Perampok 'Kebal' Peluru Itu Bernama Eddy Sampak, Kabur dari Penjara dan Jadi Penasehat Surat Kabar
Moh. Habib Asyhad September 12, 2025 05:34 PM

Cerita Kriminal ini tentang Eddy Sampak, seorang tentara yang banting setir jadi perampok. Divonis mati, kabur dari penjara, dan tiba-tiba jadi penasihat sebuah surat kabar.

Artikel ini pernah tayang di Majalah Intisari edisi Maret 1994 dengan judul “Berburu Perampok Kebal Peluru”.

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Hampir saja para anggota kesatuan militer dan keluarganya di Cianjur gagal merayakan hari raya Idul Fitri. Hanya tinggal empat hari lagi menunaikan ibadah puasa, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh berita perampokan uang gaji mereka.

Yang lebih menggegerkan lagi, sang perampok memberondong para petugas keuangan dengan senjata Carl Gustav. Sebelum melarikan diri dan meninggalkan para korban, perampok membakar kendaraan Colt D 5791 G yang mereka tumpangi bersama dari Sukabumi menuju Cianjur, Jawa Barat.

Senin pagi, 20 Agustus 1979, sebelum peristiwa itu terjadi, juru bayar Serma Sutaryat, pembantu juru bayar Koptu Sumpena, serta dua pegawai sipil Djudjun dan Daeng Rusyana menerima cek dari Kantor Keuangan Militer di Sukabumi untuk pembayaran gaji anggota Kodim 0608 Cianjur. Mereka lalu menuju Bank Karya Pembangunan untuk menguangkannya. Itu memang pekerjaan rutin yang mereka lakukan menjelang akhir bulan dan hari gajian.

Ketika di Sukabumi, mereka bertemu dengan Serma Eddy Maulana Sampak. Bagi Serma Sutaryat dan teman-temannya, pertemuan itu bukan sesuatu yang aneh karena mereka berada dalam kesatuan yang sama. Serma Eddy Sampak ditugaskan sebagai bintara pertahanan rakyat di Kecamatan Karang Tengah, Cianjur. Sedangkan Serma Sutaryat, selain sebagai juru bayar di Kodim 0608 Cianjur, juga ditunjuk sebagai caretaker kepala Desa Nagrak.

Itulah sebabnya rombongan Serma Sutaryat tidak menolak tatkala harus pulang bersama-sama ke Cianjur dengan menumpang angkutan umum. Waktu itu Serma Eddy Sampak disertai seorang temannya, Ojeng, yang menenteng sebuah jerigen plastik ukuran kecil.

Kambing untuk Lebaran

Jarak Sukabumi - Cianjur sekitar 45 km. Dengan kecepatan normal, angkutan umum yang mereka tumpangi akan tiba di Cianjur sekitar pukul 13.00, kira-kira satu jam setelah meninggalkan terminal Sukabumi.

Ketika kendaraan hampir mendekati perbatasan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur, Eddy Sampak menyuruh pengemudi membelokkan kendaraan ke arah kiri, masuk ke sebuah jalan desa menuju daerah yang disebutnya Kebon Pete, di Kecamatan Warungkondang, Cianjur. Eddy bilang kalau dia hendak mengambil kambing untuk merayakan Lebaran. Iding, si pengemudi, menuruti saja permintaannya.

Meski perjalanan menyimpang dari rute yang semestinya, para penumpang tidak menaruh curiga apa-apa. Namun setelah sekitar 1 km masuk ke jalan desa yang sepi itu, mereka mendengar suara gesekan dan bunyi "klik" sebuah senjata yang dikokang.

Para penumpang, termasuk Serma Sutaryat, mengalihkan perhatian ke arah sumbersuara. Duduk di jok paling belakang, Serma Eddy Sampak nampak sedang menggenggam sepucuk senjata Carl Gustav. Senjata itu rupanya tersimpan di dalam ransel yang ditentengnya selama itu.

Merasa kepergok, Eddy segera bertindak. Lebih baik mendahului daripada didahului, begitu bisikan nalurinya. Tanpa diduga moncong senjata di tangannya menyalak memuntahkan peluru secara membabi buta.

