Berawal dari Demo Asas Tunggal Pancasila, Tragedi Tanjung Priok 3 September 1984 pun Meletus
Moh. Habib Asyhad September 11, 2025 03:34 PM

Peristiwa Tanjung Priok 1984 menjadi salah satu noda hitam dalam sejarah Indonesia. Berakar dari ide Pancasila sebagai asas tunggal yang diembuskan pemerintah Orde Baru sejak awal 1980-an.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Beberapa kalangan menyebut Tragedi Tanjung Priok atau Peristiwa Tanjung Priok sebagai pelanggaran HAM berat sebelum kerusuhan Mei 1998. Bagaimana peristiwa pilu di tengah menguatnya hegemoni Orde Baru itu terjadi?

Berbicara tentang Peristiwa Tanjung Priok 1984 pertama-tama kita harus memulainya dari ide asas tunggal Pancasila yang yang diembuskan oleh Orde Baru. Meski secara hukum kebijakan Asas Tunggal Pancasila ditetapkan pada 1985, ide-idenya sudah muncul bahkan jauh sejak Soeharto naik takhta.

Dalam bukunya berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya,Soeharto, sebagaimana dikutip dari Kompas.ID, mengatakan bahwa terjadinya kerusuhan Tanjung Priok 1984 merupakan akibat dari sistem politik Orde Baru yang ingin menerapkan asas tunggal Pancasila. Beberapa kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut kemudian memberontak dan menghasut massa sehingga terjadi kerusuhan.

Jauh sebelum itu, dalam pidatonya pada 16 Agustus 1967, Soeharto juga menekankan tentang Pancasila seharusnya menjadi satu-satunya ideologi dan pandangan hidup bangsa. Awal 1970-an, Orde Baru melakukan fusi partai politik. Di mana kelompok kelompok Islam "diringkus" dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada awal 1973 -- sementara kelompok nasionalis dimasukan ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Hasilnya, cukup mengkhawatirkan bagi Orde Baru. Bagaimana tidak, pada Pemilu 1977 PPP menang di beberapa wilayah penting Orde Baru. Termasuk Jakarta. Karena terus khawatir, sejak saat itu Soeharto mulai menenkankan kepada setiap partai politik harus menggunakan ideologi Pancasila.

Kemudian pada peringatan HUT Kopasandha (sekarang Kopassus) pada 16 April 1980, Soeharto mengingatkan bahwa adanya usaha-usaha untuk menggantikan Pancasila tidak semata-mata dengan kekuatan senjata, namun juga dengan kekuatan subversif. Apa yang disampaikan oleh Soeharto itu tentu mengundang protes keras dari beberapa tokoh senior, seperti AH Nasution, Hoegeng, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahab, Sjafruddin, dan lain sebagainya, yang kemudian mengajukan Petisi 50 pada 13 Mei 1980.

Alih-alih menghiraukan, MPR justru memperkokoh pemberlakuan asas tunggal Pancasila sesuai dengan arahan Presiden Soeharto melalui Tap MPR No. II/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara pada Sidang Umum MPR 1983. Dalam Bab IV D pasal 3 Tap MPR No. II/1983 tentang GBHN dinyatakan bahwa semua partai politik dan Golongan Karya diwajibkan untuk berasaskan hanya pada satu asas, yakni Pancasila. Pemerintah juga terus melakukan internalisasi nilai-nilai Pancasila lewat Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Ide asas tunggal Pancasila pun semakin mendapat penolakan deras, terutama dari kelompok Islam. Sebagia respon, pemerintah Orde Baru kemudian memberi cap ekstrem kanan kepada mereka. Panglima ABRI (Pangab)/Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal LB Moerdani dalam Rapat Kerja Paripurna V Departemen Penerangan 25 April 1984 bahkan mengatakan bahwa setiap warga negara perlu waspada terhadap kelompok yang mengancam Pancasila dari golongan ekstrim kanan.

Penolakan asas tunggal tak hanya muncul di kalangan elite partai, tapi juga dari mimbar-mimbar majis, termasuk masjid-masjid di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tak hanya itu, protes juga mewujud dalam bentuk demonstrasi-demontrasi di jalanan.

