Jakarta (ANTARA) - “Bagaimana suatu bangunan akan berdiri kokoh, bila satu tangan membangun dan tangan lain menghancurkan?” Kalimat bijak penyair Timur Tengah berabad lalu itu seolah kembali relevan di tengah upaya besar negara dalam memperkuat pondok pesantren.
Ia menjadi cermin sederhana tentang arti gotong royong dalam pembangunan, bahwa kekuatan sejati tidak pernah lahir dari kerja yang terpecah, melainkan dari kebersamaan yang mengakar, termasuk dalam konteks pondok pesantren.
Nilai gotong royong itu, kini tumbuh kembali lewat upaya nyata pemerintah dalam mendampingi pondok pesantren agar menjadi ruang belajar yang aman, nyaman, dan layak bagi para santri di Indonesia.
Setelah insiden bangunan pesantren yang ambruk dan berbagai persoalan infrastruktur yang mengemuka, pemerintah mulai menata arah baru demi memastikan setiap ruang pendidikan berdiri di atas fondasi keselamatan dan kebersamaan.
Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PM) menandai babak baru itu lewat penandatanganan kesepakatan bersama tentang sinergi penyelenggaraan infrastruktur pesantren.
Kesepakatan ini lahir dari kesadaran bahwa pesantren, di mana sebagian besar berdiri atas swadaya masyarakat, dan tidak bisa dibiarkan berjuang sendirian menghadapi tantangan teknis dan administratif pembangunan.
Gotong royong
Kementerian PU berperan sebagai pengampu pendampingan teknis, mulai dari perizinan, hingga sertifikasi bangunan. Melalui layanan hotline 158, pesantren di berbagai daerah, kini dapat mengakses konsultasi langsung terkait rencana pembangunan.
Pemerintah, bahkan telah menyiapkan prototipe desain untuk bangunan sederhana di bawah dua lantai agar pengurus pesantren mudah memperoleh panduan yang sesuai standar. Untuk bangunan bertingkat, rancangan prototipe sedang disiapkan agar setiap pembangunan tetap memperhatikan faktor keamanan.
Pendampingan ini pada tahap awal mencakup delapan provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
Pemerintah menargetkan agar seluruh pondok pesantren di wilayah tersebut mendapat perhatian dan bimbingan teknis secara bertahap.
Di sisi lain, Kementerian Agama mencatat terdapat lebih dari 42 ribu pondok pesantren di seluruh Indonesia dan hampir seluruhnya berstatus swasta.
Artinya, sebagian besar pesantren itu tumbuh dari keikhlasan masyarakat, tanpa dukungan penuh dari negara. Kondisi itu membuat banyak pesantren berdiri di lokasi yang tidak selalu aman, seperti di lereng bukit, tepian sungai, bahkan di area rawan longsor.
Banyak di antaranya juga dibangun tanpa izin resmi, karena para pengelola menghadapi rumitnya perizinan dan biaya administrasi yang tinggi.
Melihat kenyataan tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mempermudah proses perizinan, sekaligus menjaga aspek keselamatan.
Langkah awal dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi keagamaan, seperti UIN dan IAIN, yang memiliki fakultas teknik untuk membantu audit dan pemeriksaan teknis bangunan.
Pemerintah juga menyiapkan kebijakan keringanan izin pembangunan agar pesantren tidak terbebani biaya administrasi yang memberatkan.
Dalam arah kebijakan nasional, Presiden Prabowo Subianto memberikan perhatian khusus terhadap pesantren. Tiga pesan utama disampaikan kepada jajarannya, yakni memastikan keselamatan dan kenyamanan belajar santri, memperkuat kehadiran pemerintah dalam memberikan solusi bagi masyarakat pesantren, dan melanjutkan tradisi historis hubungan kuat antara pemimpin bangsa dengan para ulama.
Presiden, bahkan menegaskan agar bantuan pembangunan dan renovasi diberikan secara prioritas kepada pesantren yang berada di wilayah rawan bencana, memiliki jumlah santri lebih dari seribu, dan mengalami kesulitan melanjutkan pembangunan.
Filosofi pembangunan ini tidak berhenti pada aspek fisik semata. Pemerintah menekankan agar setiap langkah pembangunan di pesantren tetap berpijak pada nilai gotong royong dan kemandirian masyarakat.
