Hachiko Tetap Menunggu Majikannya yang Meninggal Dunia di Depan Stasiun hingga Akhir Hayatnya
Moh. Habib Asyhad October 06, 2025 05:34 PM

Ini adalah kisah tentang Hachiko, anjing setia yang tetap menunggu majikannya yang telah meninggal dunia di depan stasiun tempat biasanya di naik kereta. Diabadikan sebagai simbol kesetiaan.

Bagian pertama tulisan ini diambil dari artikel yang berjudul "Hachiko Tetap Menunggu di Depan Stasiun" oleh Prof. Dr. R.M. Soelarko yang tayang di Majalah Intisari edisi Juli 1986

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Ia bahkan tetap menunggu ketika majikannya tidak pernah muncul lagi karena sudah meninggal dunia. Sekarang pun ia masih menunggu dengan setia, biarpun dalam bentuk patung. Itulah Hachiko, si anjing setia.

Stasiun Kereta Api Shibuya termasuk yang terbesar di kota metropolitan Tokyo. Hanya Tokyo Central dan Shinjuku Station yang mengunggulinya. Pertama kali penulis masuk di dalamnya, dia merasa diri seorang udik, yang tersesat di kota besar.

Penulis mengikuti arus manusia yang berjalan dengan cepat tapi tertib, yang keluar dari stasiun melewati platform dan eskalator harus melewati sebuah pintu keluar, yang dijaga oleh sederetan petugas kereta api berseragam hitam, dengan perawakan yang kekar dan sehat-sehat.

Mereka ini bekerja laiknya robot, karena ribuan kali selama mereka bertugas, hanya melubangi karcis-karcis kereta api, yang besarnya tidak lebih dari kartu domino. Matanya yang sipit-sipit memperhatikan huruf yang menunjukkan stasiun berangkat para penumpang dan harga yang dibayar.

Bila kurang, si penumpang diberi isyarat untuk menambah 20 atau 30 yen, yang dilakukan dengan segera. Tetapi umumnya yang harus membayar tambahan ini orang asing, karena tidak sanggup membaca tarif.

Selesai digunting karcisnya, secara otomatis penulis melongok ke atas untuk mengetahui ini pintu sebelah mana, selatan, utara, keluar ke terminal bus, atau keluar ke Hachiko crossing. Tidak dijelaskan apakah Hachiko itu terminal bus, taman, atau tempat parkir taksi.

"It's a dog," kata Prof. Adachi Sensei, temannya. Penulis tercengang. "Namanya Hachi. Ko adalah endearment," lanjutnya pula. Oh, seperti tje pada Jantje, Marietje, pikir penulis.

"Entah berapa tahun yang lalu Hachiko hidup. Anjing gelandangan itu kurus tak terurus. Seorang tua menaruh belas kasihan kepadanya dan merawatnya sampai sehat kembali. Sejak itu anjing yang diberi nama Hachi itu, mengikuti majikannya ke mana-mana. Sebagaimana kebiasaan orang Jepang, yang tidak kaya, majikan Hachiko tinggal di kampung dan tiap hari harus jalan kaki ke Stasiun Shibuya untuk naik kereta api ke tempat kerjanya. Sebelum masuk ke gedung stasiun, dia suruh Hachiko, yang mengantarnya, pulang ke rumah. Anjing itu pulang sendiri dan sebelum pukul 17.00 sudah menunggu di tempat bakal keluarnya majikannya dan gedung stasiun kereta api. Bertahun-tahun dia melakukan hal itu."

Suatu hari, lanjut Adachi, “Majikannya meninggal dunia. Tetapi nalurinya membawa Hachiko tetap pergi ke stasiun untuk menjemput majikannya yang tak kunjung datang. Begitu setianya dia datang ke stasiun dan pergi lagi merintih sedih, sampai mendapat perhatian dari orang-orang, yang seperti majikannya pergi ke Stasiun Shibuya untuk menuju ke tempat kerjanya. Makin banyak orang memperhatikan anjing itu, makin ia menjadi pembicaraan sehari-hari. Namun, apa yang dapat mereka lakukan? Bagaimana keluarga majikannya memberitahukan kepadanya bahwa majikannya telah tiada? Berita ini sampai diulas di koran, dan semua yang membacanya menaruh sayang kepada anjing itu. Hachiko merupakan lambang kesetiaan bagi seekor anjing, tetapi juga sebagai teladan bagi umat manusia."