Demonstrasi penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal itu, terutama berakar pada aksi kekerasan aparat dan penahanan terhadap empat warga Tanjung Priok, yaitu Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad Nur. Empat orang itu ditahan setelah sebelumnya terdapat aksi pembakaran sepeda motor Babinsa.

Pembakaran terjadi setelah masyarakat mendengar ada aksi provokasi yang dilakukan oknum tentara di sebuah masjid. Kabar beredar semakin liar dan menyebabkan masyarakat setempat marah.

Aksi untuk menolak penahanan empat orang itu pun terjadi. Massa kemudian berkumpul dalam sebuah tabligh akbar di Jalan Sindang, di wilayah Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984. Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat, dalam ceramahnya menuntut pembebasan empat orang itu, yang juga jemaah Mushala As Sa’adah.

Setelah itu Amir Biki memimpin massa mendatangi Komando Distrik Militer Jakarta Utara. Berbagai upaya dilakukan agar empat tahanan itu dibebaskan. Tapi upaya yang dilakukan oleh Amir Biki tak mendapat respons yang baik.

Justru sebaliknya, massa malah dihadang aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara. Harian Kompas pada 14 September 1984 menulis, aparat keamanan berupaya melakukan tindakan persuasif untuk membubarkan massa. Namun, saat itu massa tidak mau bubar sebelum tuntutannya dipenuhi.

Bahkan, menurut Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban LB Moerdani, dari arah massa yang berdemonstrasi terdapat sejumlah provokator yang membawa senjata tajam dan bensin. Ini menjadi alasan bagi aparat keamanan untuk bertindak tegas, bahkan brutal.

Tembakan timah panas mulai dilakukan ke arah demonstran, setelah tembakan peringatan tak digubris. Korban berjatuhan yang mengakibatkan luka dan kematian. Datangnya bala bantuan pengamanan, akhirnya membuat gerombolan massa mundur secara bertahap.

Tapi menurut LB Moerdani, selang 30 menit gerombolan massa menyerang petugas keamanan kembali. Akibatnya timah panas kembali dihujam ke arah mereka. Korban berjatuhan lagi. Ketika itu LB Moerdani menyebut korban tewas berjumlah sembilan orang dan lebih dari 50 orang luka-luka.

Setelah peristiwa tesebut, anggota aparat segera membersihkan lokasi kejadian dan mengamankan demonstran. Ada sebuah informasi mengenai peristiwa ini merupakan hasutan dari kalangan militer yang anti-pemerintah. Setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah. Sejumlah orang ditangkap karena dituduh bersifat provokatif terhadap peristiwa ini.

Meski begitu, pemerintah dinilai tidak berhasil memberikan penjelasan transparan kepada masyarakat terkait peristiwa berdarah itu.

Kronologi Peristiwa Tanjung Priok

Dalam peristiwa itu, sebanyak 24 orang tewas dan 55 korban lainnya luka-luka. Sementara itu, menurut investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) jumlah korban tewas mencapai 400 orang, sebagaimana ditulis dalam "Kasus Kerusuhan Tanjung Priok Tahun 1984 sebagai Pelanggaran HAM di Indonesia" oleh Kevin Jonathan, dkk., yang tayang di jurnal Nusantara pada 2023.

"Tragedi Tanjung Priok ini dipenuhi oleh baku tembak yang menewaskan 24 orang dan 55 orang terluka. Sementara itu, investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) menyimpulkan jumlah korban tewas mencapai 400 orang, belum termasuk korban cacat dan luka luka," tulis mereka.

Selain itu, 160 orang yang dicurigai berkaitan dengan peristiwa tersebut ditangkap oleh militer tanpa prosedur jelas dan tanpa surat perintah dari atasan. Peristiwa pelanggaran HAM tersebut dapat ditarik dari upaya-upaya penceramah di masjid dan musala di kawasan Tanjung Priok, yang kerap mengkritik Orde Baru.

