Pengelolaan SPPG di Cinere dan Lumajang ini tentu layak menjadi contoh dan inspirasi bagi daerah lain dalam menangani program MBG dari hulu hingga hilir yang dipersiapkan dengan sangat baik
Bondowoso (ANTARA) - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tengah digencarkan oleh pemerintah terus menunjukkan perbaikan di tingkat praktik, meskipun sebelumnya sempat diwarnai insiden-insiden.
Pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program MBG, terutama terkait dengan aspek keamanan para siswa penerima manfaat makanan tersebut.
Kasus keracunan setelah siswa mengonsumsi makanan produk MBG, yang kemudian menjadi perhatian semua pihak termasuk Presiden Prabowo Subianto, telah menjadi pelajaran besar bagi para pelaksana dan seluruh pemangku kepentingan terkait, sehingga diharapkan tidak ada lagi kasus itu di masa mendatang.
Dari hasil evaluasi secara menyeluruh itu, pelaksana program MBG di lapangan juga melakukan perbaikan-perbaikan. Para pengelola di satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) berupaya melaksanakan tugas agar sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).
Bukan hanya itu, SPPG juga telah menunjukkan langkah-langkah inovatif dalam mengerjakan tugas untuk pemenuhan gizi berkualitas bagi anak-anak bangsa penerus masa depan itu.
SPPG Cinere merupakan salah satu pelaksana yang telah menerapkan pengolahan hingga penyajian makanan dilakukan dengan sangat hati-hati, termasuk ketika memasukkan nasi dan lauk ke dalam wadah ompreng.
Di SPPG yang melayani hingga 1.000 porsi makanan dalam sehari itu, bukan sekadar standar keamanan yang dipenuhi, tapi juga dilakukan pembenahan dalam aspek lain, seperti penyediaan menu yang sesuai dengan selera siswa penerima. Siswa dapat memesan menu yang diinginkan, yang oleh penyedia, kemudian disesuaikan dengan pedoman angka pemenuhan gizi (AKG).
Kemungkinan yang membuat makanan terkontaminasi, hingga menyebabkan konsumen keracunan adalah pada tahap memasukkan masakan dalam kondisi panas ke dalam wadah atau ompreng.
Di SPPG Cinere, proses pengemasan itu betul-betul diperhatikan, yakni menunggu masakan dingin. Masakan itu didiamkan antara satu jam hingga dua jam, sebelum dimasukkan ke dalam ompreng.
Di luar produk makanan, dari aspek pekerja juga dipastikan SPPG ini memiliki sertifikat penjamah makanan, yang bertujuan untuk memastikan keamanan pangan bagi seluruh penerima manfaat. Sertifikat itu dikeluarkan melibatkan Badan Gizi Nasional (BGN), dinas kesehatan, Badan Nasional Sertifikasi Profesi, dan lembaga-lembaga profesional serta terakreditasi.
Pengelola juga bekerja sama dengan puskesmas setempat untuk memastikan kesehatan para pekerja. Seluruh pekerja di satuan itu diperiksa secara berkala dan menyeluruh satu bulan sekali.
Apa yang dilakukan di SPPG Cinere merupakan tindak lanjut dari evaluasi menyeluruh terkait pelaksanaan MBG. Dari sisi Kemenkes, pemerintah mengoptimalkan puskesmas dan usaha kesehatan sekolah (UKS) untuk secara rutin memantau SPPG.
Selain itu, pemerintah daerah bersama dinas terkait di bawahnya serta instansi vertikal, seperti TNI dan Polri, juga ikut aktif memantau penyediaan makanan untuk para siswa.
Keterlibatan pemerintah daerah itu memang sangat penting karena program MBG ini merupakan upaya investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), dimana daerah merupakan pengguna manfaat SDM jangka panjang yang paling tampak.
Sementara itu, sesuai catatan Badan Gizi Nasional (BGN), per 30 September 2025, sudah ada 198 SPPG yang telah memiliki sertifikat laik higiene sanitasi (SLHS).
Pengeluaran sertifikat dan pemberian dorongan kepada seluruh SPPG untuk segera mendapatkan SLHS merupakan komitmen pemerintah dalam menjaga keamanan dan kualitas MBG. SLHS merupakan salah satu persyaratan wajib yang ditetapkan oleh BGN untuk memastikan standar jaminan kesehatan dan kebersihan dari makanan yang diproses di MBG.
Karena itu, SPPG yang belum memiliki SLHS, diharapkan segera mengurus ke BGN, sehingga praktik program MBG ini merata, tidak hanya dari penyebaran makanan, melainkan juga kualitas makanan yang secara keamanan terjamin.
Pengolahan sampah
Hal yang selama ini mungkin cenderung luput dari perhatian terkait program MBG ini adalah penanganan sampah, terutama dari sisa sayuran maupun lauk, termasuk sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh siswa.
Masalah sampah ini, di SPPG Cinere juga tertangani secara baik, dengan memisahkan sampah organik dari sampah non-organik. Sampah-sampah organik itu diolah untuk menjadi makanan maggot, sedangkan limbah cair dikelola menggunakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Dengan memanfaatkan IPAL tersebut, maka tidak ada limbah yang mencemari lingkungan.
Di tempat lain, jauh dari Cinere, yakni di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ada dua pemuda, yakni Asriafi Ath Thoriq dan Dzaki Fahruddin yang memanfaatkan limbah sisa bahan makanan di SPPG diolah menjadi eco enzyme.
Enzim yang ramah lingkungan itu bisa digunakan untuk sabun pembersih, pupuk cair, hingga untuk pakan maggot. Limbah makanan yang biasanya dibuang, diolah oleh dua pemuda di kabupaten penghasil pisang itu untuk berbagai keperluan yang sangat ramah lingkungan, termasuk dari aspek ekonomi menjadi sumber penghasilan baru.
Pengelolaan SPPG di Cinere dan Lumajang ini tentu layak menjadi contoh dan inspirasi bagi daerah lain dalam menangani program MBG dari hulu hingga hilir yang dipersiapkan dengan sangat baik. Di pihak lain, evaluasi-evaluasi terhadap pelaksana pengadaan makanan program MBG tetap harus dilaksanakan, sehingga semua pihak yang terlibat terus berbenah dan memperbaiki pelayanan dalam upaya pemerintah menyiapkan generasi emas berkualitas.