Bandung (ANTARA) - Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat Aceng Malki menekankan pengawasan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) harusdiperketat.

Aceng mengungkapkan berdasarkan hasil kunjungan lapangan yang dilakukannya, menunjukkan masih lemahnya pengawasan terhadap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) serta kurangnya profesionalitas tenaga pengelola.

"Banyak SPPG yang tidak berkoordinasi dengan puskesmas atau pemerintah setempat. Akhirnya SPPG ada yang tidak diketahui oleh perangkat daerah di wilayahnya. Ini harus dievaluasi dari sisi pengawasan," kata Aceng di Bandung, Rabu.

Selain itu, kata Aceng, banyak tenaga dapur yang tidak memiliki kompetensi memasak dalam skala besar, sehingga berdampak pada kualitas makanan.

"Banyak juga ditemukan pelanggaran terhadap kebijakan penyediaan menu bergizi seperti ketiadaan susu dan buah-buahan di sejumlah sekolah penerima," ujarnya.

Aceng juga menyoroti dari 2.131 dapur penyedia MBG atau SPPG, hanya 17 yang memiliki Sertifikasi Laik Higiene Sanitasi (SLHS) yang menunjukkan lemahnya sistem seleksi.

"Kondisi ini menunjukkan lemahnya sistem seleksi dapur yang masih didominasi faktor koneksi," ucapnya.

Namun demikian, Aceng menyatakan tidak setuju usulan agar dana MBG disalurkan langsung kepada orang tua, karena akan lebih sulit untuk mengontrolnya.

"Penyaluran dana sebaiknya tetap terpusat agar pengelolaan gizi dan makanan tetap terkontrol," tuturnya.

Dengan cukup banyaknya hambatan dari SPPG, Aceng juga mengusulkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikelola mandiri oleh kantin-kantin yang ada di sekolah dan di pondok pesantren, hingga oleh ibu-ibu kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

Hal ini, kata dia, mengingat jumlah korban keracunan yang terkait Program MBG di Jabar, tercatat tertinggi dibandingkan provinsi lain.

Menurut dia, selain karena pihak sekolah atau satuan pendidikan lainnya lebih memahami karakter anak didiknya, pengelolaan MBG langsung di sekolah dinilai lebih terjamin keamanannya, kebersihannya, serta lebih efektif karena yang dikelola hanya untuk satu sekolah itu saja.

Aceng menilai, dengan dapur MBG yang skalanya dibuat lebih kecil dan dikelola langsung oleh sekolah atau lembaga pendidikan dengan pengawasan dinas kesehatan dan dinas pendidikan setempat, akan menjadi solusi efektif program ini.

"Kalau bisa, dapurnya tidak sampai ribuan porsi, cukup untuk 500-1.000 anak per dapur, misalnya di kantin sekolah atau kantin pesantren. Dengan begitu, pengawasannya lebih mudah dan masyarakat sekitar juga memang bisa lebih berdaya," ucapnya.

Diketahui, jumlah korban keracunan terkait MBG sejak awal tahun ini telah mencapai lebih dari 11.000 orang, menurut data Kementerian Kesehatan per 5 Oktober 2025.

Sementara menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) jumlah korban keracunan proyek MBG per 12 Oktober 2025 menembus 11.566 anak, dengan Jawa Barat sebanyak 4.125 anak.