Para penceramah ini mengkritik berbagai kebijakan seperti penerapan asas tunggal Pancasila, pelarangan ceramah tanpa izin, pelarangan mengenakan kerudung bagi siswi SMA, dan sebagainya. Di samping itu, juga ada muatan politik secara spesifik yang melatarbelakanginya, semisal pengkerdilan partai Islam dan organisasi Islam lainnya.

Hal inilah yang kemudian mengundang datangnya orang-orang berlatar belakang militer ke kawasan tersebut dan mulai menertibkan masjid dan musala, khususnya Mushola As-Sa'adah.

7 September 1984

Seorang anggota Babinsa mendatangi Mushola As-Sa'adah dan meminta untuk mencopot pamflet jadwal pengajian yang juga berisi tulisan tentang problem Islam masa Orde Baru. Tindakan seorang Babinsa itu tentunya melahirkan kemarahan masyarakat yang hadir dalam peristiwa tersebut. Tidak cukup pelepasan pamflet, ketegangan masih berlanjut di keesokan harinya.

8 September 1984

Keesokan harinya, seorang oknum ABRI bernama Sertu Hermanu mendatangi Mushola As-Sa'adah dan meminta pengurus musala itu menyerahkan pamflet yang dilepas kemarin. Dalam aksi tersebut, dia tidak saja menyita pamflet, tetapi juga menyinggung perasaan rakyat muslim karena memasuki musala tanpa melepas sepatu.

Dia bahkan menyiramkan air got ke dinding Mushola As-Sa'adah dan menginjak-injak Al-Quran. Aksi tersebut langsung menyulut kemarahan masyarakat dan kemudian membakar motor milik Sertu Hermanu.

10 September 1984

Dua hari setelah peristiwa Sertu Hermanu, beberapa jamaah Mushola As-Sa'adah berpapasan dengan salah satu petugas koramil rekan Sertu Hermanu dan terjadi adu mulut. Adu mulut ini kemudian ditengahi oleh dua orang takmir Masjid Baitul Makmur.

Mereka lantas diajak merundingkan masalah di sekretariat masjid. Perundingan untuk segera menyelesaikan masalah tersebut ternyata tidak kunjung membaik karena prajurit ABRI itu menolak menganggap masalahnya selesai.

Di samping itu, massa telah berkumpul dan mendengar percakapan di dalam sekretariat dan turut kehilangan kesabaran dan membakar sebuah motor milik seorang marinir. Atas pembakaran tersebut, kedua takmir masjid yang menengahi adu mulut tadi ditangkap bersama dua orang lainnya. Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk membebaskan keempat orang yang ditahan itu, tetapi hasilnya sia-sia.

12 September 1984

Pada tanggal 12, beberapa mubaligh melakukan ceramah di tempat terbuka dan mengulas kecacatan sosial dan politik Orde Baru. Khususnya tentang aksi beberapa hari lalu. Dalam ceramah tersebut, seorang bernama Amir Baki berbicara lantang mengultimatum untuk segera membebaskan keempat orang yang ditahan aparat, paling lambat pukul 23.00 WIB.

Setelah ceramah-ceramah usai, sekitar 1.500 orang yang telah dikuasai amarah melakukan aksi demonstrasi menuju kantor polsek dan koramil. Beberapa sumber lain mengatakan bahwa beberapa orang melakukan aksi pengrusakan bangunan-bangunan selama perjalanan.

Dalam perjalanan tersebut, tepatnya di Jalan Protokol, mereka kemudian dikepung oleh kelompok militer dari dua arah, dan disambut tembakan senjata api. Massa demonstran ditembaki oleh militer yang bersenjata lengkap secara membabi buta.

Dalam sekejap, massa berhamburan dan bergeletakan di jalan. Tidak sampai di situ, aparat kemudian juga menembakkan bazoka. Saat itu, rumah sakit dilarang menerima korban tembak Tanjung Priok.

Oleh karena itu, para korban hanya dilarikan ke Rumah Sakit Militer di tengah kota. Setelah korban diangkut, kemudian datang mobil pemadam kebakaran yang menyirami jalan yang bergenangan darah.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.