Lima orang penumpang yang tak berdosa pun tewas termasuk Serma Sutaryat dan dua orang tak dikenal. Sementara itu Koptu Sumpena, pengemudi Iding dan keneknya Sugandi, serta penumpang Aliun bin Askar dan Duduh Sudrajat, menderita luka berat dan ringan.

Kebiadabannya tidak berhenti di situ. Sebelum meninggalkan para korban, dia membakar mobil dan penumpangnya untuk menghilangkan jejak. Rupanya jerigen plastik yang dibawa Ojeng itu berisi bensin yang sengaja disiapkan sebelumnya untuk maksud jahatnya itu. Bensin itu dibeli Rp1.000 di Sukabumi.

Serma Eddy Sampak bersama Ojeng segera kabur seraya membawa kantung berisi uang gaji ± Rp 21,3 juta. Mereka meninggalkan korban lain yang masih hidup dan dicekam rasa ketakutan. Penduduk setempat yang berdatangan dan memberikan bantuan sempat mendengar Koptu Sumpena yang terluka berat mengucapkan sesuatu.

"Aduh ... tega benar Eddy Sampak menembaki teman sendiri ...," ucap Koptu Sumpena sambil merintih.

"Eddy Sampak yang mana?" tanya seorang penduduk. "Serma Eddy Sampak yang gagal menjadi kepala Desa Nagrak."

Cinta segi tiga

Pada 22 November 1978, Serma Eddy Maulana Sampak tampil sebagai calon tunggal pemilihan kepala Desa Nagrak. Dia sangat berambisi menjadi kepala desa di sana. Namun sikapnya yang kelewat keras dan gampang naik darah hanya karena persoalan sepele membuat banyak penduduk desa tersebut tidak menyukainya.

Walau begitu kebanyakan mereka tidak berani terang-terangan menentangnya karena dia adalah pembina di desa mereka. Dukungan yang diberikan kebanyakan penduduk hanya pura-pura, konon sekadar untuk menyenangkan hatinya.

Bahkan untuk meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya demi melicinkan jalan meraih ambisinya, dia membagikan rupa-rupa hadiah. Misalnya, lampu petromaks yang dia sumbangkan untuk masjid dan tempat ibadah lainnya. Dia tahu, melalui para tokoh agama di desa itu, dia bisa lebih mudah memperoleh simpati.

Namun, masyarakat desa itu ternyata punya cara lain untuk menyampaikan sikap protesnya. Ketika pemilihan berlangsung, sebagian besar pemilih tidak memberikan suaranya untuk sang calon tunggal. Sebaliknya mereka memasukkan suaranya ke dalam "kotak kosong" yang menjadi rivalnya.

Alhasil, dari sekitar 2.000 suara yang berhak memilih, dia hanya meraih 786 suara. Ini berarti, ambisinya untuk menjadi kepala desa kandas. Padahal dia sudah menghabiskan uang ± Rp 3 juta. Suatu jumlah yang besar pada saat itu, apalagi bagi seorang bintara macam dirinya.

Kegagalannya itu nampaknya menggoreskan luka yang begitu dalam di hatinya. Apalagi ini merupakan kali ketiga dia gagal meraih kedudukan sebagai kepala desa. Pada 1967 dan 1969 Eddy Sampak pernah mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa di tempat kelahirannya, Desa Kebon Jeruk, Serang.

Usman yang terpilih sebagai kepala Desa Kebon Jeruk kala itu seminggu kemudian ditemukan tewas bersama adiknya akibat tembakan senjata FN 9 mm. Orang kemudian menghubungkan peristiwa itu dengan kegagalan Eddy Sampak dalam pemilihan kepala desa itu sehingga menyeretnya masuk tahanan selama sekitar 4 bulan. Namun karena tidak ada saksi yang bisa menguatkan dugaan tersebut, dia dibebaskan.

