Apa Itu Fenomena “Konglomology” di Pasar Saham Indonesia?
Agnesya Maharani October 20, 2025 09:21 PM
Fenomena konglomology menjadi salah satu topik yang cukup sering dibicarakan oleh pelaku pasar modal, terutama di kalangan investor ritel. Istilah ini berasal dari ruang diskusi komunitas pasar yang berupaya memahami keterkaitan pergerakan saham dalam satu kelompok usaha besar atau konglomerat. Dalam praktiknya, konglomology merujuk pada cara membaca pola pergerakan saham berdasarkan hubungan kepemilikan, sentimen, dan arus dana yang melibatkan beberapa perusahaan dalam satu grup yang sama. Fenomena ini ramai di linimasa X/Threads dan forum saham seperti Stockbit, dari unggahan yang meminta “strategi konglomology” sampai komentar yang menyebut 2025 “tahunnya konglomologi”.

Apa itu “Konglomology”

Konglomology merupakan istilah nonformal di kalangan pelaku pasar modal yang merujuk pada cara membaca dan menganalisis pergerakan saham dalam satu kelompok usaha atau konglomerat. Pendekatan ini berfokus pada hubungan antara perusahaan induk, anak perusahaan, dan afiliasi untuk melihat pola pergerakan harga, arus dana, serta sentimen pasar yang terjadi secara bersamaan di dalam grup tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui apakah perubahan harga saham pada satu entitas memiliki pengaruh terhadap entitas lain yang masih berada dalam jaringan kepemilikan yang sama. Pendekatan ini muncul karena struktur pasar modal Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha besar yang memiliki banyak anak perusahaan di berbagai sektor sehingga pergerakan satu entitas seringkali menimbulkan efek berantai terhadap entitas lainnya.
Dalam konteks ini, investor biasanya membuat pemetaan yang mencakup identifikasi struktur kepemilikan, keterkaitan bisnis, serta aktivitas korporasi seperti akuisisi, merger, atau restrukturisasi. Melalui pemetaan tersebut, mereka berusaha memahami dinamika pergerakan saham antaranggota dalam satu kelompok usaha. Untuk memetakan keluarga emiten, biasanya investor ritel merujuk daftar grup besar yang sering dibahas broker atau media pasar, misalnya "sembilan naga" atau peta emiten milik Prajogo Pangestu seperti BRPT, TPIA, CUAN, dan seterusnya, sebagai pijakan awal sebelum menilai perusahaan lainnya.

Mengapa Istilahnya Ramai

Warga mengakses data saham menggunakan gawai di Jakarta, Selasa (11/2/2025). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengakses data saham menggunakan gawai di Jakarta, Selasa (11/2/2025). Foto: Asprilla Dwi Adha/ANTARA FOTO
Popularitas istilah konglomology meningkat seiring dengan meningkatnya arus modal asing pada saham-saham konglomerat besar. Misalnya, pada Oktober 2025, media pasar mencatat adanya pembelian bersih asing yang signifikan pada saham-saham seperti CDIA, WIFI, CUAN, dan BRPT. Pada hari yang sama, saham-saham perbankan besar seperti BBCA dan BBRI justru mengalami tekanan jual. Perbedaan pola tersebut menunjukkan adanya rotasi modal antar kelompok saham, yang kemudian memunculkan pembahasan tentang pola pergerakan berdasarkan grup konglomerat.
Selain faktor aliran modal, meningkatnya aktivitas korporasi juga berkontribusi terhadap munculnya minat terhadap konglomology. Berbagai akuisisi dan ekspansi yang dilakukan oleh grup besar seperti Djarum, Astra, dan TPIA menciptakan persepsi bahwa pemahaman terhadap jaringan konglomerat dapat membantu investor membaca arah pasar dengan lebih cepat.

