Ringkasan Utama
Waka BGN Nanik S Deyang mengakui insiden keracunan MBG bukan sabotase, melainkan kelalaian internal—dari dapur yang masak malam hingga pengawasan yang abai. Pengakuan-pengakuan ini membuka luka di balik angka: anak-anak muntah di kelas, guru panik tanpa pelatihan, dan ibu-ibu yang memilih diam karena takut dianggap tak bersyukur. Kelalaian itu bukan sekadar teknis, tapi menyentuh tubuh, waktu, dan kepercayaan warga yang paling rentan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Bukan hanya angka ribuan anak yang keracunan atau puluhan dapur MBG yang ditutup, pengakuan Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang hari ini membuka fakta-fakta mikro yang selama ini luput dari sorotan media.
Dari dapur yang memasak malam hari untuk sajian pagi, guru yang panik tanpa pelatihan medis, hingga ibu-ibu yang takut bicara karena rasa sungkan terhadap program pemerintah—semua menunjukkan bahwa kelalaian MBG bukan sekadar teknis, tapi menyentuh langsung kehidupan warga biasa.
Dalam konferensi pers di kantor BGN, Jakarta, Jumat (26/9/2025), Nanik menyampaikan permintaan maaf dan menegaskan bahwa insiden keracunan massal MBG bukan sabotase, melainkan kelalaian internal.
“Yang lalai itu bukan hanya dapur, tapi juga pengawasan kami. Ada SOP yang tidak dijalankan, ada audit yang tidak menyeluruh. Itu tanggung jawab kami,” ujarnya.
Ia juga menolak spekulasi politik di balik insiden ini. “Kalau saya sudah ngaku salah saja berarti kelalaian. Kalau kesengajaan saya nggak usah omongin lah, no comment nanti jadi rame,” katanya.
BGN mencatat 70 kasus keracunan MBG dengan total 5.914 orang terdampak sejak Januari. Lonjakan terjadi pada Agustus dan September, dengan 2.210 korban dari 44 kasus hanya dalam bulan terakhir.
Pulau Jawa menjadi wilayah paling terdampak dengan 3.610 korban, disusul Sumatera (1.307) dan Indonesia Timur (997). Daerah seperti Bandar Lampung, Lebong, Bandung Barat, Banggai Kepulauan, dan Kulon Progo mencatat ratusan anak sakit setelah makan MBG.
Berikut tujuh pengakuan Waka BGN—temuan lapangan yang bikin merinding—soal keracunan MBG yang telah menimpa ribuan anak di berbagai daerah Indonesia:
Beberapa dapur MBG diketahui memasak lauk malam hari dan menyajikannya ke anak-anak keesokan paginya. Tanpa pendingin memadai, makanan berisiko rusak dan terkontaminasi.
“Ada dapur yang masak jam 8 malam, disajikan pagi,” kata Nanik.
Tenaga dapur lokal banyak yang belum mendapat pelatihan keamanan pangan. Mereka hanya mengikuti instruksi tanpa tahu cara menyimpan atau mengolah makanan dengan aman.
“Kami cuma ikut arahan,” ujar salah satu petugas dapur dalam laporan BGN.
Koordinator wilayah dan tim monitoring pusat dinilai tidak konsisten memeriksa dapur. Audit tidak menyeluruh, pelanggaran SOP luput dari pantauan.
“Yang lalai bukan hanya dapur, tapi juga pengawasan kami,” ucap Nanik.
Distribusi makanan ke sekolah tidak diawasi ketat. Anak-anak menerima lauk yang sudah berubah rasa, bahkan basi, karena tidak ada rantai dingin.
“Ada yang kirim makanan 6 jam setelah dimasak,” ungkap Nanik.
Saat insiden terjadi, guru harus menangani anak-anak yang muntah atau pingsan. Tidak ada tenaga kesehatan di sekolah, dan guru tidak dibekali pelatihan darurat.
“Kami cuma guru, bukan tenaga medis,” keluh seorang guru dalam laporan BGN.
Warga enggan melaporkan makanan bermasalah karena khawatir dianggap menolak bantuan pemerintah. Rasa sungkan membuat kasus tak segera terdeteksi.
“Takut dibilang nggak bersyukur,” kata Nanik menirukan keluhan warga.
Katering kecil dipaksa layani ribuan porsi tanpa alat memadai. Tanpa dukungan logistik dan pelatihan, kualitas makanan menurun dan risiko meningkat.
“Kami bukan pabrik,” ujar salah satu penyedia makanan dalam evaluasi BGN.
Keracunan MBG bukan sekadar angka di laporan, tapi luka di meja makan anak-anak. Ketika dapur lalai, pengawasan abai, dan suara warga tenggelam oleh rasa sungkan, maka yang terancam bukan hanya program, tapi kepercayaan publik terhadap niat baik negara. Jika gizi adalah hak, maka keamanan pangan adalah tanggung jawab.
Dan tanggung jawab tak cukup ditebus dengan permintaan maaf—ia harus dibayar dengan perbaikan yang nyata, transparan, dan berpihak pada anak-anak yang tak pernah memilih untuk sakit.