Duduk Perkara Anak Dwi Pekalongan Gagal Masuk Akpol, Uang Rp2,6 Miliar Raib Gegara "Kuota Kapolri"
deni setiawan October 22, 2025 09:30 PM

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dwi Purwanto, wiraswasta asal Kabupaten Pekalongan ini memiliki impian agar anaknya berinisial F menjadi perwira polisi. Namun semua itu harus berakhir dengan kehilangan uang miliaran rupiah.

Dwi menyebut menjadi korban dugaan penipuan oleh empat orang yang menjanjikan bisa meloloskan anaknya masuk Akademi Kepolisian (Akpol) melalui jalur khusus.

Dua dari pelaku disebut merupakan anggota aktif Polres Pekalongan.

Total kerugian Dwi mencapai Rp2,6 miliar. Uang sebanyak itu dia kumpulkan dari hasil tabungan atau meminjam saudara yang saat itu kebetulan menjual dua mobil mewah Rubicon dan Mini Cooper.

“Uang itu hasil kerja keras saya. Demi anak, saya percaya. Tapi ternyata saya ditipu,” kata Dwi Purwanto kepada Tribunjateng.com, Rabu (22/10/2025).

Kasus ini bermula pada 9 Desember 2024, ketika Dwi menerima pesan WhatsApp dari Aipda Fachrurohim, anggota Polsek Paninggaran, Polres Pekalongan. 

Dalam pesan itu, Fachrurohim menawarkan bantuan untuk memasukkan anak Dwi Purwanto ke Akpol melalui jalur khusus yang disebut-sebut sebagai “kuota Kapolri”.

“Katanya ini kuota khusus, tinggal bayar Rp3,5 miliar. Separuh dulu tanda jadi, sisanya setelah panpus (pantukhir pusat),” ujar Dwi.

Awalnya dia menolak, tapi bujukan terus berdatangan. 

Beberapa hari kemudian, Fachrurohim datang ke rumah Dwi bersama Bripka Alexander Undi Karisma, anggota Polsek Doro, Polres Pekalongan yang mengaku mantan anggota Densus adik leting Fachrurohim.

Keduanya meyakinkan Dwi bahwa mereka memiliki akses langsung ke seorang purnawirawan jenderal polisi bernama Babe, yang disebut-sebut bisa memastikan kelulusan taruna melalui jalur istimewa. 

Mereka juga menyebut ada figur bernama Agung yang dikatakan sebagai adik dari Kapolri, berperan mengatur kuota khusus tersebut.

“Katanya sebelumnya ada yang mau pakai kuotanya tapi ga jadi karena orangnya daftar tentara, jadinya ada satu kuota kosong,” tuturnya.

Untuk menunjukkan keseriusan, Dwi diminta menyerahkan uang muka Rp500 juta tunai pada 21 Desember 2024 di sebuah cafe, Semarang. 

Uang diserahkan langsung kepada Fachrurohim dan Alex.

Beberapa pekan kemudian, pada 8 Januari 2025, keduanya kembali meminta Rp1,5 miliar dengan alasan proses administrasi di Jakarta harus segera ditutup.

“Mereka mendesak. Katanya malam itu juga atau paling lambat besok pagi harus dibayar."

"Saya sampai pinjam ke saudara yang habis jual dua mobil,” ujar Dwi.

Uang Rp1,5 miliar itu diserahkan langsung kepada Alex di rumah Dwi Purwanto. 

Selang beberapa waktu, Dwi dipertemukan dengan dua sosok baru Agung dan Joko, yang diperkenalkan sebagai penghubung langsung ke Babe.

Menurut Dwi, Agung diperkenalkan sebagai adik dari Kapolri dan disebut sebagai pihak yang bisa “menyetujui” nama anaknya agar masuk daftar kuota khusus.

Sementara Joko disebut sebagai orang lapangan yang akan mengurus teknis di Jakarta dan Ancol.

Pertemuan Dwi dan Joko berlangsung di Kediri Jawa Timur.

“Katanya nanti anak saya akan diurus langsung sama Babe lewat Joko. Jadi semua tahapannya tinggal jalan,” tutur Dwi.

Saling Lempar Tanggung Jawab

Atas permintaan itu, Dwi melakukan empat kali transfer ke rekening atas nama Joko, dengan total Rp650 juta. 

Dia juga sempat mengizinkan anaknya berangkat ke Jakarta karena dijanjikan akan menjalani pelatihan dan karantina sebelum seleksi lanjutan.

“Anak saya benar dibawa ke Jakarta. Katanya untuk persiapan dan diperkenalkan ke Babe. Tapi setelah itu tidak ada perkembangan apa pun,” ujarnya.

Kenyataan pahit datang setelah hasil seleksi tahap pertama diumumkan anaknya gagal di pemeriksaan kesehatan (rikes).

Dwi pun mencoba menagih janji pengembalian uang, tapi para pelaku justru saling melempar tanggung jawab.

“Mereka janji mau mengembalikan, tapi sampai sekarang tidak ada kabar. Semuanya diam,” kata Dwi.

Merasa ditipu, Dwi Purwanto akhirnya melapor ke Polda Jateng pada Agustus 2025. 

Laporan itu mencantumkan empat nama Aipda Fachrurohim, Bripka Alexander Undi Karisma, Agung, dan Joko.

Menurut Dwi, penyidik sudah menaikkan status kasus dari penyelidikan ke penyidikan, dan dirinya sudah dimintai keterangan. 

“Saya serahkan semua bukti transfer, percakapan WhatsApp, dan kronologinya,” ujarnya.

Kasus ini menambah panjang daftar dugaan praktik jual-beli kursi di rekrutmen Akpol.

Padahal Polri secara tegas melarang segala bentuk pungutan, perantara, atau jalur khusus dalam seleksi penerimaan anggota.

Dwi kini hanya berharap uangnya bisa kembali dan para pelaku mendapat hukuman setimpal.

“Saya percaya karena sudah kenal Rohim sejak 2011,” katanya. (*)

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.