TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Jalan Ariloka di kawasan Krobokan, Semarang Barat, berubah wajah setiap Rabu malam.
Begitu azan magrib usai, jalan yang biasanya lengang itu tiba-tiba menjelma menjadi lorong penuh cahaya, suara, dan aroma.
Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru.
Semuanya menuju Pasar Rabu, begitu pasar tiban atau pasar rakyat di Ariloka biasa disebut.
Pasar Rabu merupakan salah satu pasar tiban di Kota Semarang.
Di sejumlah tempat, nyaris di 16 kecamatan se-Kota Semarang, tumbuh pasar-pasar tiban, kadang disebut juga pasar krempyeng.
Sebutan pasar krempyeng berasal dari istilah bahasa Jawa “sakkrempyengan”, yang artinya “dibuka sebentar, kemudian bubar”.
Selain Pasar Rabu di Krobokan, ada pula Pasar Tiban Selasa Sore (PTSS) di Jalan Menoreh 1, Kelurahan Sampangan, Kecamatan Gajahmungkur; Pasar Senin sore di Jalan Klipang Raya, Kelurahan Sendangmulyo, Kecamatan Tembalang; atau pasar-pasar tiban lainnya pada hari yang berbeda.
Dari sekian banyak pasar tiban itu, Pasar Rabu di Jalan Ariloka, merupakan salah satu yang boleh dibilang paling berdenyut.
Saban Rabu sore, Pasar Rabu menjadi jujukan, bukan hanya warga Krobokan, melainkan warga-warga lain di sekitarnya.
Di Pasar Rabu, para pedagang yang berasal dari pelbagai wilayah mengais cuan.
Di kiri kanan jalan, ratusan pedagang menata dagangan mereka.
Ada yang menjual makanan mentah seperti ikan lele yang sudah dimarinasi, siap digoreng kapan saja.
Tak jauh dari sana, deretan penjual gendar pecel, lupis, dan cenil warna-warni menggoda pengunjung dengan wangi daun pisang dan bumbu kacang hangat.
Namun, Pasar Rabu tak berhenti pada rasa tradisional.
Di antara aroma minyak goreng dan sambal kacang, muncul pula gerobak berlampu LED yang menjajakan dessert kekinian, sushi, kebab, minuman boba dan masih banyak lagi.
Warna pastel dari kemasan dan musik dari speaker kecil membuat suasananya seperti perpaduan antara nostalgia dan tren masa kini.
Benar saja, Pasar Rabu adalah campuran padat antara kuliner, fashion, dan hiburan, bahkan ada panggung musik tersendiri yang dinamai MPR (Musik Pasar Rabu).
Beragam baju, celana, aksesoris, hingga mainan anak-anak tersusun dalam jarak yang nyaris tanpa jeda.
Malam semakin dalam, tapi tawa anak-anak justru makin nyaring.
Di ujung jalan, odong-odong berhias lampu warna-warni seperti kereta, mengantar penumpangnya berkeliling arena pasar.
Musik dangdut remix berpadu dengan suara pedagang memanggil pembeli.
Ramai dan menyenangkan
Bagi warga Semarang Barat, Pasar Rabu Krobokan bukan sekadar tempat belanja.
Dia adalah ruang pertemuan, tempat berbaurnya tradisi dan gaya hidup modern, tempat setiap orang bisa menemukan versi kecil dari kebahagiaan malam hari.
Di antara arus manusia yang berdesakan, Arif Mulianto (34) tampak menggandeng tangan istrinya, Novianti (30) bersama satu anaknya.
Mereka melangkah pelan, menikmati udara malam dan hiruk pikuk Pasar Rabu Krobokan yang baru saja menggeliat selepas magrib.
“Kalau Rabu malam, kami sengaja ke sini. Makanannya banyak, suasananya ramai tapi menyenangkan,” kata Arif saat antre di depan kios penjual sushi, beberapa waktu lalu.
Arif dan Novi juga sempat membeli beberapa setel baju untuk anaknya.
Kehadiran pasar Rabu menurutnya bisa menjadikan hiburan tersendiri baginya.
Setelah penat bekerja seharian, selepas magrib bisa membahagiakan anak dan istri untuk sekedar berjalan-jalan saja atau membeli sesuatu.
“Kadang cuman jalan-jalan aja sambil lihat-lihat, biar nggak suntuk di rumah. Ya ada suasana baru gitu,” ujarnya
Tambahan rezeki
Di sisi lain, bagi pedagang, Pasar Rabu menjadi ladang untuk mencari tambahan rezeki.
Lukman (37), pedagang asal Semarang Barat, misalnya, sibuk menata arena kecil berlapis reklame putih di sisi Pasar Rabu Krobokan.
Di sana, belasan mobil remote control berjejer rapi, menunggu disentuh tangan-tangan mungil yang penasaran memutarnya.
Lapak milik Lukman hampir tak pernah sepi dari pengunjung, anak-anak penasaran untuk mencoba bermain mobil remot, sembari ditemani orang tuanya.
“Kalau di hari Rabu itu biasa buka sehabis magrib sampai jam sembilan malam. Tapi kalau di pasar Minggu, dari jam tujuh pagi sampai jam sebelas,” katanya.
Lukman sehari-hari bekerja sebagai sekuriti.
Pada waktu luangnya sesuai pulang dari tugas, ia menjelma jadi perakit sekaligus penyedia wahana kecil yang membuat anak-anak tertawa.
Ia menyebut bisnis kecilnya itu rental mobil remote control anak-anak, yang kini menjadi salah satu daya tarik unik di Pasar Rabu Krobokan.
“Sebenarnya idenya sederhana. Saya sering ke pasar malam sama anak. Lah, anak saya cewek tapi suka main mobil remot. Terus kepikiran, kenapa nggak bikin sendiri aja?” kataya.
Lukman bukan cuma asal coba.
Latar belakangnya di SMK jurusan listrik membuatnya cukup paham seluk-beluk elektronika.
Dari situlah muncul kreasi merakit, memodifikasi, dan menyiasati agar mobil mainannya lebih awet dibanding versi toko online.
Bahkan dia mencoba membuat remotenya sendiri bersama temannya, diberi timer per 10 menit untuk sekali main dengan harga Rp 5.000.
“Kalau beli yang online, sebulan udah rusak. Ini saya ubah, chip-nya ganti, biar lebih kuat,” katanya.
“Remote-nya ini beda, kalau beli satu set sama mobil itu remotenya modelnya yang bundar, ga ada timernya. Teman saya yang bantu bikin, saya bagian rakitnya,” ujarnya.
Harga tiap unit mobil hasil modifikasinya berkisar Rp 550 ribu, itu sudah termasuk remotenya.
Lukman ada dua jenis mobil, yakni mobil balap dan mobil jeep.
Kini, Lukman memiliki sekitar 20 mobil remote control, sesekali dia berkeliling di beberapa pasar tiban lainnya.
“Selasa di Menoreh, Rabu di sini (Krobokan), Kamis libur, Jumat di Poncol, ya untuk tambahan,” kata ayah dua anak tersebut.
Selain Lukman, Elis penjual minuman di Pasar Rabu merasa pada hari Rabu menjadi berkah tersendiri buatnya.
Ibu rumah tangga itu hanya berjualan minuman saset, pada saat Rabu malam.
Setiap berjualan dia bisa mengantongi sedikitnya Rp 200 ribu.
”Lumayan untuk tambahan, kalau sehari-hari ya ibu rumah tangga aja. Buat tambahan pemasukan rumah,” tuturnya.(Rezanda Akbar D)