Latar belakang kehidupannya agaknya memang diwarnai dengan perbuatan yang menjurus ke arah tindak kekerasan. Ketika duduk di kelas II SGB (sekolah guru bawah) di Rangkasbitung tahun 1956, dia terlibat perkelahian dengan salah seorang gurunya karena persoalan cinta. Eddy dan sang guru sama-sama jatuh cinta pada teman sekelasnya.

Perkelahian itu terjadi setelah pasangan muda ini kepergok guru tersebut ketika sedang berpacaran. Melihat gadis idamannya "bersenang-senang" dengan laki-laki saingannya, sang guru naik darah lalu melemparkan botol berisi tinta ke arah Eddy. Merasa harga dirinya dijatuhkan di depan sang kekasih, darah muda Eddy pun mendidih. Jadilah perkelahian antara guru dan murid yang akhirnya mengandaskan cita-cita Eddy menjadi guru.

Pada 1957, dia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Lalu dia mengikuti pendidikan militer di Komando Pendidikan II Bogor. Selesai pendidikan dia bergabung dengan Batalion 329 di Serang.

Selama karier militernya, dia pernah ditugaskan dalam berbagai operasi militer, antara lain penumpasan gerombolan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, PGRS di Kalimantan Barat, G30S, dan operasi militer lainnya. Terakhir dia ditugaskan di Kodim 0608 Cianjur sampai peristiwa itu terjadi.

Atas jasa-jasanya itu dia memperoleh berbagai tanda penghargaan, bahkan selama karier militernya tujuh kali dia naik pangkat.

Petualangan pimpinan DI/TII Kartosuwiryo rupanya ikut memberikan inspirasi bagi dirinya untuk melakukan aksi gerilya setelah dia melakukan aksi kejahatannya. Namun barangkali dia lupa kalau Cianjur merupakan daerah terbuka. Dari arah mana pun, wilayah tersebut bisa dimasuki.

Selain itu dia sama sekali tidak memiliki dukungan personel, apalagi kekuatan dan logistik. Sebelumnya Eddy Sampak pernah menawari Endun dan Mais - keduanya penggarap sawah miliknya - untuk ikut dalam gerakan "mafia" yang direncanakannya.

Namun hal itu tidak terlaksana karena Eddy menganggap keduanya terlalu lemah. Karena sudah terlanjur mengutarakan niat tersebut, kedua orang itu kemudian diancam untuk tidak membocorkan rencana jahatnya.

Akhirnya Eddy memilih Ojeng, juga seorang penggarap sawahnya. "Lamun maneh hayang boga duit keur Lebaran, maneh kudu ngilu balanja," kata Eddy membujuk Ojeng. Maksudnya, kalau Ojeng ingin punya uang untuk Lebaran, dia harus ikut belanja.

Belakangan diketahui kata "belanja" yang dimaksud hanyalah istilah Eddy untuk tidak mengatakan merampok.

Ojeng tertangkap

Setelah melancarkan aksinya, Eddy Sampak dan Ojeng melarikan diri ke arah utara, menuju sebuah daerah perbukitan di kaki Gunung Gede. Pada hari pertama dan kedua dalam pelarian mereka lebih banyak bersembunyi sambil mengamati situasi. Ketika matahari semakin condong ke Barat, udara terasa semakin dingin.

Cuaca yang dingin itu membuat perut mereka keroncongan. Untuk mengusir rasa lapar, mereka menyantap tomat dan buah-buahan yang dipetik dari tanaman dan pohon di sekitar tempat persembunyian mereka.

Padahal pada hari-hari seperti itu keluarga mereka biasanya sudah bersiap-siap menyambut hari Lebaran. Hari itu Kamis 23 Agustus 1979, merupakan hari terakhir puasa, dan keesokan harinya adalah hari raya Idul Fitri, 1 Syawal 1399 H. Suasana di kampung-kampung pada saat-saat itu biasanya diwarnai dengan wajah-wajah yang memancarkan rasa suka cita setelah satu bulan lamanya menunaikan ibadah puasa.

Mereka yang tidak mampu membeli daging, cukuplah memotong ayam, atau mengambil ikan di kolam, sekadar untuk memeriahkan suasana. Saling menukar kiriman berupa kue-kue atau nasi berikut lauk pauknya di antara para tetangga pun merupakan tradisi yang memperlihatkan rasa guyub (kebersamaan) penduduk desa.