Praktik "Konglomology" di Lapangan

Secara umum, praktik konglomology dilakukan dengan langkah-langkah sistematis. Pertama, investor memetakan struktur grup perusahaan, termasuk induk, anak, dan afiliasinya. Kedua, mereka mengidentifikasi katalis yang berpotensi memengaruhi pergerakan saham, seperti rencana ekspansi, aksi korporasi, atau perubahan kepemilikan. Ketiga, investor memantau data transaksi untuk melihat arus modal asing dan perubahan volume perdagangan. Terakhir, mereka melakukan konfirmasi silang untuk memastikan bahwa pergerakan harga tidak bersifat acak, melainkan memiliki keterkaitan antaranggota grup.
Pendekatan ini sering dipadukan dengan metode lain seperti bandarmology, yaitu analisis yang berfokus pada jejak aktivitas pelaku besar di pasar. Bedanya, konglomology menitikberatkan pada keterkaitan lintas emiten dalam satu kelompok, bukan pada pergerakan satu saham tunggal.

Kelebihan yang Dicari Investor

Kelebihan utama dari konglomology adalah kemampuannya membantu investor memahami keterhubungan antarsaham dalam skala makro. Karena perusahaan konglomerat umumnya memiliki banyak lini usaha, pendekatan ini dapat memberikan gambaran mengenai arah pasar secara lebih menyeluruh. Saham konglomerat juga memiliki tingkat likuiditas yang lebih tinggi dan cenderung lebih stabil karena adanya diversifikasi internal antarunit usaha.
Selain itu, pemahaman terhadap grup konglomerat juga dapat membantu investor menangkap sinyal rotasi sektor. Misalnya, ketika suatu konglomerat memperluas investasi ke sektor energi atau teknologi, hal tersebut dapat menjadi indikator awal bagi pergeseran minat pasar ke sektor tersebut.

Risiko yang Sering Terlewat

Meskipun menarik, pendekatan konglomology memiliki sejumlah keterbatasan. Kompleksitas struktur kepemilikan konglomerat sering kali menyulitkan investor untuk menilai kondisi keuangan secara menyeluruh. Adanya transaksi antarperusahaan dalam satu grup juga dapat menimbulkan distorsi pada laporan keuangan. Selain itu, euforia terhadap nama besar dapat menyebabkan valuasi saham meningkat melebihi nilai wajarnya. Ketika ekspektasi pasar tidak terpenuhi, harga saham dapat mengalami koreksi yang tajam.
Faktor eksternal seperti kebijakan moneter global juga memiliki pengaruh yang signifikan. Perubahan suku bunga di Amerika Serikat, pergeseran sentimen risiko, atau penguatan dolar dapat mendorong aliran modal keluar dari pasar Indonesia, termasuk dari saham konglomerat besar yang sebelumnya menjadi incaran investor asing.

Contoh Kasus di Pasar

Periode 6–10 Oktober 2025 menjadi contoh fenomena ini. Laporan pasar menyorot pembelian bersih asing pada CUAN, CDIA, WIFI, dan BRPT. Pada tanggal 10 Oktober, pembelian bersih harian berada di kisaran Rp1,18 triliun dan dua nama teratas adalah CDIA serta WIFI, masing masing di atas Rp300 miliar. Pada saat yang sama, kelompok perbankan besar masih ditekan oleh penjualan bersih. Pada akhir pekan tersebut, nilai pembelian bersih asing mencapai lebih dari Rp1 triliun dan membantu menopang kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG). Fenomena ini memperlihatkan bahwa pergerakan beberapa saham dalam satu grup dapat saling menguatkan melalui persepsi pasar dan arus modal yang terkoordinasi.

Kesimpulan

Konglomology merupakan fenomena yang mencerminkan bagaimana komunitas pasar modal di Indonesia beradaptasi dengan struktur ekonomi yang didominasi oleh kelompok usaha besar. Pendekatan ini dapat menjadi alat bantu dalam memahami pola hubungan antarsaham dan pergerakan modal lintas sektor. Namun, penerapannya tetap harus disertai dengan analisis fundamental yang mendalam. Data keuangan, laporan arus kas, dan tata kelola perusahaan tetap menjadi dasar utama dalam pengambilan keputusan investasi. Konglomology dapat dijadikan sebagai alat bantu analitis, tetapi tidak seharusnya menggantikan prinsip analisis berbasis data dan risiko.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.