Semangat itu diwujudkan melalui program pelatihan dan sertifikasi bagi para pengurus pesantren agar menjadi tenaga kerja konstruksi yang terampil dan bersertifikat, yang disediakan secara gratis oleh Kementerian PU sebagai upaya mengubah semangat kerja sukarela menjadi kompetensi yang diakui.
Selama ini, banyak pesantren dibangun oleh santri dan masyarakat sekitar secara swadaya, tanpa pemahaman teknis konstruksi yang memadai. Dengan pelatihan, para pengurus pondok pesantren dapat membangun institusi pendidikannya sendiri dengan cara yang benar, aman, dan memenuhi standar bangunan.
Pendekatan ini juga menjawab kritik sebagian pihak yang menilai bahwa kerja gotong royong di pesantren berisiko menimbulkan eksploitasi terhadap santri.
Pemerintah menegaskan bahwa kegiatan tersebut tetap dijalankan secara proporsional, dengan pembagian tugas yang sesuai kemampuan.
Inisiatif baru ini meneguhkan kembali karakter khas pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat yang tumbuh dari nilai keikhlasan. Karena itu, dukungan negara menjadi penting agar keterbatasan infrastruktur tidak lagi menghalangi mereka menimba ilmu.
Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat menegaskan bahwa keselamatan santri menjadi jargon utama dalam setiap pembangunan infrastruktur pendidikan. Pemerintah daerah diharapkan berperan aktif memastikan bahwa setiap proyek pembangunan pesantren mendapat pengawasan dan pendampingan memadai.
Audit bangunan, kemudahan persetujuan gedung, serta pendampingan teknis dilakukan agar tidak ada lagi pesantren yang terabaikan. Semua langkah ini bermuara pada satu cita-cita besar, yaitu menghadirkan lingkungan pendidikan yang layak, aman, dan nyaman bagi setiap santri dari Sabang sampai Merauke.
Warisan peradaban
Pesantren telah menjadi bagian dari perjalanan panjang bangsa, jauh sebelum Indonesia merdeka. Ia tumbuh dari semangat dakwah dan pendidikan yang sederhana, tapi memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan karakter bangsa.
Dari surau kecil di desa, hingga pondok pesantren modern di kota, pesantren menjadi pusat pembelajaran agama, ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai kebangsaan.
Di masa penjajahan, banyak tokoh pergerakan nasional lahir dari lingkungan pesantren. Sebut saja KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Sanusi, dan KH Abdul Halim adalah di antara mereka yang menggabungkan semangat keislaman dengan cita-cita kemerdekaan.
Dari pesantren pula lahir gagasan kemandirian bangsa, perjuangan tanpa pamrih, serta pandangan bahwa membela tanah air adalah bagian dari iman.
Setelah kemerdekaan, banyak tokoh negarawan yang berakar dari tradisi pesantren melanjutkan pengabdian mereka di panggung nasional. Sosok seperti KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi simbol modernisasi pemikiran Islam dan pluralisme yang berpijak dari nilai-nilai pesantren.
Dari generasi ke generasi, pesantren terus melahirkan tokoh-tokoh yang memainkan peran penting dalam pembangunan bangsa. Ada akademisi, birokrat, hingga aktivis sosial yang membawa semangat kesederhanaan dan keikhlasan ala santri ke ruang publik.
Dari mereka, lahir pandangan bahwa gotong royong bukan sekadar budaya, tapi strategi hidup bersama dalam membangun bangsa. Maka dari itu, ketika satu pesantren berdiri dengan baik, sejatinya seluruh bangsa turut menegakkan pilar-pilar peradaban itu.
Pemerintah, masyarakat, dan para santri, kini berjalan dalam irama yang sama dalam memperkuat pesantren dengan cara yang lebih aman, lebih ilmiah, dan tetap berakar pada nilai gotong royong.
Bangunan yang kokoh tidak akan lahir dari tangan yang saling melemahkan. Ia lahir dari tangan-tangan yang saling menopang, dari kesadaran bahwa setiap batu yang diletakkan adalah doa bagi masa depan bangsa.
Di sinilah makna gotong royong menemukan bentuk paling luhur, melalui kerja sama yang menyatukan iman, ilmu, dan cita-cita untuk membangun Indonesia dari pesantren. Negara hadir untuk menguatkan ikhtiar insan pesantren yang ikut membangun negeri ini.