Sidang Praperadilan Muzaffar, Bivitri Susanti: SPDP dan Prosedur Hukum Harus Ditaati
Malvyandie Haryadi October 22, 2025 08:33 PM
Ringkasan Berita:
  • Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menegaskan proses penyidikan tidak boleh dilakukan secara semena-mena.
  • Muzaffar Salim mengajukan sidang praperadilan untuk menggugat keabsahan penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya. 
  • Muzaffar Salim ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan terkait aksi demonstrasi yang berujung kericuhan pada akhir Agustus 2025.

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menegaskan proses penyidikan tidak boleh dilakukan secara semena-mena dan harus berlandaskan asas kehati-hatian. 

Hal itu ia sampaikan saat menjadi ahli dalam sidang praperadilan Muzaffar Salim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (22/10/2025).

Sidang praperadilan ini diajukan Muzaffar Salim untuk menggugat keabsahan penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya. 

Muzaffar Salim ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan terkait aksi demonstrasi yang berujung kericuhan pada akhir Agustus 2025.

Ia mengajukan praperadilan untuk membatalkan status tersangkanya karena dianggap tidak sah secara hukum.

Muzaffar Salim adalah staf dari Lokataru Foundation, sebuah lembaga advokasi hukum dan hak asasi manusia.

Ia ditangkap oleh penyidik Polda Metro Jaya pada 1 September 2025 di kantin belakang Polda saat mendampingi rekannya, Delpedro Marhaen, yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus serupa.

Melalui praperadilan, mereka menilai penetapan tersangka itu tidak sah karena penyidik belum memenuhi syarat dua alat bukti yang cukup serta tidak mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada pihak terlapor sesuai ketentuan hukum.

SPDP sendiri adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, yaitu surat resmi dari penyidik kepada penuntut umum, terlapor, dan pelapor yang menandai dimulainya proses penyidikan dalam perkara pidana.

Dalam keterangannya, Bivitri mengacu pada dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya menegaskan pentingnya SPDP disampaikan kepada terlapor dalam waktu tujuh hari.

"Saya dari aspek hukum tata negara memberikan keterangan tentang dua putusan MK yang terkait dengan praperadilan. Putusan itu menegaskan, proses penegakan hukum tidak boleh dilakukan semena-mena, tapi harus berdasarkan asas kehati-hatian," ujar Bivitri.

Bivitri menambahkan, polisi seharusnya patuh terhadap koridor hukum yang sudah dibangun oleh Mahkamah Konstitusi.

"Penyidikan itu harus dilakukan dalam konteks due process of law. Karena penegakan hukum, bagaimanapun, menyangkut hak asasi manusia seseorang yang dirampas atas nama hukum. Maka proses itu tidak boleh semena-mena," tegasnya.

Dosen STH Indonesia Jentera itu juga menanggapi pertanyaan dari pihak termohon soal asas kepentingan umum yang kerap dijadikan alasan pembenaran tindakan penyidik. 

Ia menilai asas itu tidak bisa dijadikan dasar untuk melanggar hak individu.

"Tadi ditanyakan soal asas kepentingan orang banyak lebih penting dari 1–2 orang. Saya jawab, tidak boleh. Karena kalau mau pakai alasan ada kondisi khusus, KUHAP sudah menyediakan mekanismenya, misalnya tertangkap tangan," ujarnya.

Menurut Bivitri, kondisi penangkapan terhadap Muzaffar tidak termasuk kategori tertangkap tangan, sehingga tindakan penyidik tetap harus mengikuti prosedur hukum.

Ia juga menyinggung diskresi penyidik yang hanya dapat dilakukan berdasarkan undang-undang, bukan dengan dalih melindungi kepentingan orang banyak semata.

"Yang saya pelajari, Muzaffar ini ditangkapnya tidak tertangkap tangan. Jadi seharusnya ada tahapan pemeriksaan calon tersangka lebih dulu. Masyarakat juga tidak dalam kondisi terancam (oleh Muzzafar) pada hari itu, jadi alasan diskresi tidak relevan," tutur Bivitri.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.