Makassar (ANTARA) - Ketua Tim Reaksi Cepat (TRC) UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Makassar Makmur mengatakan kekerasan terhadap anak maupun perempuan biasanya dipicu tekanan ekonomi serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat.
"Ada banyak kasus kami temukan itu berlatar belakang tekanan ekonomi, serta minimnya pengetahuan tentang perlindungan hukumnya," ujar dia di Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu.
Kasus kekerasan anak dan perempuan di Kota Makassar sampai September 2025, UPTD PPA mencatat ada 508 kasus. Kekerasan terhadap anak atau KTA berada di urutan teratas mencapai 273 kasus.
Menurut dia, tingginya angka kekerasan anak tersebut menunjukkan kurangnya perlindungan terhadap mereka baik di keluarga maupun lingkungannya.
"Masalah kekerasan anak dan perempuan tidak bisa kita pandang sebelah mata. Perlu edukasi dan pemahaman hukum atas hak perlindungan mereka," tuturnya.
Sedangkan kasus anak memerlukan perlindungan khusus sebanyak empat laporan, masing-masing dua korban laki-laki dan perempuan. Sementara hak asuh anak sepanjang 2025, ada 22 kasus telah masuk ke UPTD PPA Kota Makassar, masing-masing 11 laki-laki dan perempuan.
Selain kekerasan anak dan perempuan, UPTD PPA Makassar juga mencatat untuk kasus kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT sebanyak 38 kasus, korbannya 36 perempuan dan dua laki-laki, serta satu kasus melibatkan penyandang disabilitas.
Selanjutnya, kasus anak berhadapan dengan hukum sebanyak 45 orang, rinciannya 38 anak laki-laki dan tujuh perempuan. Kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza) enam orang, terdiri atas empat laki-laki dan dua perempuan.
Ia mengungkapkan, pola asuh orang tua terkadang salah sehingga anak tidak mendapatkan pengasuhan secara maksimal, ditambah kurangnya kesadaran hukum yang menjadi salah satu faktor terjadinya kekerasan.
Oleh karena itu, UPTD PPA Kota Makassar terus berupaya memperkuat layanan pendampingan bagi korban, baik anak maupun perempuan, seperti pendampingan konseling, perlindungan hukum termasuk rujukan medis bila diperlukan.
"Untuk itu, kami memastikan setiap korban mendapatkan haknya, mulai dari pendampingan psikologis hingga hukum. Tidak ada korban yang kami biarkan sendirian. Kerja sama lintas sektor juga menjadi kunci utama menekan tindakan kekerasan. Anak dan perempuan merupakan kelompok rentan, semua punya tanggung jawab untuk melindungi mereka," katanya.