September Hitam: Bayang Panjang di Tengah Demokrasi
Hari Widodo September 11, 2025 08:33 AM

Oleh: Abdurrahman Hakim, Presiden Mahasiswa UIN Antasari 2024/2025

BANJARMASINPOST.CO.ID- SETIAP bangsa memiliki bulan-bulan kelam dalam kalendernya. Bagi Indonesia, September adalah bulan yang selalu menghadirkan luka. Dari tragedi politik, pelanggaran hak asasi manusia, hingga gelombang protes yang berdarah. 

Semua membekas dalam ingatan kolektif. Karena itu, istilah “September Hitam” bukan sekadar frasa, melainkan simbol betapa panjangnya bayang tragedi dalam perjalanan demokrasi negeri ini.

Jika kita menoleh ke belakang, September selalu identik dengan tragedi. Tahun 1965, Indonesia diguncang oleh peristiwa G30S yang berujung pada pembantaian massal ratusan ribu orang yang dituduh simpatisan komunis.  Luka itu belum pernah sepenuhnya sembuh. Hingga kini, keluarga korban masih menunggu pengakuan dan keadilan.

Berlanjut ke masa Orde Baru, kekerasan politik sering muncul dalam bentuk represif. Tragedi Malari (1974) dan Tanjung Priok (1984) menjadi contoh betapa suara rakyat kerap dijawab dengan moncong senjata. Bahkan setelah Reformasi 1998, peristiwa kelam seperti Semanggi I dan II tetap menjadi catatan bahwa demokrasi kita masih berjarak dari cita-cita idealnya.

Sejarah ini menunjukkan pola berulang: suara rakyat seringkali diabaikan, sementara aparat negara menanggapi dengan kekerasan. Itulah mengapa setiap kali September tiba, publik teringat bahwa demokrasi kita masih rapuh, masih mudah digelapkan oleh bayangan otoritarianisme.

Awal September 2025, luka itu kembali menganga. Gelombang protes besar-besaran pecah di Jakarta dan kota-kota lain, dipicu oleh isu kenaikan fasilitas DPR yang dianggap tidak masuk akal di tengah kesenjangan ekonomi.  Massa aksi terdiri dari mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil yang sudah lama jenuh dengan gaya hidup elite politik yang semakin menjauh dari rakyat.

Namun, tragedi tak bisa dihindari. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia muda, tewas setelah tertabrak kendaraan taktis polisi saat demonstrasi berlangsung (Reuters).

Kehilangan nyawa seorang pencari nafkah harian itu menyulut amarah publik.  Affan bukan aktivis garis depan, ia hanya rakyat biasa yang terjebak dalam pusaran bentrok, tapi kematiannya menjadi simbol betapa nyawa rakyat begitu murah di hadapan aparatur negara.

Kerusuhan yang terjadi menimbulkan puluhan korban luka dan ratusan orang ditangkap. Amnesty International dan lembaga HAM lokal mengecam tindakan berlebihan aparat. Pemerintah memang merespons dengan menunda sebagian tunjangan parlemen dan menjanjikan investigasi kasus Affan, tetapi publik menilai langkah itu setengah hati lahir karena tekanan, bukan karena kesadaran moral (Financial Times, WSJ).

Di titik ini, pertanyaan besar muncul: benarkah demokrasi bekerja untuk rakyat? Ataukah ia hanya menjadi alat untuk melanggengkan kepentingan elite? Demokrasi tanpa keadilan sosial hanyalah topeng. Ketika suara rakyat tidak didengar, sementara aspirasi elite terus dipenuhi, maka demokrasi berubah menjadi sandiwara yang kehilangan ruhnya.

Indonesia memang disebut sebagai salah satu demokrasi terbesar di dunia, tetapi kualitas demokrasi kita kerap dipertanyakan. Indeks demokrasi global menurun, kebebasan sipil tergerus, dan ketimpangan ekonomi makin tajam. Ironisnya, di tengah klaim pertumbuhan ekonomi yang stabil, masyarakat kecil justru merasa tidak mendapatkan bagian yang layak.

