Rusman, Pengagum Sukarno yang Dikirim ke Pulau Buru, Disiksa hingga Sakitnya Berasa Sampai Sekarang
Moh. Habib Asyhad September 15, 2025 03:34 PM

Rusman adalah salah satu tahanan politik Peristiwa 1965 di Pulau Buru yang tetap tinggal di pulau itu hingga sekarang. Dia bercerita bagaimana dia ditangkap dan memulai "debut"-nya sebagai tapol.

Artikel ini adalam bagian dari artikel panjang berjudul "Di Pulau Buru Kuhabiskan Sisa Hidupku" yang ditulis oleh Gandhi Washono, tayang di Majalah Intisari edisi September 2021

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Rusman (ketika itu 78) menyambut Intisari dengan ramah. Rambut ikalnya sudah berubah perak, kulit sudah tampak keriput, tetapi sisa ketampanan semasa muda masih terlihat. Meski sudah memasuki usia senja memori sangat bagus.

Apalagi saat bercerita bagaimana dia sampai jadi tahanan politik (tapol) di Pulau Buru. "Yang tahu adalah Soeharto, kenapa saya ada di sini. Saya bukan perampok, bukan pembunuh, tetapi diperlakukan kejam tanpa ada pengadilan yang membuktikan saya bersalah," katanya membuka percakapan di rumahnya di Waetele, Kecamatan Waeapo, Kabupaten Buru, Maluku.

Bapak tiga orang anak dan empat cucu asal Garut, Jawa Barat, itu menceritakan peristiwa pada 13 Oktober 1965. Hari yang menjadi awal dirinya melewati hari-hari buruk yang kemudian mengubah sejarah hidupnya.

Siang itu, sekitar pukul 10-an, setelah mengambil gaji di tempat kerjaannya di Badan Pimpinan Umum Perusahaan Ikan Negara, di Jalan Kebon Binatang, Jakarta, Rusman mampir di sekretariat Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) tempat dia menjadi salah satu anggota. Semenjak merantau dari Garut ke Jakarta tahun 1962, siang hari dia bekerja, sementara sorenya berkuliah di jurusan biologi Universitas Nasional (Unas).

Saat ngobrol dengan kawan-kawannya tiba-tiba melihat rombongan demonstran dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan jumlah besar dan berhenti di depan seketariat. Mereka berteriak provokatif, menghujat karena CGMI dianggap berafiliasi ke Sukarno.

Tak berhenti sampai situ, para pendemo melempari batu kemudian merangsek masuk ke dalam kantor. Mereka memecah semua barang bahkan ada sebagian di antaranya mengambil motor di parkiran.

Rusman panik karena terjebak tak bisa bergerak. Karena tak berhasil melarikan diri, para demonstran menangkapnya lalu digelandang keluar kemudian diamankan di halaman rumah Jenderal Polisi Raden Soekarno Djojonegoro, mantan Kepala Kepolisian Negara RI era Presiden Soekarno, tak jauh dari lokasi.

Rusman bersama beberapa kawan lalu dibawa polisi ke Kantor Seksi 7 di Jatinegara. Di kantor polisi itu dia disambut dengan kekerasan petugas. Sel yang kapasitasnya hanya enam orang diisi 11 orang. “Jadinya kalau tidur tidak bisa bergerak. Supaya muat sepanjang malam tidurnya harus miring,” kata Rusman yang meski sudah puluhan tahun menetap di Pulau Buru, aksen Sundanya tetap kental.

Setelah 11 hari, tak terhitung berapa kali dia dipindah dari satu tempat penahanan ke tempat penahanan lain untuk diinterogasi. Hingga akhirnya sampai di LP Tangerang. “Di Tangerang pertama kalinya saya bertemu dan berkenalan dengan Pramoedya Ananta Toer. Saya di sel 2, Pram di sel 5,” katanya mengenang.

Di LP tersebut dia kembali mengalami penyiksaan dari tentara yang menjaganya. Akibat pernah terlambat apel pagi, dia pernah disiksa sampai pinggangnya masih terasa sakit sampai hari ini.