Mengingat hal itu, keinginan berkumpul dengan sanak keluarga tak tertahankan lagi. Dini hari itu, Eddy Sampak dan Ojeng mencoba menuruni bukit dan masuk ke perkampungan penduduk. Mereka mencoba mendekati kampung tempat istri tua Eddy tinggal. Sial, maksud itu tidak kesampaian karena kedatangan mereka sudah tercium tim pelacak yang lalu mengepung desa itu. Namun, mereka berhasil meloloskan diri.

Ojeng rupanya sempat menitipkan uang sebelumnya untuk keluarganya sebesar Rp282.000 dan berganti pakaian. Sebaliknya, dia gagal ketika pada petang harinya disuruh Eddy mengantarkan uang untuk istri tuanya. Merasa terkepung, Ojeng kemudian melemparkan uang titipan ke sawah sambil berlari terbirit-birit mencoba menyelamatkan diri. Tetapi gagal karena dia tertangkap.

Tamu tak dikenal

Penangkapan Ojeng membuat ruang gerak Eddy makin sempit. Para petugas, termasuk serombongan petugas dari Bogor, ikut terjun ke lapangan untuk mempercepat proses penangkapan. Namun sebelum menuju desa sasaran, rombongan yang di antaranya terdapat seorang wartawan surat kabar ibu kota, singgah lebih dulu di kantor Koramil Cugenang.

Mereka berbincang-bincang sebentar ketika seorang penduduk melaporkan telah melihat seorang laki-laki berpakaian seragam hijau seraya menyandang senjata dan menggendong ransel. Laki-laki itu, katanya, sempat membentak seorang anak yang baru saja selesai mandi karena dia menyalakan lampu senter ke arah jalan yang dilaluinya.

Jarak antara tempat laki-laki yang mencurigakan itu dijumpai dengan kantor Koramil ± 5 km. Jalanan licin sehingga sulit dilalui. Ketika para petugas tiba di daerah yang dituju, kecurigaan mereka makin kuat. Mak Icah, salah seorang penduduk desa itu, mengaku kedatangan tamu laki-laki yang tak dikenalnya. Orang itu, katanya, berseragam hijau dan membawa senjata. "Baru saja dia minta makan," kata wanita setengah tua itu.

Laki-laki tersebut, kata Mak Icah lagi, mengaku sedang mengejar perampok. Bahkan dia menyatakan merasa kecapekan setelah dua hari dua malam menjelajah kawasan perbukitan di kaki Gunung Gede. Apalagi selama itu dia mengaku tidak makan. Mak Icah lalu menyediakan makanan seadanya. Anehnya, orang itu menolak ketika dia hendak mengambil lampu untuk menerangi ruangan. Tamu tak dikenal itu makan dengan lahapnya walau dalam suasana gelap. Senjata dan ransel berisi uang hasil rampokan ditaruh di depannya.

Mak Icah tidak tahu kalau ternyata laki-laki itu justru seorang buronan yang jatuh bangun meloloskan diri dari kepungan petugas.

"Selimut hidup"

Eddy memang berada di daerah itu. Dia bersembunyi di atas sebuah bukit dan berlindung di kegelapan malam. Dari tempat persembunyiannya, dia dapat melihat mobil para petugas yang mengalami selip karena jalan yang berlumpur.

Walaupun pada saat itu posisinya lebih menguntungkan, Eddy tidak berani mengambil risiko menyerang lebih dulu karena dengan itu dia khawatir posisinya diketahui. Bukankah ia sudah memutuskan pilihannya untuk bergerilya?

Dalam "skenario" yang telah dibuatnya, dia memang merencanakan untuk melakukan aksi gerilya. Untuk itu berbagai persiapan seperti membawa bahan bacaan dan berbagai kebutuhan penting lain dia siapkan, misalnya senjata Carl Gustav berikut 200 butir pelurunya yang dia curi dari kantor Koramil Karang Tengah. Bahkan lima hari menjelang pelaksanaan perampokan dan pembunuhan, dia sudah membuat peti dari bahan tripleks.

