Pegadaian Martabat Bangsa
GH News September 24, 2025 11:17 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – “Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang berdiri di atas tanah luas, melainkan bangsa yang berdiri di atas moral yang tegak.” Kalimat itu kerap menjadi jargon, namun dalam kenyataan politik kita hari ini, moral seakan ditukar dengan sekantong proyek, martabat bangsa dilelang di meja para politisi yang lebih sibuk merawat jaringan kepentingan ketimbang mengabdi pada rakyat.

Bangsa ini seolah terperangkap dalam lingkaran setan: proyek pemerintah menjadi ladang basah, politisi menjadi broker, dan rakyat hanya menjadi penonton yang sesekali dipanggil saat pesta demokrasi berlangsung. 

Bagaimana mungkin martabat bangsa bisa terjaga jika wakil rakyat lebih rajin menghitung komisi ketimbang menghitung kebutuhan rakyatnya?

Politisi bukanlah individu yang berdiri sendiri, mereka bagian dari jejaring panjang yang merentang mulai dari partai, birokrasi, hingga pengusaha yang memanfaatkan celah. Proyek pemerintah tak lagi lahir dari kebutuhan mendesak rakyat, melainkan dari kalkulasi siapa dapat apa, siapa berhutang pada siapa.

Di sinilah rakyat kembali dipermainkan. Jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, bahkan proyek lingkungan, kerap hanya menjadi dalih. Di baliknya, persentase anggaran telah lebih dulu dipotong, ditukar, digelapkan. Rakyat yang mestinya menerima manfaat justru kebagian ampas dari janji-janji.

Politisi yang semestinya menjadi pelayan rakyat berubah menjadi penguasa kecil dengan seribu dalih. Mereka membangun dinasti kepentingan dengan bahasa “demi pembangunan”, padahal yang dibangun hanyalah tembok kekayaan dan warisan keluarga.

Martabat Bangsa yang Terkikis

Apa jadinya bila bangsa terus dipimpin oleh para politisi korup? Martabat bangsa tidak hanya tercoreng di mata dunia, tetapi juga terkoyak di hati rakyatnya sendiri. Setiap kali kasus korupsi mencuat, bukan hanya angka triliunan yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik yang kian menguap.

Martabat bangsa adalah tentang bagaimana rakyat percaya pada negaranya, pada pemimpin yang berdiri di depan mereka. Namun, ketika rakyat melihat politisi bisa bebas melenggang usai merampok uang negara, ketika hukuman tak sebanding dengan kerugian, maka yang lahir hanyalah apatisme. Rakyat pun mulai berpikir: jika pemimpinnya saja culas, mengapa rakyat harus jujur?

Bangsa ini terancam kehilangan arah karena martabatnya dipertaruhkan oleh politisi yang hanya memikirkan isi kantong.

Namun bangsa ini tidak boleh menyerah. Rakyat tidak boleh hanya menjadi penonton yang pasrah. Ketika politisi sibuk menggadaikan martabat bangsa, rakyat harus bangkit sebagai penjaga moral. Kontrol sosial, suara kritis, dan perlawanan sipil adalah benteng terakhir agar negeri ini tidak jatuh seluruhnya ke tangan para perampok berkedok pejabat.

Media, akademisi, mahasiswa, hingga kelompok masyarakat sipil harus berani membongkar, mengawasi, dan terus meneriakkan bahwa bangsa ini tidak boleh tunduk pada politik uang. Tanpa itu, kita hanya akan mewariskan bangsa yang miskin integritas, penuh hutang moral, dan rapuh di hadapan sejarah.

Jalan Reformasi yang Belum Usai

Reformasi 1998 dulu diharapkan menjadi pintu menuju politik yang bersih. Namun kenyataan membuktikan, korupsi justru menemukan wajah-wajah baru, lebih licin, lebih lihai, dan lebih rakus. Reformasi belum selesai karena rakyat masih harus berjuang menegakkan keadilan.

Perlu keberanian lebih dari sekadar jargon. Penegak hukum harus bebas dari intervensi, partai politik harus dibersihkan dari praktik ijon proyek, dan sistem pengawasan harus benar-benar menjerat bukan hanya ikan kecil, tetapi juga buaya besar yang selama ini berenang bebas di kolam kekuasaan.

Bangsa ini lahir dari darah dan air mata, dari janji suci para pendiri untuk membangun negeri berdaulat, adil, dan makmur. Martabat bangsa adalah warisan, bukan sekadar simbol. Bila politisi terus merajalela, maka warisan itu akan hilang, diganti dengan catatan sejarah kelam tentang generasi yang gagal menjaga amanah.

Rakyat harus sadar: suara yang diberikan saat pemilu bukan hanya tentang memilih wakil, tetapi juga tentang menitipkan martabat bangsa. Jika suara itu dijual murah karena sembako atau selembar uang, maka kita ikut serta dalam persekongkolan yang merendahkan diri sendiri.

Politisi memang pandai bersembunyi di balik retorika, tapi rakyat pun harus lebih cerdas membaca. Martabat bangsa bukan milik segelintir elit, melainkan milik seluruh rakyat. 

Jika martabat itu hendak dijaga, maka rakyat tidak boleh diam. Suara kritis harus menggema, perlawanan harus terus menyala, sebab bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang kaya sumber daya, melainkan bangsa yang teguh menjaga harga dirinya dari tikaman pengkhianat di dalam tubuhnya sendiri.

 

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id rubik opini di TIMES Indonesia [email protected]

 

____________
**) Kopi TIMES atau timesindonesia.co.id rubik opini di TIMES Indonesia [email protected] terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: timesindonesia.co.id rubik opini di TIMES Indonesia [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.