Dalam konteks ini, September 2025 hanyalah puncak gunung es. Ia menunjukkan akumulasi ketidakpuasan masyarakat terhadap wajah demokrasi yang timpang: aparat yang brutal, elite yang berjarak, dan rakyat yang makin sulit mempercayai institusi negara.

Sejak 2007, aksi Kamisan hadir secara diam tiap Kamis di depan Istana Negara dengan payung hitam menjadi simbol ingatan terhadap korban pelanggaran HAM. Ia bukan hanya ritual perlawanan moral, tapi juga pengingat bahwa negara belum menyelesaikan kasus-kasus besar: 1965, Petrus, Talangsari, Tanjung Priok, Trisakti, hingga Semanggi.

Kini, tragedi Affan Kurniawan dan protes September 2025 berpotensi menambah daftar panjang luka yang akan terus dibawa ke Kamisan. Di tengah klaim pemerintah yang ingin menutup buku masa lalu dengan dalih rekonsiliasi, rakyat justru terus membuka halaman demi halaman luka baru. Artinya, “September Hitam” tidak hanya tentang sejarah, tapi tentang keberlanjutan pola pelanggaran yang terus terjadi.

Bayangan September Hitam tidak hanya soal masa lalu, melainkan juga tentang masa depan demokrasi. Jika negara terus gagal menjamin hak dasar rakyat untuk menyampaikan aspirasi, jika aparat terus melanggengkan kekerasan, dan jika elite politik terus bermain di menara gading, maka demokrasi akan semakin kehilangan makna substantifnya.

Kita patut belajar dari negara lain. Tanpa keberanian mengakui kesalahan masa lalu, demokrasi hanya akan menjadi rutinitas elektoral tanpa keadilan. Dan tanpa keadilan, demokrasi akan selalu rapuh, mudah diguncang oleh krisis sosial dan ekonomi.

Di tengah kegelapan ini, generasi muda Indonesia punya peran penting. Mereka bukan sekadar pewaris luka sejarah, tetapi juga agen yang mampu mengubah jalannya. Protes yang marak pada September 2025 membuktikan bahwa mahasiswa, buruh muda, dan komunitas sipil masih menjadi motor kritik sosial. Mereka mengingatkan bahwa demokrasi sejati bukan sekadar memilih lima tahun sekali, melainkan memperjuangkan keadilan setiap hari.

Namun, perjuangan itu tidak mudah. Mereka akan berhadapan dengan represi, dengan stigma, dan dengan narasi yang mencoba membungkam. Karena itu, penting bagi generasi muda untuk membangun solidaritas lintas kelompok, lintas isu, dan lintas identitas. Hanya dengan kekuatan kolektif, bayang panjang September bisa dihadapi.

Meski kelam, September tidak hanya menyisakan duka. Ia juga menyisakan harapan-harapan bahwa dari luka, lahirlah kesadaran baru. Bahwa dari korban, lahirlah gerakan yang lebih kuat. Dan bahwa dari ingatan, lahirlah keberanian untuk menuntut keadilan.

Demokrasi Indonesia masih bisa diperbaiki, jika negara berani melakukan tiga hal. Pertama, mengakui dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan kini melalui jalur hukum yang transparan. Kedua, memastikan aparat negara tunduk pada prinsip HAM, bukan pada logika kekuasaan. Ketiga, menegakkan keadilan sosial sehingga demokrasi memiliki wajah yang nyata bagi rakyat kecil.

September Hitam adalah pengingat keras bahwa demokrasi tidak pernah datang dengan sendirinya. Ia harus diperjuangkan, dijaga, dan dikoreksi terus-menerus. Selama negara masih lalai, rakyat tidak boleh berhenti bersuara.

Bayang panjang September memang masih membayangi, tapi di balik kegelapan itu selalu ada ruang untuk menyalakan cahaya. Dan generasi inilah generasi yang hidup dalam bayangan sejarah yang punya tugas menyalakan obor keadilan, agar demokrasi Indonesia tak lagi hanya slogan, melainkan kenyataan yang dirasakan oleh semua. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.