen tersebut dibebastugaskan dari kegiatan mengajar selama dua semester.
Ia tidak diperbolehkan mengajar di FISIP maupun fakultas lainnya mulai semester ini.
Namun karena status dosen tersebut adalah aparatur sipil negara (ASN), pemberian sanksi administratif lebih lanjut berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek).
Korban sampai saat ini masih didampingi.
Tri Wur menambahkan, sejauh ini baru satu korban yang melaporkan kejadian tersebut.
Korban masih dalam pendampingan Satgas PPKS dan tetap dapat menjalankan aktivitas akademik seperti biasa.
"Kami tetap berkomunikasi dengan korban.
Jika ada keterangannya yang ingin ditambahkan, itu akan kami akomodasi,” kata Tri.
Ia juga mendorong korban lain untuk berani bersuara.
"Kami berharap korban lainnya bisa speak up agar penanganan kasus ini bisa komprehensif," tambahnya.
Kasus ini pertama kali mencuat pada April 2025.
Korban, menurut Satgas PPKS, membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan langkah hukum dan memilih untuk melakukan penguatan bersama Satgas sebelum akhirnya melapor.
Laporan resmi korban masuk pada April, dan sehari setelahnya, dosen terlapor langsung dipanggil untuk pemeriksaan.
Unsoed telah membentuk tim pemeriksa beranggotakan tujuh orang berdasarkan Surat Keputusan Rektor.
Tim ini terdiri atas unsur rektorat, ahli hukum, psikolog, dan Ketua Satgas PPKS.
Setelah pemeriksaan rampung, hasilnya langsung diserahkan kepada Kemdiktisaintek sebagai pihak yang memiliki wewenang menjatuhkan sanksi terhadap ASN.
Wakil Rektor Bidang Umum, Keuangan, dan Kepegawaian Unsoed, Prof. Dr. Kuat Puji Prayitno, menyatakan proses pemeriksaan telah dilakukan secara profesional dan sesuai prosedur.
Selain itu, tim juga merekomendasikan kebijakan pendampingan terhadap pelapor dan penguatan sistem pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus, termasuk memberikan keringanan UKT bagi korban.
Unsoed menegaskan pihaknya berkomitmen menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
"Kami mengapresiasi dukungan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa kita semua satu suara: kekerasan seksual tidak boleh terjadi di ruang akademik,” ujar Tri Wuryaningsih.
Mahasiswa menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
Mereka menolak segala bentuk impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, dan mendesak agar sanksi yang diberikan tidak hanya formalitas, tetapi juga memberikan efek jera.
Rekomendasi Hukuman Disiplin
Tim pemeriksa telah merekomendasikan penjatuhan sanksi atau hukuman disiplin.
Ada sanksi akademik dan non akademik. Secara rinci, kami tidak bisa memberikan informasi, karena sudah menjadi ranah Kemdiktisaintek," kata Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum/Kepegawaian Unsoed, Prof. Dr. Kuat Puji Prayitno, SH., M.Hum., dalam keterangan resminya kepada Tribunbanyumas.com, Kamis (28/8/2025).
Tim pemeriksa bekerja berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 4053/UN23/KP.06.07/2025.
Tim beranggotakan tujuh orang yang terdiri dari unsur Rektorat, Dekanat FISIP, Senat Universitas, dan pejabat lain di lingkungan Unsoed.
Selama masa kerja, tim memeriksa terlapor, menghadirkan sejumlah saksi, termasuk ahli dan psikolog, serta menganalisis dokumen-dokumen pendukung.
"Pemeriksaan dilakukan secara profesional, objektif, dan menjunjung asas praduga tak bersalah.
Semua proses dijalankan berdasarkan prosedur serta menghormati etika akademik.
Kami melibatkan Ketua Tim PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) Unsoed pendalaman berdasarkan berita acara pemeriksaan," jelas Prof. Kuat.
Selain rekomendasi sanksi untuk dosen yang bersangkutan, tim juga memberikan sejumlah catatan penting bagi lembaga, termasuk penguatan kebijakan pencegahan kekerasan seksual di kampus.
"Rekomendasi juga kami tujukan kepada Dekan FISIP agar melakukan pendampingan terhadap pelapor, termasuk memastikan keberhasilan akademiknya tidak terganggu.
Kami bahkan mengusulkan pemberian keringanan UKT sebagai bentuk dukungan," tambahnya.
Langkah ini, kata Prof. Kuat, bukan sekadar memberi efek jera kepada pelanggar, melainkan juga bagian dari upaya menjaga integritas akademik serta menjamin kampus sebagai ruang yang aman dan kondusif.
Unsoed menegaskan bahwa mereka tidak akan mentolerir segala bentuk pelanggaran etika dan disiplin, terlebih yang menyangkut kekerasan seksual.
"Unsoed berkomitmen memperkuat sistem pencegahan agar kasus serupa tidak terulang.
Kami ingin memastikan seluruh civitas akademika merasa aman, terlindungi, dan tetap dalam lingkungan yang menjunjung tinggi etika," terangnya. (jti)