Biasa terjadi dalam berbagai komunitas di negeri kita, banyak masalah bisa diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat

Jakarta (ANTARA) - Amandemen sebanyak empat kali terhadap UUD 1945 pada kurun waktu 1999-2002, sejatinya telah menjadi pintu masuk bagi berjalannya proses demokrasi liberal di Indonesia.

Amandemen itu secara jelas mengarah ke demokrasi liberal, seperti yang pernah terjadi pada kurun waktu 1951-1959 ketika kabinet silih berganti, sehingga memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945.

Sudah berabad-abad bangsa di Nusantara ini memiliki tradisi musyawarah dan mufakat, yang kini semakin terlupakan. Bahkan partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia menggunakan sistem perwakilan dalam memilih ketuanya.

Dengan berlaku sistem demokrasi liberal, nilai musyawarah mufakat seolah sirna. Bangsa ini merindukan kembali praktis berbasis nilai musyawarah mufakat. Itu sebabnya bila kepada rakyat Indonesia diajukan pertanyaan; manakah yang mau dipilih, hidup dengan nilai-nilai luhur Pancasila dan kebersamaan atau hidup dengan nilai-nilai demokrasi liberal ala barat yang individualistik?

Rasanya tidak berlebihan bila dikatakan, mayoritas rakyat Indonesia akan memilih hidup dalam naungan nilai-nilai luhur Pancasila.


Demokrasi liberal

Demokrasi liberal yang saat ini berjalan di Indonesia, salah satu dampaknya adalah fenomena hanya memenangkan para pemilik modal saja dalam politik. Pemimpin yang baik sulit didapatkan dari mekanisme seperti ini.

Dalam sebuah siniar baru-baru ini, Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra, dengan nada prihatin, mengungkapkan ada seseorang yang memiliki potensi dan kecerdasan sebagai calon anggota DPR RI justru tidak bisa terpilih, karena tidak memiliki dana cukup.

Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin populer nama calon tersebut. Karena setiap hari, wajahnya akan menghiasi media massa besar melalui kegiatan-kegiatan yang dibuat.

Semakin mahal biaya yang dikeluarkan, maka semakin tinggi elektabilitas nama calon tersebut. Fenomena yang sama juga terjadi saat pilkada.

Sudah saatnya seluruh komponen bangsa untuk merenung dan menekankan pentingnya kembali kepada UUD 1945 naskah asli. Proses amandemen di awal era reformasi, pada kenyataannya beralih fungsi menjadi penggantian UUD 1945 asli, produk pemikiran para pendiri bangsa.

Dampaknya adalah terjadi krisis multidimensi, diiringi maraknya liberalisme yang mengabaikan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bangsa dan negara ini sejatinya dibangun melalui konsensus. Dan perubahan itu bisa berlangsung damai atas dorongan masyarakat dan kesepakatan elite.

Karena itu yang terpenting adalah membangun kesadaran kolektif, bahwa sistem demokrasi liberal yang diterapkan Indonesia sejak era Reformasi tidak cocok untuk negara kepulauan yang sangat beragam seperti Indonesia ini.

Sebagaimana pernah dikemukakan Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM Prof Dr Sudjito, bahwa amandemen UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Sebab wakil rakyat (yang melakukan amandemen), sejak mula tidak diajarkan tentang ilmu dan norma-norma dasar filsafat Pancasila. “Jika norma dasarnya salah, tataran praksis akan tetap salah,” kata Sudjito.

Sudjito mengakui, banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan hanya menyesuaikan pada kepentingan partai, kelompok, dan tidak jarang mengutip ideologi asing secara parsial.

Salah satunya Ayat 4 Pasal 33 yang mengatur perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya. Intinya menyebutkan demokrasi ekonomi, namun dalam praktiknya diterapkan ekonomi liberal.

Pasal ini tidak koheren dengan pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945.
Pasal lainnya, seperti Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik, lalu pada Ayat 2 Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan representasi kekuasaan rakyat berhenti pada presiden, DPR dan DPD.

