Kereta Cepat: Telaah Kritis Jebakan Utang dan Kegagalan Manajemen
Sapraji October 20, 2025 09:21 PM
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh, yang sangat dinantikan sebagai lompatan besar dalam infrastruktur transportasi nasional, saat ini menghadapi masalah serius yang tidak hanya berkutat pada teknis konstruksi, tapi juga krisis keuangan dan manajerial. Pengakuan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan bahwa kondisi keuangan proyek ini “sudah busuk sejak awal” membuka tabir problematika besar yang harus disikapi secara kritis oleh pemerintah dan masyarakat.
Masalah utama yang mencuat adalah beban utang yang membengkak hingga mencapai sekitar Rp 6,9 triliun yang harus ditanggung PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) kepada China Development Bank, selain biaya overrun proyek sekitar USD 1,2 miliar atau hampir Rp 20 triliun. Total nilai proyek yang membengkak kini mencapai sekitar USD 7,27 miliar atau Rp 120 triliun. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak awal, perencanaan dan pengelolaan keuangan proyek ini sudah bermasalah serius, sehingga menjebak proyek ke dalam pusaran utang besar yang kini menjadi beban berat negara dan BUMN terkait.
Salah satu indikasi kegagalan manajemen adalah kurangnya transparansi dan perencanaan keuangan yang matang, sementara renegosiasi dan restrukturisasi utang terus berlangsung tanpa ada solusi final yang konkret. Pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) saat ini tengah mengkaji berbagai opsi restrukturisasi secara komprehensif, meninjau bukan hanya aspek keuangan, tapi juga keberlanjutan dan manfaat proyek bagi masyarakat luas. Namun proses ini terlihat lambat dan penuh ketidakpastian, sementara beban keuangan atas utang terus menekan PT KAI, yang dalam enam bulan terakhir menanggung beban hingga triliunan rupiah.
Penolakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menggunakan APBN sebagai penopang utang proyek menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah tidak ingin beban pembiayaan ini membebani keuangan negara secara langsung. Ini menuntut solusi inovatif semisal restrukturisasi pembiayaan dan pembentukan tim khusus yang kini tinggal menunggu Keputusan Presiden (Keppres) untuk negoisasi langsung dengan pihak China.
Kereta cepat Whoosh melintas di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (31/7/2025). Foto: Abdan Syakura/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Kereta cepat Whoosh melintas di Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (31/7/2025). Foto: Abdan Syakura/ANTARA FOTO
Di sinilah tantangan besar terdapat: Apakah ini benar jebakan utang yang akibatnya menjerat proyek karena aspek pembiayaan global dan kebijakan pemerintah terdahulu, ataukah sebuah kegagalan manajemen internal yang berujung pada pembengkakan biaya dan pengelolaan utang yang tidak sehat? Jawaban dari pertanyaan ini penting untuk menentukan arah kebijakan restrukturisasi, pengelolaan aset, serta akuntabilitas publik demi keberlangsungan proyek dan pemanfaatannya bagi rakyat.
Sebagai perbandingan, proyek LRT Jabodebek juga sempat bermasalah namun dapat diperbaiki dengan restrukturisasi, menandakan bahwa dengan perencanaan yang tepat dan kolaborasi antarlembaga, permasalahan bisa diatasi. Oleh sebab itu, pembentukan tim khusus dan evaluasi menyeluruh dari Danantara harus dilakukan transparan dan profesional untuk menggali akar persoalan keuangan Whoosh sekaligus merancang langkah penyelesaian yang berkelanjutan.
Poin kritis lain yang tidak boleh diabaikan adalah pentingnya transparansi dan komunikasi efektif kepada publik agar tidak muncul spekulasi negatif atau ketidakpercayaan terhadap proyek strategis ini. Tuduhan mengganti utang dengan aset negara di Laut China Selatan misalnya, harus diluruskan dengan data yang jelas dan komunikasi yang terbuka mengingat proyek ini bukan hanya soal bisnis, tapi juga simbol kedaulatan dan kemajuan bangsa.
Secara umum, proyek KCJB harus menjadi pelajaran berharga bahwa pembangunan infrastruktur besar tidak boleh hanya fokus pada aspek fisik dan politik, namun harus dibarengi kemampuan manajemen keuangan yang sehat, transparan, serta perencanaan strategis jangka panjang yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Jika tidak, risiko utang dan kegagalan manajemen akan terus menghantui setiap proyek besar yang digagas pemerintah.
Kesimpulannya, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung saat ini tengah menghadapi ujian berat antara jebakan utang dan kegagalan manajemen. Penanganan yang tepat, profesional, dan transparan mutlak diperlukan agar proyek ini tidak hanya berhenti di masalah finansial, tapi dapat benar-benar memberi manfaat besar bagi masyarakat dan mendorong transformasi transportasi nasional maju ke depan.
Pegawai berjalan di halaman Wisma Danantara Indonesia, Jakarta, Senin (8/9/2025). Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pegawai berjalan di halaman Wisma Danantara Indonesia, Jakarta, Senin (8/9/2025). Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO
Rekomendasi untuk pemerintah dan BPI Danantara adalah:
  • Segera keluarkan Keppres pembentukan tim restrukturisasi yang kredibel dan independen.
  • Lakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur pembiayaan dan mekanisme pengelolaan utang.
  • Tingkatkan transparansi kepada publik agar kepercayaan tetap terjaga.
  • Tidak bergantung pada APBN, namun cari solusi diversifikasi pembiayaan dan kerjasama bilateral yang fair dengan pihak China.
  • Gunakan pengalaman restrukturisasi sukses proyek LRT sebagai referensi kuat dalam penyelesaian masalah ini.
Dengan pendekatan kritis dan profesional, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung masih memiliki peluang untuk bangkit dari krisis dan menjadi kebanggaan negara, bukan beban yang memperberat keuangan publik dan BUMN.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.