TRIBUNMANADO.CO.ID- Renungan harian Kristen kali ini berjudul reformasi dan perhatianku.
Renungan diambil dalam moment of inspiration LPMI.
“Saudara-saudara aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku.” (Fil. 3:13)
Pelari marathon, apalagi pelari sprinter, sudah pasti diarahkan untuk fokus melihat ke depan, jangan melihat ke kiri atau pun kanan, apalagi menoleh ke belakang.
Sedikit saja ia mengabaikannya, akan memengaruhi kecepatannya mencapai garis finish.
Paulus yang cukup familiar dengan dunia olahraga, sering menggambarkan kekristenan sebagai sebuah perlombaan.
Jemaat Filipi tentu tidak asing dengan gambaran tersebut, dan dengan itu Paulus berharap mereka dapat memahami maksudnya.
Paulus pernah merasa bangga dengan supremasi Yudaismenya, yang dianggapnya sebagai satu nilai hidup yang tak ada bandingnya.
Tetapi setelah kemudian dia berjumpa dengan Tuhan Yesus Kristus, ia pun menemukan bahwa segala kebanggaan agamawinya yang dulu, tak ada apa-apanya.
Pusat perhatiannya sekarang semata-mata hanya tertuju pada Kristus saja, sehingga ia ‘melupakan’ apa yang dulu, reputasi agama Yahudinya, kemudian berlari kepada tujuan yang baru, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.
Ia tidak mau mata hatinya bergeser dari Kristus untuk selamanya. Ia sadar bahwa ia masih harus terus bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus.
Ia rindu menjadi serupa Kristus dengan penuh antusias dan ketekunan seperti pelari yang tak berhenti hingga garis akhir.
“He was determined that he would forget the past, and like a runner, press on toward the goal.” (Lightner).
Ia mau mengajar jemaat Filipi agar memiliki pusat perhatian yang sama, terus tertuju kepada Kristus sepanjang hidupnya.
Seperti kata pemazmur, “Kepada-Mu aku melayangkan mataku, ya Engkau yang bersemayam di sorga.” (Mazm. 123:1).
Bagaimana dengan pusat perhatian orang Kristen masa kini?
Masih adakah orang Kristen masa kini yang pusat perhatiannya bukan kepada Kristus, melainkan pada kedagingan, ibadah yang legalistik?
Bukan karena mengasihi Tuhan, tetapi sekedar melakukan kewajiban agamawi?
Jika jawabannya adalah “Ya”, Lalu siapa yang salah, apakah semata-mata pada pribadi jemaat, atau para hamba Tuhan sebagai pengajar, yang tidak melakukan tugasnya?
Jika para pengajar sendiri tidak punya fokus untuk menjadi serupa dengan Kristus, bagaimana dengan yang lain?
Tantangan ini telah menginspirasi Chisholm & Kirpatrick, dalam gubahannya “Lord I want to be like Thee.”
“Kumau Serupa Yesus.”
Lirik bait satunya berbunyi: “Kumau srupa-Hu, Yesus yang mulia, inilah doa dan harapan. Kumau sampahkan kekayaanku, untuk dapatkan Yesus Kristus.
Yesus ku rindu serupa Dikau, Yesus yang mulia, srupa Dikau.
Srupa manis-Mu, srupa setia-Mu, dalam hatiku, rupakan Kau.” Kita merasa terus terpanggil untuk lebih gigih lagi menekankan hal ini dalam pelayanan pemuridan kita.
Mungkin kita belum berani berkata bahwa kita atau orang yang kita layani, sudah menjadi serupa Kristus, namun kita terus mengarah ke sana, hingga Dia memanggil kita pulang.
Inspirasi: Jika Kristus menjadi pusat perhatian, yang menjadi fokus setiap hari, maka kerinduan untuk menjadi serupa Dia adalah kerinduan yang mulia, tiada taranya.