Dari LP Tangerang, Rusman dibawa ke Kodim Jatinegara untuk diinterograsi. Di tengah pemeriksaan ada ucapan anggota berpangkat sersan yang dia anggap konyol. “Kamu dari Garut kok ikut PKI, kenapa tidak ikut gerombolan DI/TII saja,” kata Rusman menirukan pertanyaan si pemeriksa. “Sebagai orang nasionalis mana mungkin saya ikut DI/TII yang jelas-jelas ingin mengganti dasar negara. Tetapi saya tetap tak berani mendebat, nanti saya disiksa lebih parah lagi,” ceritanya.

Beberapa bulan di Tangerang kemudian dia dipindah ke LP Cipinang, sementara kawan-kawannya yang lain disebar di berbagai tahanan lain. Pramoedya, misalnya dipindah ke LP. Nusakambangan.

Bertemu murid ayahnya

Ada sebuah pengalaman yang tak bisa dilupakan. Ketika turun dari mobil tahanan dan masuk LP Cipinang, untuk menuju sel yang akan ditempati, Rusman bukan dikawal sipir tetapi diantar seorang narapidana bertubuh tegap dan berwajah garang. Rasa takut luar biasa ketika berjalan menuju sel paling belakang yang berjarak ratusan meter.

Sebagai orang yang tak pernah tahu Cipinang dia khawatir akan diperlakukan kasar. Jalan di tengah suasana hening dengan kanan kiri berderet jeruji besi kokoh, sementara di baliknya
terlihat para narapidana yang memandanginya dengan tatapan dingin, dia dikejutkan suara sang pengantar.

“Tenang, Bung, keadaan tidak akan selamanya demikian. Saya dulu adalah tentara, setelah membunuh komandan dan dihukum 20 tahun, tetapi karena dibela oleh orang PKI hukuman saya justru turun jadi 10 tahun,” katanya yang membuat hatinya mendadak plong hilang rasa takut. “Ketika saya dipanggil 'Bung' rasannya senang sekali, panggilan itu menunjukkan kalau dia menghargai saya,” cerita Rusman Sampailah dia di deretan sel yang paling belakang yang diperuntukkan bagi tapol.

Di sel Rusman sendirian, sementara di sebelahnya satu sel diisi tujuh orang militer. Satu orang dari AD sedang enam lainnya AL. Di depan sel dijaga dua orang Polisi Militer AD dan dua orang Polisi Militer AL. “Lagi-lagi saya tersanjung karena para tapol memanggil saya dengan sebutan 'Bung'," cerita Rusman.

Ternyata keesokan harinya datang lagi lima orang tapol militer salah satunya Mayor Haji Mohamad Noer.

Dekat dengan tapol militer dia kecipratan enak. "Makanan yang diterima sama dengan jatah ransum tapol militer. Selain itu, mereka sangat baik meski saya paling muda,” katanya.

Di awal-awal sebagai penghuni LP Cipinang ada kejadian yang tak bisa dia lupakan. Suatu pagi pas pergantian jaga tahanan, salah seorang PM AD bertanya. “Kamu berasal dari mana?” Rusman kemudian menyebut Garut, sekaligus nama desanya.

“Kalau gitu kamu kenal dengan Pak Saliyah?”

“Pak Saliyah itu bapak saya,” jawab Rusman spontan.

Mendengar jawaban itu sang petugas tertegun, tak lama kelopak matanya berkaca-kaca. Belum
sempat Rusman bertanya, sang petugas menjawab, “Pak Saliyah adalah guru saya yang paling baik dan sangat sayang pada saya.”

Setelah itu petugas bergegas pergi dan tak lama kemudian kembali dengan membawakan tas plastik yang di dalamnya berisi berbagai kue untuknya. Dari petugas itu pula Rusman tahu kalau kedua orangtuanya bernasib sama dengannya.

Bapaknya yang guru sekolah dasar di desa tetangga ikut ditangkap, demikian pula Mintarsih ibunya. “Bapak yang dianggap pro-Sukarno ditahan di LP Sukamiskin, baru dilepas tahun 1979. Sedang ibu saya dituduh anggota Gerwani ditahan di LP Garut, baru dilepas tahun 1978,” imbuhnya.

Lucunya, penahanan ayahnya itu adalah ketiga kalinya. Dalam setiap masa pemerintahan, ayahnya selalu merasakan pengapnya dinding penjara. Di masa Belanda karena menentang penjajah dia dipenjara. Demikian pula saat pendudukan Jepang, ayahnya yang sangat vokal, mengalaminya lagi.