Malam itu, dia terus berjalan menuju Selatan meninggalkan Cirumput. Bulan masih belum nampak dan langit tertutup kabut. Eddy Sampak berjalan menyusuri bukit-bukit, kebun-kebun teh, dan jalanan kampung. Entah sudah berapa ribu langkah diayunkan sampai akhirnya dia menyusuri rel kereta api menuju Desa Sindang Sari. Jumat malam itu dia berada di daerah Nanggeleng, tidak jauh dari Cibaregbeg.

Dia pun melanjutkan perjalanannya menuju rumah Ny. Mamah, istri mudanya yang baru berusia 14 tahun. Gadis ini dilamar dan dinikahinya beberapa saat sebelum aksi perampokan dilaksanakan. Perkawinan itu hanya dilakukan di depan amil setempat. Dia merencanakan, istri mudanya ini akan dia jadikan "selimut hidup" selama dia menjalankan aksi gerilya.

Ketika sampai di depan rumah sang mertua yang juga tempat tinggal istri mudanya, Eddy Sampak mengetuk pintu dengan hati-hati sekali. "Saha ... eta?" terdengar suara laki-laki bertanya dari dalam rumah.

Eddy mengenal betul itu suara mertua laki-lakinya, ayah istri mudanya. "Abdi .... Pak Eddy," jawabnya.

Pintu rumah itu pun akhirnya terbuka. Tidak lama kemudian Eddy Sampak menyerahkan uang Rp1.250.000 kepada mertuanya. "Titip," katanya berpesan.

Setelah itu dia pergi dan menghilang ditelan kegelapan malam. Kali ini dia menuju ke rumah anak angkatnya untuk minta dibelikan odol, sikat gigi, batu baterai, dan sandal.

Jimat-jimat di pinggangnya

Sebagian besar penduduk Cianjur, terutama Desa Nagrak tempat tinggal Eddy Maulana Sampak selama ini, sangat berharap buronan itu dapat segera dibekuk. Itulah sebabnya mereka bahu-membahu dengan para petugas untuk mewujudkan harapan itu, walaupun banyak di antara mereka yang percaya kalau bekas calon kepala desanya itu memiliki beberapa jimat.

Jimat-jimat itu konon diperolehnya dari seorang dukun di Banten, Madura, dan beberapa tempat lain. Dengan jimat-jimat yang dililitkan di pinggangnya, Eddy merasa sangat yakin bisa menghindari siraman peluru, mengusir dan menjinakkan binatang buas, menahan rasa sakit, dan menghilang dari pandangan lawan-lawannya dengan aji halimunan yang dimilikinya.

Namun kesaktian jimat-jimat yang dipunyainya mulai diuji pada Sabtu pagi, ketika kontak senjata pertama dengan para petugas terjadi di sebuah kawasan berbukit-bukit di daerah Pasir Datar Waru. Beberapa saat kemudian Eddy Sampak diminta untuk menyerah karena posisinya sudah terdesak. Eddy lalu mengeluarkan siasat liciknya untuk mengelabui petugas. Dia menyatakan bersedia menyerah asalkan yang mengambil senjata dan ransel berisi uang adalah anak angkatnya.

Senjata dan ransel itu lalu digeletakkan di depannya. Namun siasat liciknya itu diketahui para petugas. Kosasih, salah seorang penduduk setempat yang bersedia jadi sukarelawan, dikirim untuk mengambil barang-barang itu. Ketika melihat yang akan mengambil bukan anak angkatnya, dengan gerakan cepat Eddy Sampak menyambar kembali senjatanya dan memuntahkan pelurunya ke arah Kosasih yang baru berjalan beberapa langkah. Kosasih pun terkapar.

