Dari zaman kapal jung sampai era 'checkout online', kota ini hidup dari jual-beli, negosiasi, tawar-menawar, urusan barang dan selera
Jakarta (ANTARA) - Jakarta dari dulu emang kota dagang. Dari zaman kapal jung sampai era checkout online, kota ini hidup dari jual-beli, negosiasi, tawar-menawar, urusan barang dan selera. Demikian narasi yang menyambut pengunjung yang memasuki area pameran kearsipan "Lo Jual, Gue Beli" di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.
Kurator pameran Rifandi S Nugroho dan Teuku Reza mengajak pengunjung menyelami perdagangan dan konsumerisme yang menjadi benang merah sejarah Jakarta. "Lo Jual, Gue Beli" merupakan bahasa pasar, yang dipakai secara metaforik, untuk membicarakan narasi sejarah lima abad Jakarta sebagai kota dagang.
Berbeda dengan pameran arsip lainnya, para kurator dan tim keluar dari tradisi pameran akademik, sehingga narasi disampaikan dalam bahasa sehari-hari dan bisa dinikmati semua kalangan. Walau memang terkesan bahasa anak muda, tidak ada intensi sengaja menyasar kalangan tersebut.
Pilihan bahasa sehari-hari dipilih lantaran arsip sebenarnya terkesan tua, dan sejarah kadang terasa berat untuk semua orang. Karena itu, Rifandi dan Teuku memilih untuk menyampaikan cerita dengan metode yang sederhana, menggunakan istilah sehari-hari.
Pemilihan diksi ini menjadi satu sorotan menarik. Gubernur Jakarta Pramono Anung bahkan berkomentar bahwa judul pameran tersebut anak muda banget, Betawi banget, dan Jakarta banget.
Penjelajahan perjalanan Jakarta sebagai kota dagang terbagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan karakter transaksi dan pusat jual-beli, dimulai dari Kisah Perebutan Kota Bandar (1527-1900), yakni ketika pelabuhan Sunda Kelapa menjadi rebutan antara raja, saudagar, dan penjajah.
Kemudian, berlanjut pada Kolonialisme dan Konsumerisme (1900–1942) yakni masa ketika iklan, toko serba ada dan gaya hidup modern mulai mengubah wajah Batavia, diikuti Transaksi di Era Perang (1942–1949), saat semua serba langka namun orang-orang tetap berdagang meskipun di tengah ketakutan dan keterbatasan.
Era berikutnya, Belanja dan Pembentukan Bangsa (1950–1965) yang memotret nasionalisasi dagang hingga lahirnya Sarinah sebagai simbol kemandirian Indonesia. Lalu, Modernisasi Perbelanjaan dan Booming Mall (1970–1990-an) yang mengisahkan penataan ulang pasar di Jakarta serta kembali masuknya produk impor dengan semangat efisiensi dan gaya hidup baru.
Era terakhir yakni Transaksi dan Media Kita (2000-an ke atas) yakni perpindahan ruang belanja dari iklan neon atau media promosi menggunakan cahaya atau LED ke push notification atau pesan melalui aplikasi, dan dari uang tunai ke non-tunai.
Dokumen dan bukti material yang merekam pola perdagangan, jaringan distribusi, serta lokasi-lokasi komersial yang pernah menjadi pusat aktivitas ekonomi dihadirkan sebagai bukti visual.
Dokumen ini bentuknya beragam, bisa peta perdagangan, foto historis, atau kliping dari koran dan majalah yang menggambarkan karakter di masing-masing era perdagangan.
Kurator menyeleksi dokumen berdasarkan nilai bukti transaksi dan kemampuan dokumen untuk menjelaskan perubahan fungsi ruang komersial di Jakarta.
Ada sekitar 400-an arsip yang ditampilkan bersumber dari arsip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Provinsi DKI Jakarta, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Museum Sejarah Jakarta, dan sumber-sumber domain publik seperti arsip nasional Belanda, Rijksmuseum (museum di Amsterdam) dan Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde (KITLV).
