TRIBUNWOW.COM - Gubernur Akademi Kepolisian RI (Akpol) Irjen Pol Midi Siswoko SIK mengajak para Perwira Siswa (Pasis) Akpol untuk mengembalikan citra dan kepercayaan publik terhadap Kepolisian yang belakangan terus menurun dengan membangun integritas. Gubernur Akpol mengajak para Pasis bisa belajar dari Filsafat Kamera.
Sementara itu, dalam paparannya “Redefining dan Manajemen Media“, Konsultan Komunikasi Strategis AM Putut Prabantoro, menegaskan kepercayaan masyarakat terhadap Polri hanya datang bila Tri Brata dan Catur Prasetya dilaksanakan tanpa tawar menawar.
Ditekankan tentang Center of Gravity (pusat kekuatan) dan sekaligus sumber kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Dalam Tri Brata, center of gravity terdapat pada nomor 2 (dua) dan dalam Catur Prasetya terdapat pada nomor 3 (tiga).
Hal tersebut disampaikan keduanya dalam acara Penyamaan Persepsi Dewan Penguji dan Pembimbing Tugas Akhir Manuskrip Pasis Akpol 57/Batalyon Adhi Wiratama, di Auditorium Paramartha Akpol, Semarang, Senin (20/10/2025), yang dihadiri Wagub Akpol Brigjen Pol Muhammad Taslim Chairuddin, para dosen dari Universitas Diponegoro dan Universitas Negeri Semarang, para pengasuh, para pembimbing akademik, dan ratusan Pasis.
Turut pula memberikan pembekalan Kabid Pengsos Akpol Kombes Pol Hady Winarno SIK MM, Prof Dr Rodiyah Tangwun, Prof Dr Arief Yulianto SE MM, dan Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Dr Sandi Nugroho SIK SH Mhum (diwakili Brigjen Pol Drs H Saptono Erlangga Waskitoro, Penata Kehumasan Polri Utama Tingkat II Divhumas).
Dalam presentasinya yang bertajuk ”Manajemen Media dan Tugas Kepolisian: Filsafat Sebuah Kamera”, Irjen Pol Midi mengajak para Pasis membangun cara pandang seorang perwira terhadap dunia informasi, mengingat hari ini, realitas tidak lagi hanya terjadi di lapangan, tetapi juga di layar. Citra Polri tidak lagi dibentuk oleh kamera institusi, melainkan oleh jutaan kamera masyarakat.
Irjen Pol Midi menguraikan kamera adalah alat yang diciptakan untuk menangkap cahaya, tetapi di tangan manusia, ia menjadi alat untuk menangkap makna. Ia tidak pernah berbohong, tetapi bisa salah arah. Merekam apa yang tampak, namun sering kali lupa pada konteks di baliknya.
“Begitulah media. Ia merekam, menyorot, menilai. Kadang adil, kadang tidak. Tugas polisi memastikan dirinya tetap layak difoto dari sudut mana pun. Kamera hanya merekam cahaya. Kalau yang kita pancarkan adalah integritas, maka hasilnya akan tetap terang, meski direkam dari ruang yang gelap,” tandasnya. “Filsafat sebuah kamera mengajarkan kita bahwa gambar yang jernih lahir bukan karena alat yang hebat, tetapi karena sumber cahayanya murni,” imbuhnya.
Irjen Pol Midi Siswoko menyebutkan ada tiga unsur Filsafat Kamera dan Prinsip Manajemen Media Polri yang perlu dipahami. Yakni, Lensa yang mewakili Perspektif, Aperture yang berarti Transparansi dan Kecepatan, serta Fokus yang berkaitan dengan Integritas dan Konsistensi.
Media dan publik punya lensa, begitu pun polisi punya lensa sendiri. Masalah muncul karena polisi jarang berusaha memahami fokus orang lain. Maka, manajemen media dimulai dari kemampuan memahami perspektif. “Publik tidak melihat polisi sebagaimana polisi melihat dirinya, tetapi sebagaimana mereka mengalami polisi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, jagalah kejernihan lensa moral dan intelektual kita, agar masyarakat pun dapat melihat Polri sebagaimana mestinya,” ucapnya.
Aperture mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke sensor. Terlalu tertutup, gambar gelap, terlalu terbuka silau. “Begitu pula dengan komunikasi publik Polri. Kita harus tahu kapan membuka diri dan kapan menahan diri. Transparansi tidak berarti membuka semua hal, tetapi memberi cukup cahaya agar publik tetap percaya,” katanya.
Kecepatan informasi Polri, tandas Irjen Pol Midi, bukan semata persoalan teknologi, tetapi juga tingkat kepercayaan yang dimiliki publik terhadap sumbernya. Polri tidak harus berbicara paling cepat, tetapi harus berbicara paling bisa dipercaya.
