TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN - Di Kelurahan Karangjati, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang kini terdapat 11 perajin batik ecoprint.
Mereka tersebar di sembilan RW dan dua RT di Karangjati.
Di tengah riuh obrolan dan suara musik acara Fashion Show dan Pameran Batik Ecoprint di Balai Kelurahan Karangjati, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Minggu (19/10/2025) siang, tangan Novita (38) tampak sibuk di balik meja stan kecil dia.
Di atas meja itu, dedaunan segar berjajar rapi, mulai daun jambu biji, daun paprika, daun lanang, hingga daun jarak kepyah ijo.
Daun-daun itu masih segar, baru saja dipetik dari kebun.
Novita mengambil selembar kain putih yang agak basah, meletakkannya di atas plastik, lalu menata daun-daun itu satu per satu dengan teliti.
Setelahnya, dia mengambil palu kayu dan mulai memukul perlahan di atas kain.
Setiap ketukan menghasilkan bunyi ritmis.
Beberapa pukulan kemudian, tampak gurat dan warna alami dari daun mulai berpindah ke kain, membentuk motif lembut yang khas.
Motif itulah yang nantinya akan dijadikan produk UMKM dia, yakni batik ecoprint.
Hasil karya ecoprint meliputi pakaian, syal, tas, dan dompet, semuanya dibuat dari kain yang prosesnya memanfaatkan dedaunan dan pewarna alami.
“Prosesnya menyalin warna dan bentuk alami dari daun langsung ke kain. Selama proses menyalin, kain dan daun tidak boleh bergeser,” kata warga Lingkungan Rowosari, Kelurahan Karangjati, tersebut kepada Tribun Jateng.
Novita tak menyangka perjalanan tangannya memukul daun bisa membawanya ke acara tersebut.
Dia mengaku baru setahun terakhir menekuni dunia batik ecoprint, dan baru dua bulan terakhir berani memproduksi untuk dijual.
“Sebelumnya saya hanya anggota PKK biasa dan ikut pelatihan ecoprint ini. Lalu saya juga lihat di internet, kok bagus dan bisa menghasilkan, jadi coba latihan sendiri dulu,” ungkap dia.
Kini, Novita sudah punya merek sendiri bernama Daunara, berlokasi di rumahnya.
Dia mengerjakannya dengan proses panjang, meliputi membasahi kain, menempelinya dengan daun, menutup kain blanket, membungkus dan menggulung kain itu selama dua jam, lalu mengeringkannya selama tujuh hari tanpa sinar matahari atau hanya diangin-anginkan.
“Pewarnanya juga alami, dari kulit mahoni, daun ketapang, dan kayu tingi. Hasilnya kadang tidak sama, tapi justru itu yang membuat setiap kain unik,” jelas dia.
11 perajin
Kecintaan Novita pada ecoprint ternyata bukan cerita tunggal.
Ketua PKK Kelurahan Karangjati, Sutanti, menjadi sosok yang kali pertama memantik semangat tersebut.
“Awalnya saya sendiri yang coba bikin ecoprint, kemudian dari Dinas Perekonomian datang, minta dibuatkan sentra,” kata Sutanti.
“Saya bilang belum bisa, tapi saya coba kumpulkan warga dan adakan pelatihan,” sambungnya.
Hasilnya di luar dugaan. Kini, terdapat 11 perajin batik ecoprint yang tersebar di sembilan RW dan dua RT di Karangjati.
“Mereka sudah mulai jual lewat pameran dan juga online, seperti Tiktok,” imbuh dia.
Sejak Juli 2025, geliat batik ecoprint Karangjati semakin terasa.
Dengan produk yang mulai dimunculkan, sejumlah pameran akan terus dijadikan sebagai sarana pemasaran, termasuk kegiatan fashion show tersebut.
Dalam pameran itu, para anggota PKK tampil anggun dalam fashion show mengenakan karya mereka sendiri.
Inovasi kecil dari Karangjati itu juga sampai ke telinga wakil rakyat.
Anggota Komisi E DPRD Jawa Tengah, Bagus Suryokusumo, turut hadir mengenakan pakaian batik ecoprint.
“Potensi UMKM di Kabupaten Semarang ini luar biasa. Ecoprint ini bisa jadi kebanggaan daerah, tapi yang perlu dipikirkan adalah pemasarannya,” kata Bagus.
Dia menambahkan, satu di antara tantangan terbesar adalah biaya produksi yang masih tinggi dan keterbatasan alat.
“Kami sedang berdiskusi dengan DPRD Kabupaten bagaimana agar produksi bisa lebih efisien,” ujar Bagus.
“Saya ingin ecoprint dari sini bisa menembus nasional, bahkan internasional,” tandasnya.
Dia berencana menampilkan karya batik ecoprint Karangjati dalam fashion show antar-SMA se-Kabupaten Semarang dan Salatiga, pada 21 Desember mendatang. (Reza Gustav)