Selain menampilkan koleksi arsip yang berkaitan, tiga seniman ikut andil mewarnai pameran, membongkar narasi dan cara presentasi arsip konvensional. Adi "Dhigelz" Setiawan, Anita Bonit, dan Haviz Maha mengolah ulang koleksi arsip yang ada dan melahirkan karya yang memunculkan narasi lain.
Salah satunya, tentang ketegangan kehidupan domestik dan heroisme nasionalisme dagang di awal kemerdekaan. Tujuannya, agar arsip hadir sebagai sumber imajinasi dan refleksi atas kehidupan hari ini.
Di antara beragam karya tersebut, "Semangat Berdikari" salah satunya. Melalui seni poster risograph, Anita Bonit merefleksikan semangat ekonomi pascakemerdekaan yang digelorakan oleh Presiden Soekarno, yakni membangun kemandirian nasional melalui cinta terhadap produk dalam negeri, keberdayaan rakyat kecil, dan posisi perempuan dalam ruang publik ekonomi.

Catatan arsip Jakarta
"Lo Jual, Gue Beli" merupakan satu-satunya pameran besar yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui dinas perpustakaan dan kearsipan (Dispusip) pada tahun 2025, dan merupakan bagian dari Festival Pustakarsa di TIM, Jakarta, sejak 14 Oktober hingga 22 Oktober 2025.
Melalui pameran ini, terselip harapan agar arsip bisa berperan sebagai sumber fakta tentang aktivitas ekonomi yang membentuk kehidupan kota. Karena melalui arsip, masyarakat dapat menyaksikan bagaimana Jakarta tumbuh, berdagang, beradaptasi, dan inovasi selama lima abad perjalanan, seperti kata Kepala Dispusip Provinsi DKI Jakarta Nasruddin Djoko Surjono.
Dengan menghadirkan arsip, ada harapan publik dan peneliti dapat melihat pola perubahan sosial-ekonomi Jakarta dan memanfaatkan wawasan itu untuk kajian serta kebijakan budaya.
Pameran arsip merupakan salah satu bentuk penyebarluasan akses terhadap arsip milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar dapat diketahui dan dimanfaatkan publik. Strategi ini dikatakan efektif untuk mengemas agar arsip lebih populer dan menarik bagi publik dan menciptakan kesempatan tatap muka langsung antara masyarakat dan layanan arsip Dispusip DKI Jakarta.
Bidang Pengelolaan Arsip dan Layanan, Dispusip DKI Jakarta saat ini mengelola sebanyak 17.788 arsip statis, ditambah 10.151 arsip dari era Gubernur Jakarta periode 1966–1977 Ali Sadikin yang masih dalam penetapan administratif.
Arsip-arsip yang disimpan dapat diakses melalui Jaringan Informasi Kearsipan Nasional (JIKN/ANRI), situs resmi (dispusip.jakarta.go.id), nomor WhatsApp (089508038572), serta dukungan petugas yang menanggapi permintaan dan pertanyaan melalui media sosial.

Hanya saja, eksposur melalui pameran belum sepenuhnya terkonversi menjadi peningkatan akses arsip yang terukur.
Selain Dispusip DKI, arsip-arsip terkait Jakarta juga tersimpan di lembaga-lembaga lainnya. Sayangnya, walau dari segi kuantitas Jakarta memiliki banyak arsip, namun tidak semuanya mudah diakses, seperti dialami kurator pameran Rifandi.
Karena itu, untuk pameran "Lo Jual, Gue Beli", dia dan tim masih membutuhkan akses sumber arsip Belanda untuk melengkapi narasi pameran.
Dari sini, muncul saran agar sebaiknya memang arsip publik bisa diakses banyak kalangan, sehingga cara pembacaan dan artikulasinya dapat beragam dan memperkaya referensi publik tentang sejarah Indonesia termasuk Jakarta.
Sebagai langkah awal memahami Jakarta melalui arsip, mari menyelami perjalanan Jakarta sebagai kota dagang sekaligus merayakan ingatan kolektif kota ini tanpa njelimet melalui pameran "Lo Jual, Gue Beli".