Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief mengaku diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai regulasi penyelenggaraan ibadah haji.

“Pendalaman regulasi-regulasi yang ada dalam proses haji,” ujar Hilman di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis.

Hilman menyampaikan pernyataan tersebut setelah diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024. Ia tiba pada pukul 10.22 WIB, dan keluar pada pukul 21.53 WIB.

Ketika ditanya mengenai proses pembagian kuota ibadah haji untuk biro perjalanan haji, Hilman mengatakan hal tersebut sudah disampaikan ke penyidik KPK.

“Itu sudah disampaikan ke mereka semua ya. Proses yang dilalui, tahapan-tahapan yang dilakukan, sampai keberangkatan,” katanya.

Sebelumnya, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023–2024, yakni pada 9 Agustus 2025.

Pengumuman dilakukan KPK setelah meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam penyelidikan kasus tersebut pada 7 Agustus 2025.

Pada saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus kuota haji tersebut.

Pada 11 Agustus 2025, KPK mengumumkan penghitungan awal kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp1 triliun lebih, dan mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri, salah satunya adalah mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas.

Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya juga menyatakan pihaknya telah menemukan sejumlah kejanggalan dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.

Poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50 berbanding 50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.

Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar 8 persen, sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.