“Bapak saya seorang nasionalis sejati. Dia tidak bisa melihat ketidakadilan. Dia tidak pernah takut meski penjara adalah risikonya,” imbuhnya bangga.

Yang ditangkap bukan hanya orangtua, tetapi juga kakak lelakinya yang paling tua, bernama Tatat, yang juga kemudian ditempatkan di Pulau Buru. “Kakak saya sudah meninggal beberapa tahun lalu. Akibat penahanan, kedua adik perempuan hidupnya berantakan. Karena meski punya orangtua dan kakak tetapi semuanya di penjara,” kata Rusman yang merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Setelah menghuni LP Cipinang bertahun-tahun, pada bulan Mei, Rusman dipindah lagi ke Rutan Salemba untuk persiapan dipindah ke Pulau Buru. Di Salemba dia bertemu 24 orang kawannya di antaranya aktivis di CGMI, dr. Manto. Di dalam sel juga ada Bambang Sunaryo, seorang kapten kapal. Bambang dituduh sebagai anggota Serikat Buruh Pelabuhan dan Pelayaran (SBPT) yang ditangkap di Singapura.

Diangkut ke Pulau Buru

Pada awal Agustus 1971 Rusman bersama 24 kawan sesama tapol diminta berbaris dengan baju tahanan kemudian diangkut menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Setiba di pelabuhan dengan penjagaan sangat ketat digiring masuk ke geladak kapal Tokala yang akan membawanya ke Pulau Buru.

Yang menarik, sebelum ditangkap, Bambang Sunaryo adalah kapten kapal Tokala yang kemudian ditumpanginya tersebut. “Di dalam kapal ada 700 tapol lebih yang datang dari berbagai Lapas,” kata Rusman.

Setelah beberapa hari mengarungi lautan, para tapol tiba di Pelabuhan Namlea, ibukota Pulau Buru, lalu diangkut truk transit di Jiko Kecil. Saat tiba tepat tanggal 17 Agustus sehingga para tapol harus mengikuti upacara hari kemerdekaan.

Dia masih ingat sebelum upacara dengan komandan upacara Letkol Rangkuti, dia bersama dr. Manto, Ir. Syam Yudho, Drs. Murat Aidit (adik DN Aidit) oleh petugas diwanti-wanti agar selama berada di Pulau Buru tidak boleh mempengaruhi kawan-kawan yang lain berbuat onar. “Kalau kamu sampai macam-macam akan saya kembalikan ke Jakarta lagi saja,” kata petugas dengan nada menghardik.

Dari Jiko Kecil, pada 19 Agustus ratusan tapol diangkut naik kapal motor kecil secara bergelombang menuju Air Mendidih. “Air Mendidih itu bukan pelabuhan tetapi tempat pendaratan perahu yang akan ke unit-unit tempat tapol,” cerita Rusman.

Saat itu di Pulau Buru belum ada jalan darat sehingga para tapol dari Namlea menuju unit-unit, diangkut lewat laut hampir satu jam lamanya. Berbeda situasinya dengan hari ini ketika Jalan Trans Buru, dari Namlea sampai ke Mako (markas komando) membelah kawasan tempat tinggal tapol sejauh sekitar 100 km. Beraspal lebar dan mulus pula.

Rusman tak bisa melupakan bagaimana pertama kali datang dan akhirnya menjadi tempatnya menghabiskan waktu sampai saat ini. Begitu menginjak daratan dengan pengawalan ketat langsung digiring menuju ke kawasan atau unit 15 yang berjarak sekitar 10-12 km dengan jalan kaki. Hanya dari unit 1 sampai 2 sudah ada jalan bebatuan yang dibuat para tapol yang datang lebih dulu. Salah satunya Pramoedya yang datang tahun 1969 dari LP Nusakambangan.

Selebihnya dari unit 3 dan seterusnya hanya jalan setapak yang kanan kiri dipenuhi pepohonan besar layaknya hutan. Karena mereka tahu mau ada rombongan datang para tapol di sana menyambut dengan menyediakan ketela rebus yang diletakkan di pinggir jalan. Mereka hanya bisa menyambut dari kejauhan tanpa boleh mendekat.