Penduduk kampung yang terluka itu pun segera dilarikan ke rumah sakit. Eddy harus menebusnya dengan luka tembak di tubuhnya setelah sempat terjadi baku tembak. Meski dalam keadaan terluka dan terkepung, dia tetap tidak mau menyerah. Dia melarikan diri menuju ke Tenggara, searah dengan aliran Kali Cisokan, suatu daerah yang sebenarnya sudah cukup jauh letaknya dari tempat kejadian perkara. Berjalan tertatih-tatih, Eddy Sampak meninggalkan uang hasil rampokannya yang terlempar ketika terjadi kontak senjata. Sedangkan senjata Carl Gustav sempat dipendamnya di dekat tempat persembunyiannya.

Petualangan gerilya Eddy Sampak akhirnya terhenti ketika dia memasuki daerah Cigintung. Dia kehabisan kekuatan akibat darah yang terus mengalir dari lukanya. Tanpa sempat melakukan perlawanan, dia diringkus pasukan dari Batalion 327 di bawah pimpinan Sersan Mayor Sain. Hari itu, Selasa, 28 Agustus 1979, pukul 14.30.

Sementara itu para anggota Kodim sudah menerima gaji mereka jauh hari sebelumnya. Dua hari menjelang Lebaran, Pangdam VI (kini -III)/Siliwangi yang saat itu dijabat Mayjen TNI HR Moch. Yogie Suardi Memet (sekarang menteri dalam negeri) memberikan pengganti uang gaji yang sementara itu belum bisa diselamatkan.

Dendam kades gagal

Perkara yang melibatkan pelaku utama Serma Eddy. Maulana Sampak akhirnya disidangkan Mahkamah Militer Priangan-Bogor di Bandung, 14 Mei 1981. Bertindak selaku Hakim Ketua Letkol KUM Edi Purnomo, S.H. dibantu Hakim Letkol SKH Abdurrauf, S.H., serta Mayor Tituler Sakir Ardiwinata, S.H. Oditurnya Letkol SHK Wirdan Muljoredjo, SE. dengan oditur pengganti Letkol CKH Syamsul Hadi, S.H., dan panitera Peltu Saunan Asdjar, S.H. Bertindak selaku pembela adalah R. Enggar Sutomo, S.H. dan Mayor CKH Abdul Sirod, Bc.HK.

Sidang dilakukan secara koneksitas dan berlangsung secara maraton. Selain Serma Eddy Maulana Sampak, diajukan pula tertuduh lainnya, Ojeng dan Bani, mertua Eddy Sampak. Namun sebelum pemeriksaan dimulai, Eddy Sampak minta agar diizinkan berdoa lebih dulu.

Dalam persidangan Eddy Maulana Sampak mengakui segala perbuatannya itu akibat dendam yang terpendam karena tidak berhasil terpilih sebagai kepala Desa Nagrak. Dia mengaku makin kecewa karena yang kemudian ditunjuk menjadi caretaker kepala desa itu bukan dirinya, tetapi Serma Sutaryat. Itulah alasannya mengapa dia merampok uang gaji yang dibawa Serma Sutaryat dan teman-temannya.

Dalam sidang tanggal 13 Juni 1981, Eddy Maulana Sampak akhirnya dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Ojeng alias Cece menerima ganjaran hukuman penjara 12 tahun dipotong masa tahanan sementara. Bani diganjar hukuman penjara 4 bulan 15 hari dikurangi masa tahanansementara.

Majelis hakim berpendapat, tertuduh Eddy Maulana Sampak telah terbukti bersalah secara kumulatif melakukan perbuatan-perbuatan pidana. Pertama, pembunuhan berencana sebagaimana dirumuskan dan diancam dengan pidana menurut pasal 340 KUHP. Kedua, pembunuhan yang diikuti, disertai, didahului perbuatan pidana lain seperti dirumuskan dan diancam dengan pidana menurut pasal 339 KUHP.

Ketiga, ia terbukti melakukan percobaan pembunuhan yang diikuti, disertai, didahului perbuatan pidana lain seperti dirumuskan dan diancam dengan hukuman pidana menurut pasal 53 jo 339 KUHP. Keempat, dia terbukti melakukan pencurian dengan kekerasan, mengakibatkan korban luka atau mati seperti dirumuskan dan diancam pidana menurut pasal 365 (4) KUHP.

