TRIBUNJATIM.COM - Tinggal di rumah yang tak layak, nasib sebuah keluarga di Kampung Cibeureum, Desa Balokang, Kecamatan/Kota Banjar, Jawa Barat, sangat memprihatinkan.
Keluarga yang terdiri dari 11 orang ini mengalami kesulitan hidup dan terpaksa menempati rumah kecil berdinding bilik berukuran 5x7 meter.
Saat hujan turun, atap rumah mereka bocor, dan air tak tertahan membasahi kamar mereka.
Anggota keluarga pun terpaksa berkumpul di ruang tengah yang dianggap cukup aman dari kebocoran.
"Mau ngungsi, ngungsi ke mana?," ujar kepala keluarga, Kar'an (63), saat ditemui di rumahnya, Rabu (22/10/2025) siang.
"Terpaksa diam di ruang tengah sembari menunggu hujan reda," tambahnya.
Keluarga ini terdiri dari pasangan Kar'an dan Tati (62), empat anak, serta cucu mereka.
Rumah yang mereka tempati bukan milik mereka sendiri.
"Rumah ini awalnya diisi Pak Ian, dia pindah lalu diisi saya. Saya sudah tiga tahun tinggal di sini," kata Kar'an.
Rumah yang dihuni oleh 11 orang ini hanya memiliki tiga kamar kecil, dapur, dan sumur yang airnya masih harus ditimba.
Pasangan tersebut tidak memiliki kompor dan terpaksa memasak menggunakan tungku.
"Masak dengan hawu (tungku)," tambah Kar'an.
Sebagai buruh tani, penghasilan Kar'an tidak menentu.
Dalam kondisi baik, ia bisa mendapatkan hingga Rp70 ribu per hari.
"Sehari-hari buburuh, (menerima pekerjaan dari) siapa aja yang nyuruh," ujarnya.
Kondisi ekonomi yang sulit membuat Tati seringkali tidak memiliki uang untuk membeli beras.
"Sering enggak punya beras, kami makan singkong direbus ditaburi garam, atau makan pisang," ungkap Tati.
Kar'an juga dipercaya untuk mengelola tanah, di mana ia menanam singkong dan pisang.
"Kalau sedang ada pisang, kami jual, uangnya dibelikan beras," jelas Tati.
Mengenai bantuan dari pemerintah, Tati mengaku pernah menerima bantuan berupa beras dan uang tunai, namun tidak rutin.
"Dapat bantuan PKH, kadang 3 hingga 4 bulan dapat beras dan uang," kata Tati.
Kondisi yang memprihatinkan tersebut kini mulai berubah setelah pengusaha koi, Hartono Soekwanto, memberikan bantuan untuk membangun rumah baru bagi Kar'an dan Tati.
Hartono menyerahkan langsung uang bantuan kepada Kar'an dan memimpin pembangunan rumah baru tersebut.
"Sedih kalau melihat rumah Pak Kar'an, enggak tega, sangat tidak layak," kata Hartono.
Dia menyalurkan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan untuk membantu membangun rumah Kar'an.
Hartono berharap bantuan ini dapat mengurangi beban keluarga tersebut.
Selain dari Hartono, Kar'an juga mendapatkan bantuan dari Baznas Kota Banjar.
Wakil Wali Kota Banjar, Supriana berharap, bantuan tersebut dapat mencukupi kebutuhan pembangunan rumah Kar'an.
"Yang penting Pak Kar'an punya tempat berteduh yang layak bagi keluarganya," kata Supriana.
Kondisi memprihatinkan juga dialami pasangan suami istri di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang harus bertahan hidup di sebuah gubuk reyot berukuran 3x5 meter yang nyaris rubuh, Jumat (10/10/2025).
Mereka adalah pasangan Saparuddin Daeng Rewa (40) dan Kasmawati Daeng Bollo (35), warga Dusun Sawagi, Desa Pattalassang, Kecamatan Pattalassang.
Mereka tinggal di gubuk reyot bersama tiga anak mereka.
Kondisi ekonomi mereka kian memprihatinkan karena profesi sebagai buruh tani makin tergeser oleh teknologi mesin pertanian.
"Dulu kalau musim tanam dan panen padi pekerjaan lancar, banyak yang panggil," kata Saparuddin Daeng Rewa saat ditemui Kompas.com, Jumat (10/10/2025).
"Tapi sekarang sudah kurang karena rata-rata yang punya sawah (tuan tanah) sudah pakai mesin tanam dan panen, jadi otomatis pekerjaan kami sebagai buruh tani perlahan hilang," lanjutnya.
Hasil pantauan Kompas.com, gubuk yang mereka huni sangat sederhana: beralas tanah, berdinding papan, dan tidak memiliki kamar layak.
Ruang tamu difungsikan sebagai tempat tidur bagi ketiga anaknya.
Sedangkan ruang tengah menjadi kamar utama bagi pasutri tersebut.
Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, dan tidak memiliki akses air bersih memadai.
Anak sulung mereka kini duduk di bangku kelas 1 SMP, dan harus berjalan kaki ke sekolah setiap hari.
Anak kedua terpaksa putus sekolah karena sakit-sakitan.
Sedangkan anak bungsu masih berusia empat tahun.
"Anaknya tiga orang laki-laki semua. Yang pertama kelas satu SMP," kata Kepala Dusun Sawagi, Saiful Daeng Bellaz.
"Kalau yang kedua putus sekolah karena sakit-sakitan, dan kalau yang bungsu masih berusia empat tahun," imbuhnya.
Menanggapi kondisi keluarga ini, aparat setempat dan perwakilan pemerintah telah memberikan bantuan sembako dan dukungan moral.
Namun, mereka menilai, solusi jangka panjang perlu dilakukan, terutama dalam bentuk pelatihan keterampilan kerja.
"Kami berharap instansi pemerintah yang terkait untuk memberikan pelatihan keterampilan khusus agar kelak bisa bekerja dan mencari nafkah yang layak untuk membantu kebutuhan rumah tangganya."
"Sebab bantuan seperti ini (sembako) paling untuk menutupi kebutuhan rumah tangga untuk beberapa hari ke depan," ujar AKBP Muhammad Aldy Sulaiman, saat menyerahkan santunan kepada keluarga ini, Jumat (10/10/2025).