Kemudian untuk jalan yang menghubungkan dari unit 3 sampai unit berikutnya adalah menjadi pekerjaan tapol berikutnya. “Misalnya penghuni unit 3 maka membuat jalan sampai unit 4, sedangkan unit 4 membuat jalan sampai unit 5, demikian seterusnya. Saya bersama kawan-kawan sebanyak 50 orang ditempatkan di unit 15,” jelas.

Setiba di unit 15 dia bersama kawan-kawannya ditempatkan di sebuah barak bambu dengan atap daun sagu yang dikelilingi pepohonan dan alang-alang yang sangat tinggi. “Baraknya bukan hanya sederhana tetapi juga kotor. Jadi kawan-kawan beramai-ramai membersihkan dulu,” cerita Rusman.

Saat itu kawan-kawannya satu barak terdapat Prof. Buyung Saleh, DR. Soeprapto, SH, Ir. Kamaludin dari ITB dan masih banyak lagi orang-orang ahli bendungan, perkapalan, elektro, dsb. Saat itu yang membuat berat adalah tidak boleh ada alat apa pun. Sehingga untuk membersihkan rumput, alang-alang, bahkan merobohkan pohon menggunakan tangan telanjang.

Meski para tapol dilepaskan tapi untuk bisa melarikan sangat sulit. Karena selain buta daerah setempat, sekeliling juga hutan. “Kawan saya Heru dan Siregar melarikan diri tetapi keduanya akhirnya tertangkap karena tak tahu arah,” kenang Rusman.

Ketika pertama kali datang, untuk makan, tapol hanya dibekali beras sangat terbatas, kadang ditambah ikan asin. Untuk masak dilakukan sendiri dengan peralatan dan cara seadanya. Ketiadaan makanan membuat mereka kreatif.

Tambahan menu mereka cari apa saja di alam. Mulai tikus, babi, sampai kadal jadi santapan. "Saking cerdiknya mencari tikus, kawan-kawan lebih jeli dari kucing. Yang seru kalau ada babi hutan. Dilumpuhkan banyak orang. Kalau sudah dapat, dimasak dan disantap ramai-ramai,” kata Rusman.

Sementara untuk kebutuhan sayuran, mereka tidak repot karena di semak banyak daun pakis serta rebung di rerimbunan pohon bambu. Di kamp, para tapol diwajibkan kerja paksa. Setiap hari melakukan pekerjaan sesuai perintah. Ketika pertama kali datang semuannya dikerahkan untuk membuat jalan serta lahan pertanian.

Dulu untuk membuat jalan dari unit 15 menuju unit 16 sangat berat karena berhutan lebat dan bertebing-tebing. Karena mau ada inspeksi dari Komandan Kodim, untuk menyulap kawasan hutan jadi jalan makadam, harus melibatkan 800 tapol dengan peralatan terbatas. Sedang untuk pertanian, tapol menyulap hutan menjadi sawah padi, sekaligus irigasinya. “Karena tapol banyak ahli bendungan, ahli pertanian jadi tidak ada kesulitan untuk membuat itu semua,” katanya.

Tapol bekerja dengan pengawasan ketat. Dia hanya diperbolehkan berhenti ketika waktunya istirahat atau sore waktu selesai tiba.

Rusman punya pengalaman pahit bagaimana aparat keamanan memperlakukan tapol sangat kejam. Suatu ketika karena merasa pekerjaan sudah selesai, sekitar pukul 16.55 atau kurang lima menit waktunya pulang, dia sudah berhenti untuk melepas lelah. Saat santai itulah ada petugas melintas. Tahu dirinya berhenti belum waktunya, petugas langsung naik pitam.

“Kurang ajar, pemalas kamu. Belum waktunya selesai sudah berhenti,” hardiknya sambil memukuli tubuhnya.

Meski hanya dirinya yang bersalah tapi petugas menghukum semua kawan-kawannya satu grup. Di senja hari itu mereka dipaksa masuk dan terlentang di saluran irigasi dengan berjajar. Setelah itu petugas berjalan menginjak tubuh semuannya.

“Saya kasihan melihat Prof. Buyung Saleh, tubuhnya sampai terbenam dalam lumpur hanya terlihat kepalanya yang botak,” cerita Rusman. Akibatnya selain fisik, para tapol juga hancur mentalnya.