Lalu kelima, dia juga terbukti merusak, menghancurkan barang orang lain, seperti dirumuskan dalam pasal 406 ayat (1) KUHP. Keenam, dia terbukti menguasai tanpa hak dan menggunakan senjata api sesuai dengan apa yang dirumuskan dan diancam menurut pasal 1 ayat (1) UU No. 12 tahun 1951 jo 55 ayat (1) KUHP. Kemudian ketujuh, dia terbukti melakukan percobaan pembunuhan seperti yang dirumuskan dan diancam dengan pidana menurut pasal 53 jo 338 KUHP.

Selain pidana pokok, Eddy Maulana Sampak juga mendapat hukuman tambahan. Dia dipecat dari dinas ABRI/TNI-AD. Dicabut haknya untuk memperoleh tanda jasa/kehormatan yang diberikan oleh negara, serta dicabut haknya untuk memasuki dinas ABRI.

Bikin geger lagi

Putusan hukuman mati atas dirinya rupanya tidak membuat dirinya bergeming dari sikapnya selama ini. Selama persidangan dia hampir tidak memperlihatkan perasaan menyesal, walaupun hal itu kemudian dibantahnya.

"Siapa bilang saya tidak menyesal. Apakah kalau saya masih bisa tertawa, hati saya tidak menangis?" katanya kepada sejumlah wartawan sesaat sebelum hukuman dijatuhkan.

Eddy Maulana Sampak akhirnya harus menjalani hukumannya di Rumah Tahanan Militer (RTM Poncol, Cimahi, sekitar, 15 km sebelah barat Bandung. Selama di tempat ini, dia bercocok tanam sayuran dan palawija untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Namun harapan untuk memperoleh keringanan hukuman menjadi pupus ketika permohonan grasinya ditolak pada 18 Oktober 1984.

Orang yang katanya pernah memiliki beberapa jimat, termasuk aji halimunan, itu kemudian membuat geger lagi ketika Senin dini hari, sekitar pukul 03.00, diberitakan kabur dari tahanannya. Hari itu, 24 Desember 1984. Dia memanjat tembok rumah tahanan yang dikenal kokoh, lalu turun menggunakan batang pohon pisang yang entah disandarkan oleh siapa ke tembok bagian luar rumah tahanan itu.

Jangan-jangan dia menghilang berkat aji halimunan?

Cari pembina surat kabar

Setelah berhasil kabur, kabar dan keberadaan Eddy pun lenyap bak ditelan bumi hingga bertahun-tahun lamanya.Hingga pada suatu ketika, polisi menemukan Tabloid Alternatif dan koran Surya Pos Banten.

Pada masthead dua media massa itu, nama Eddy muncul tercantum sebagai penasihat dan pembina. Memang, namanya sudah ditambah menjadi Maulana Eddy Sampak. Tapi, kecerobohan itulah yang membuat aparat mencokoknya di rumahnya di Serang, Banten, pada Februari 2006.

Eddy yang kala itu sudah berusia 67 tahun dan sakit-sakitan, tak memberikan perlawanan. Semula, dia mengira diculik. Namun ketika tahu dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Militer (Lesmasmil) II Cimahi di Jalan Poncol, Baros, Cimahi Tengah, Kota Cimahi, dia baru sadar atas kesalahannya. Kedoknya terbuka.

Ketika ditangkap, Eddy dikenal oleh penduduk setempat sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama dengan sebutan Abah Eddy. Warga tak ada yang curiga bahwa sosok relijius itu buronan kasus pembunuhan dan perampokan. Tentu saja karena pembawaan dan sikapnya yang santun.

Bahkan, Eddy sempat bolak-balik ke kantor polisi, bukan urusan kriminal, tapi mengurus surat-surat. Dia juga memiliki kartu tanda penduduk tanpa ada yang curiga.Namun, sepandai-pandai Eddy menyembunyikan penyamaran, akhirnya terungkap juga. Dia akhirnya mendekam di Nusakambangan, Jawa Tengah dalam usia yang sudah renta, 82 tahun.

Begitulah riwayat Eddy Sampak, perampok legendaris yang licinnya bagai belut.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.