TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Upacara Aci Tabuh Rah Pengangon atau yang sering dikenal dengan nama siat (perang) tipat bantal kembali digelar dengan melibatkan semua krama Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, pada Senin 6 Oktober 2025.
Menariknya pada pelaksanaan kali ini nuansanya sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Sebelum pelaksanaan kegiatan upacara Aci Tabuh Rah pengangon sejumlah kegiatan yang lain juga dilaksanakan yang tidak terlepas dari budaya dan tradisi umat Hindu di Bali.
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan seperti lomba penjor yang dilaksanakan pada Rabu 1 Oktober 2025.
Selain itu, pada hari puncak upacara Aci Tabuh Rah pengangon juga dilaksanakan beberapa lomba dari pagi.
Pertama lomba yang dilaksanakan yakni lomba membuat lawar, membuat cane atau gebogan bunga dan ngulat tipat yang dilaksanakan di Wantilan Desa Adat Kapal dan Japa Pura Purusada Desa Adat Kapal.
Untuk upacara Aci Tabuh Rah Pengangon secara umum dilakukan sama seperti tahun sebelumnya. Sebelum upacara dilaksanakan, dilakukan peed pamendak tirta Pura Purusada Desa Adat Kapal menuju Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal.
Setelah itu dilakukan persembahyangan bersama dan dilaksanakan Aci Tabuh Rah Pengangon Pura Desa lan Puseh Desa Adat Kapal dengan jumlah warga yang tidak begitu banyak.
Setelah selesai prosesinya di dalam pura, baru dilaksanakan di depan pura atau di Jalan Utama yang melibatkan ribuan warga Desa Adat Kapal.
Bendesa Adat Kapal, Ketut Sudarsana menyebutkan tipat bantal sudah dilaksanakan sudah dari tahun 1338 Masehi.
Sehingga pada tahun 2025 ini kegiatan Aci Tabuh Rah Pengangon sudah dilaksanakan ke 1.687 kali.
“Tradisi, ini memang dilakukan setiap tahun secara turun temurun. Pelaksanaan upacara ini tak lain bertujuan untuk memohon kesejahteraan bagi seluruh krama Desa Adat Kapal,” ujarnya.
Sudarsana menceritakan, awal mula adanya tradisi ini pada waktu jagat Bali dipimpin oleh raja Ida Sri Astasura Ratna Bumi Banten.
Di mana Sang raja lalu mengutus patihnya bernama Ki Kebo Taruna atau Kebo Iwa datang memperbaiki Pura Purusada di Kapal.
Pada saat kedatangannya tersebut, Kebo Iwa melihat sebagian besar rakyat Kapal bertani.
Namun, saat datang warga Desa Kapal terserang musibah dan musim paceklik.
Saat itulah, Kebo Iwa memohon kepada Ida Bhatara yang berstana di Pura Purusada.
Kemudian, dia mendapat petunjuk agar dilaksanakan upacara sebagai persembahan kepada Sang Hyang Siwa.
“Persembahan tersebut diwujudkan dengan mempertemukan Purusa dan Predana disimbolkan Tipat dan Bantal sehingga lahirlah tradisi aci tabuh rah pengangon. Jadi pertemuan antara purusa dan predana akan melahirkan kehidupan baru,” ujarnya.
Pihaknya mengaku tradisi siat tipat bantal sangat ditunggu-tunggu masyarakat Badung maupun wisatawan.
Penamaan perang siat tipat bantal karena senjata yang digunakan warga adalah ketupat (ketupat dari beras) dan bantal (ketupat dari beras ketan).
“Pada intinya, ini saya ibaratkan seperti wanita bertemu dengan seorang laki-laki yang akan menghasilkan kehidupan baru,” bebernya.
Untuk diketahui pelaksanaan acara ini hanya melibatkan beberapa banjar dari 18 Banjar Adat yang ada di Desa Adat Kapal, setiap tahun akan digilir dari 18 banjar adat yang ada di Desa Adat Kapal. (gus)