Yang tragis suatu ketika dr. Merapi, melakukan suatu kesalahan karena tidak bisa cara memegang cangkul yang benar. Maklumlah, dia dokter bukan petani. Hukumannya tak hanya dipukul, tetapi diminta masuk ke septic tank sedalam leher dan baru boleh keluar dari kubangan kotoran manusia itu pada pukul lima sore.

Padahal dr. Merapi juga dr. Manto adalah dokter-dokter hebat yang kemampuan medisnya sangat dibutuhkan kalau para tapol, petugas, bahkan orang-orang umum di luar unit ada yang sakit. Saat itu kalau dokter di rumah sakit umum Namlea bahkan pernah dari Ambon tidak mampu menangani operasi tertentu, pasien tersebut dibawa naik perahu ke klinik di Mako. Di sana kedua dokter tersebut yang melakukan operasi dan rata-rata berhasil.

Baru sekitar tahun 1977-an suasana di unit berubah lebih baik setelah komandan mako diganti dengan Letkol Syamsi. Komandan ini lebih humanis dan sangat baik tidak seperti pendahulunya. Para tapol lebih leluasa termasuk bebas pergi ke unit-unit lain untuk bertemu kawan-kawannya, asalkan izin.

Bertemu istri

Kehidupan Rusman lebih berwarna setelah bertemu dengan perempuan bernama Juna. Suatu ketika dia mendapat tugas di kawasan Air Terjun yang ada di dalam unit. Saat itu Juna yang tinggal di luar unit masuk ke unit untuk belanja.

Di masa itu hasil kebun atau kerajinan buatan para tapol diperjualbelikan oleh petugas. Pembelinya datang dari berbagai tempat termasuk dari Namlea. Pertemuan singkat itu muncul benih-benih cinta. “Akhirnya kami berdua sepakat menikah pada 9 Mei 1979. Sebelum menikah, secara gotong royong kawan-kawan membuatkan rumah tersendiri di dalam unit,” kata Rusman yang kini istrinya sudah tutup usia.

Melengkapi kebahagiaannya sebagai pengantin baru, lima bulan kemudian, tepatnya 12 November 1979, dia secara resmi dibebaskan bersama para tapol lain. Setelah dibebaskan, Rusman sempat mengajak istri menengok keluarganya di Garut yang sudah belasan tahun berpisah.

“Saya bahagia karena sempat pulang ke Garut bertemu dengan bapak, ibu dan adik-adik, sebelum bapak ibu tutup usia,” kata Rusman.

Setelah pembebasan tahun 1979 sebagian besar tapol kembali ke rumahnya masing-masing. Sebagian besar di Pulau Jawa. Namun Rusman tetap memilih tinggal di Pulau Buru, menghabiskan masa tuannya.

Saat ini dia sudah hidup damai bersama ketiga anak dan cucunya. Namun kenangan pahit masa lalu tak bisa dihapuskan. “Sampai kapan pun saya tak bisa melupakan kekejaman Soeharto. Dendam saya tak akan berakhir meski dia sudah mati,” katanya dengan suara tegas.

Sebaliknya sampai detik ini kecintaannya pada Sukarno tak bisa tergantikan. “Meski saya ditodong senjata saya tak akan gentar untuk tetap mengungkapkan kecintaan saya pada sang Proklamator,” sambungnya.

Para tapol di Pulau Buru banyak ditahan tanpa tahu penyebab kesalahannya. “Bahkan salah seorang kawan saya yang ada di sini dulu justru ada yang dari HMI. Tetapi difitnah sebagai PKI, cuma karena rebutan pacar,” papar Rusman.

Setelah melalui proses perenungan yang panjang Rusman berkesimpulan bahwa salah dan benar itu tergantung siapa yang menjadi penguasa. Demikian pula dalam tragedi 1965 yang menimpa dirinya. Pada masa itu prinsip Bung Karno memang benar. Tetapi ketika era Soeharto, prinsip itu adalah salah.

“Sebagai orang yang pernah menjadi korban kebiadaban Soeharto, saya senang ketika diminta mengungkapkan cerita kelam masa lalu. Biar sejarah mencatat,” katanya dengan suara mantap.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.