Selanjutnya, kamera secanggih apa pun tidak berguna jika fokusnya kabur. Begitu pun ilmu, jabatan, dan teknologi seorang perwira tak berarti kalau fokus moralnya goyah. “Kita tidak bisa mengendalikan semua pemberitaan, tapi apa yang kita lakukan, dan itu akan selalu terekam. Kekuatan Polri bukan terletak pada kemampuan mengontrol media, tetapi pada kemampuan membangun makna yang dipercaya publik,” ucapnya.
Lebih dalam, Ijen Pol Midi mengatakan bahwa kamera tidak punya hati, tetapi operatornya. Dan, dalam dunia kepolisian, operator itu adalah nurani. “Kalau hati kita gelap, hasilnya suram. Kalau hati kita jernih, setiap tindakan akan tampak terang, bahkan tanpa kata,” tukasnya.
Irjen Pol Midi menegaskan filsafat kamera mengingatkan bahwa keindahan bukanlah hasil pencitraan, tetapi pantulan karakter. Hakikat manajemen media yang presisi adalah memahami human optics yaitu bagaimana kejujuran bisa memantulkan keindahan, dan bagaimana empati bisa menenangkan pandangan publik.
Menutup pembekalannya, Irjen Pol Midi Siswoko menekankan saat ini setiap orang adalah jurnalis, setiap ponsel adalah kamera, dan setiap tindakan polisi adalah berita. “Karena itu, jadilah perwira yang paham cara bekerja cahaya! Jangan bersembunyi dari kamera, tapi pastikan kamera mana pun menangkap karakter dan ketulusan kalian,” tegasnya.
Polri, tandasnya, harus fokus pada tugas, jujur dalam cahaya, dan konsisten membangun kepercayaan publik. “Dan pada akhirnya, seperti dalam setiap karya fotografi yang baik, yang membuat gambar indah bukan alatnya, melainkan mata dan hati yang memotret,” pungkas Irjen Pol Midi Siswoko.
Putut membuka paparannya dengan menggunakan kata-kata bijak tentang kebenaran yang diibaratkan seperti singa yang tidak perlu dibela. Kebenaran akan membela dirinya sendiri. Dalam konteks tersebut, kebenaran akan mewujudkan kepercayaan, kepercayaan akan menghasilkan citra dan berujung pada apresiasi masyarakat terhadap polisi. Dan itu semua, perlu dikomunikasikan.
Seragam, asesories, simbol kepolisian, perilaku aparat, wewenang & kekuasaan, kepastian & penegakan hukum, kinerja polisi serta komitmen dan slogan, menurut Putut, merupakan faktor penentu darimana kepercayaan itu berasal. “Namun hati-hati seragam, perilaku aparat dan lain-lainnya itu merupakan kekuatan tetapi sekaligus sumber masalah,” katanya.
Kebenaran yang menjadi center of gravity (pusat kekuatan) Polri terdapat dalam Tri Brata nomer 2 (dua), dan di dalam Catur Prasetya nomer 3 (tiga) perlu diketahui masyarakat. Yakni, “Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945“, dan ’Menjamin kepastian berdasarkan hukum“.
Melihat dinamika kepercayaan masyarakat terhadap Polri, menurut Putut Prabantoro, intitusi penegak hukum ini perlu melakukan Redefining dalam manajemen media mengingat pada saat ini komunikasi tidaklah mudah karena begitu banyak kanal yang digunakan. Selain itu, kesulitan komunikasi bertambah karena masing-masing kanal memiliki generasi sendiri dan memerlukan cara komunikasi, konten dan konteks yang berbeda dalam penyajiannya.
”Yang paling penting apapun bentuknya, sebuah media memerlukan reader, follower, subscriber. Sebaik apapun sebuah tulisan ataupun video jika tidak dibaca atau dilihat dan tidak memiliki dampak, tidak ada gunanya. Reader, follower dan subscriber adalah netizen cerdas yang mampu menghadirkan informasi sesuai kebutuhannya. Netizen ini yang menentukan bahwa sebuah informasi adalah sampah atau tidak berdasarkan persepsi, interpretasi dan perspektifnya,” ujarnya.
Dijelaskan lebih lanjut, seberapa banyak follower atau subscriber ditentukan oleh konten yang dibungkus dalam isu. Yang tidak boleh dilupakan, kehebatan & kekuatan konten, isu dan opini publik membutuhkan teknologi untuk men-delivery pesan kepada netizen.
Persepsi dan perspektif netizen dapat menjadikan komen sebuah konten terlepas dari konteks. Sehingga jangan heran jika sebuah komen terlepas dari konten dan konteks sebuah informasi. Pada akhirnya yang terjadi adalah, jempol ( komen netizen) lebih tajam daripada guillotine.
“Polri memiliki semuanya, SDM, jaringan, teknologi, hingga finansial. Itu semua modal untuk membuat konten sesuai konteks, dan terakhir dikomunikasikan lewat medsos yang ada seperti Youtube, Facebook, Instagram, TikTok, Podcast, dan sebagainya, semuanya untuk menciptakan tone positif Polri,” tutup Putut Prabantoro. (*)