"Karena itu setelah ia meninggal, semua yang menyayanginya mengumpulkan uang dan walikota menyediakan taman dekat stasiun, untuk memperingati namanya. Sebuah patung, yang dibuat oleh seorang pemahat secara sukarela, dibuat dari batu hitam, diletakkan pada suatu tonggak setinggi manusia, supaya orang-orang yang berada di dekat situ dapat mendekatinya dan meraba kakinya, atau moncongnya."

Beberapa hari kemudian, dengan teman lain yang mendampinginya di Tokyo, Odagiri San, penulis sempat menjenguk patung Hachiko di taman itu. Benar-benar anjing setia!

Sekilas tentang Hachiko

Hachiko adalah anjing dari ras Akita Inu, salah satu ras anjing tertua dan paling populer di Jepang, lahir pada November 1923 di Kota Odate, prefektur Akita.

"Anjing Akita memiliki karakter yang tenang, tulus, cerdas, berani dan patuh pada tuannya," tulis Ietsu Sakuraba, penulis buku anak-anak berbahasa Inggris tentang Hachiko, sebagaimana dikutip dari Kompas.com. "Ia juga memiliki kepribadian yang keras kepala dan mewaspadai siapa pun selain tuannya."

Ketika itu, seorang profesor pertanian sekaligus pencinta anjing, bernama Hidesaburo Ueno, meminta siswanya untuk mencarikannya seekor anjing Akita lewat surat kabar. Singkat cerita, anjing yang kemudian dikenal sebagai Hachiko itu dipelihara oleh Sang Profesor dan dibawa ke Shibuya.

Saat ditemukan, Hachiko dianggap sudah mati. Profesor Ueno dan istrinya kemudian merawat anjing malang itu hingga sembuh selama enam bulan. Oleh Prof Ueno, anjing itu diberi nama Hachi, sementara Ko adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh murid-murid sang profesor.

Setiap hari,ProfUeno biasa naik kereta untuk bekerja beberapa kali seminggu. Sepanjang perjalanannya menuju Stasiun, dia sering ditemani ketiga anjingnya, termasuk Hachiko. Ketiganya kemudian akan menunggu di sana hingga Uneo pulang bekerja pada malam hari.

Setiap kali Uneo bekerja, Hachiko terus melakukan kegiatan yang sama dari pagi sampai malam.

21 Mei 1921, Prof Ueno, yang ketika itu berusia 53 tahun, meninggal dunia karena pendarahan otak. Hachiko sendiri baru diasuh oleh sang profesor selama 16 bulan. Meski belum genap dua tahun, Hachiko tahu kepada siapa ia harus setia.

"Saat orang-orang sedang terjaga, Hachi mencium bau Ueno dari rumah dan masuk ke dalam ruang tamu. Ia merangkak di bawah peti mati dan menolak untuk bergerak," tulis Prof Mayumi Itoh, penulis biografi Hachiko. Anjing itu menghabiskan beberapa bulan berikutnya dengan keluarga yang berbeda di luar Shibuya, tetapi akhirnya pada musim panas 1925, ia dirawat oleh tukang kebun Ueno, Kikusaburo Kobayashi.

Setelah kembali ke daerah tempat tinggal mendiang majikannya, Hachiko terus melanjutkan perjalanan hariannya ke stasiun tanpa menghiraukan kondisi cuaca entah itu hujan atau cerah. "Pada malam hari, Hachi berdiri dengan empat kaki di gerbang tiket dan memandang setiap penumpang seolah-olah sedang mencari seseorang," tulis Prof Itoh.

Awalnya karyawan stasiun melihatnya sebagai pengganggu. Penjual Yakitori juga terbiasa menuangkan air padanya dan tak jarang anak laki-laki kecil menggertak atau memukulnya. Tapi seiring waktu, keberadaan Hachiko di depan gerbang tiket Stasiun Shibuya itu mencuri perhatian awak media dan dari situlah kisah Hachiko mulai terkenal.

Hachiko mati pada 8 Maret 1935 dan langsung menjadi halaman depan banyak surat kabar di Jepang. Hachiko dikubur di Pemakaman Aoyama di dekat liang Ueno dan Yae. Bahkan pada pemakamannya, biksu Budha berdoa untuknya dan para pejabat banyak yang memberikan pujian untuk Hachiko. Sejak saat itu, ribuan orang mengunjungi patungnya pada hari-hari berikutnya.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.