Apabila sebelum amandemen MPR merupakan representasi kekuasaan dan kedaulatan, dengan hasil amandemen UUD tugas MPR hanya praktis melantik Presiden dan Wakil Presiden.

Struktur kekuasaan negara yang ada saat ini, MPR seolah menjadi kurang signifikan. Jika kedaulatan rakyat berhenti pada presiden dan DPR maka tujuan negara tentang kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila akan mustahil terwujud.

Kembali pada UUD 1945, adalah menguatkan kembali posisi MPR RI. Peran penting MPR adalah sebagai penjaga konstitusi dan penentu arah kebijakan negara lewat perannya dalam menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar.

Selain itu, MPR juga berfungsi sebagai tempat musyawarah dan mufakat antara berbagai elemen bangsa, mencerminkan prinsip demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah untuk mencapai keputusan.

Selaras dengan sila keempat Pancasila, bahwa menjaga prinsip musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan, merupakan langkah bijak bagi para pemangku kebijakan saat ini.

Bersama nilai musyawarah mufakat, MPR RI secara kelembagaan dapat memberikan solusi konkret dan empirik atas problematika masyarakat hari ini. Dengan demikian, peran dan kontribusi MPR akan benar-benar riil.

MPR penjaga nilai musyawarah mufakat


Amandemen sebanyak empat kali tersebut berdampak pada peran dan fungsi MPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mengubah dan menetapkan konstitusi, serta komitmen MPR untuk selalu konsisten mewujudkan aspirasi rakyat.

Meski kemudian terjadi pergeseran posisi dari yang tadinya lembaga Tertinggi Negara menjadi lembaga Tinggi Negara. Namun itu tidak merubah peran penting dari MPR dalam menjaga stabilitas dan keseimbangan demokrasi di Indonesia.

Merujuk apa yang pernah disampaikan Ketua MPR RI Ahmad Muzani, sinergi antara lembaga negara dan program pemerintah adalah keniscayaan jika bangsa ini ingin mempercepat pencapaian tujuan nasional. Kalau lembaga negara berjalan sendiri-sendiri dan tidak saling mendukung, maka akan muncul kerentanan institusional.

Dalam implementasi nilai musyawarah dan mufakat, dapat dilakukan secara partisipatoris, seperti kompromi atau konsensus, melalui MPR RI.

Melalui proses tersebut semua pihak merasa puas dengan hasil musyawarah dan berkomitmen untuk mendukung hasil keputusan yang telah disepakati bersama.

Biasa terjadi dalam berbagai komunitas di negeri kita, banyak masalah bisa diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat.

Dengan mendengarkan pendapat dan usulan dari berbagai pihak yang terlibat, keputusan yang diambil akan lebih komprehensif dan berimbang, dan diharapkan memperkecil masalah yang akan timbul.

Konstitusi di negara ini tidak mengatur kerja bersama MPR, DPR, dan DPD untuk menghasilkan suatu produk hukum atau keputusan politik.

Jadi dengan kata lain, pelaksanaan fungsi parlemen dari MPR merupakan persidangan khusus (special session) untuk tujuan tertentu (ad hoc), dan bukan fungsi rutin legislatif. Itu sebabnya MPR harus menjadi garda terdepan dalam merawat dan menjaga prinsip musyawarah mufakat.

MPR saat ini dan masa depan harus bisa mengambil peran dalam regenerasi kepemimpinan nasional, yaitu (semacam) profiling calon presiden. Meski rakyat memilih langsung pemimpinnya, namun MPR RI masih ada peran sangat signifikan dalam proses pilpres.

Adalah sangat penting MPR memperkuat kapasitasnya dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya dan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan.

MPR RI diharapkan dapat tetap berdiri tegak dalam mengawal Pancasila sebagai ideologi bangsa, terutama sila keempat, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat dalam menjalankan setiap tugas pokok dan fungsinya.

Merujuk pada berbagai pengalaman empirik kelembagaan, MPR memiliki modal dan kapasitas yang kuat untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut.


*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.