Mahkamah tetap berpendirian sebagaimana putusan sebelumnya, yakni syarat pendidikan capres dan cawapres merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah)
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi yang meminta agar syarat calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), calon anggota legislatif (caleg), hingga calon kepala daerah (cakada) diubah menjadi minimal berpendidikan sarjana (S-1).
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 154/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin.
Permohonan tersebut diajukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nasional Hanter Oriko Siregar. Dia menguji Pasal 169 huruf r, Pasal 182 huruf e, dan Pasal 240 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu serta Pasal 7 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur mengatakan uji materi syarat pendidikan paling rendah bagi capres dan cawapres dalam Pasal 169 huruf r UU Pemilu sejatinya pernah dipertimbangkan MK dalam Putusan Nomor 87/PUU-XXIII/2025 yang ketika itu juga dimohonkan oleh Hanter.
Mahkamah, jelas Ridwan, tetap berpendirian sebagaimana putusan sebelumnya, yakni syarat pendidikan capres dan cawapres merupakan kebijakan hukum terbuka yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah).
Mahkamah belum memiliki alasan yang mendasar untuk mengubah pendirian. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 87/PUU-XXIII/2025 secara otomatis berlaku sebagai pertimbangan hukum dalam menjawab dalil permohonan Hanter dalam perkara ini.
“Dengan demikian, berkenaan dengan syarat pendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas atau yang sederajat bagi calon presiden dan calon wakil presiden masih berlaku norma yang sama,” ucap Ridwan.
Pertimbangan yang demikian juga digunakan MK dalam menjawab persoalan konstitusionalitas Pasal 182 huruf e dan Pasal 240 ayat (1) huruf e UU Pemilu serta Pasal 7 ayat (2) huruf c UU Pilkada.
Menurut MK, meski subjek hukumnya berbeda (calon anggota DPD, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta cakada), ketiga norma pasal tersebut sama-sama merupakan ketentuan norma yang mengatur mengenai syarat pencalonan.
Oleh sebab itu, Mahkamah berpendirian, syarat caleg dan cakada juga merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, sebagaimana pertimbangan MK terkait konstitusionalitas Pasal 169 huruf r UU Pemilu.
Selain itu, MK berpandangan, pasal-pasal yang dipersoalkan pemohon sejatinya tidak menutup kesempatan bagi setiap warga negara berlatar belakang pendidikan lebih tinggi untuk mengajukan diri ataupun dicalonkan oleh partai politik.
Menurut MK, permintaan pemohon agar pasal-pasal diuji diubah menjadi “berpendidikan paling rendah lulusan sarjana strata satu atau yang sederajat” justru mempersempit peluang dan membatasi warga negara yang akan mencalonkan ataupun dicalonkan.