Berkaca dari Polemik KDM vs Purbaya, Ini Untung Rugi Pemda Simpan Uang di Bank
kumparanBISNIS October 24, 2025 08:40 AM
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) berpolemik imbas isu dana pemerintah daerah (pemda) disebut mengendap di perbankan.
Fenomena menumpuknya dana pemerintah daerah di perbankan bukanlah hal baru. Menurut pengamat perbankan Paul Sutaryono, langkah pemda menempatkan dana di bank, terutama di Bank Pembangunan Daerah (BPD), dianggap wajar karena alasan keamanan dan potensi pendapatan bunga.
“Tentu saja pemda lebih senang memarkir dana di bank di daerahnya yakni BPD. Karena aman dan dapat menghasilkan pendapatan dari bunga,” ujar Paul kepada kumparan, Kamis (23/10).
Kendati begitu, ia mengingatkan kebiasaan tersebut berdampak pada lambatnya penyerapan APBD. “Tengok saja, penyerapan APBN 2025 baru sekitar 60 persen padahal tidak sampai 3 bulan lagi anggaran harus ditunaikan,” ungkapnya.
Menurut Paul, dampak paling terasa adalah melemahnya daya dorong belanja pemerintah terhadap ekonomi daerah. “Potensi risikonya, belanja anggaran (government spending) kurang mampu menggairahkan ekonomi di daerahnya,” katanya.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy menilai penyebab utama meningkatnya simpanan Pemda di bank adalah keterlambatan eksekusi anggaran.
“Salah satu penyebab klasiknya adalah keterlambatan eksekusi belanja daerah. Banyak Pemda yang belum bisa segera menyalurkan anggaran karena mereka terlambat menerima petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari pemerintah pusat,” jelas Yusuf.
Ia menambahkan, tahun politik seperti 2025 turut memperlambat realisasi anggaran. “Dalam masa transisi ini, banyak organisasi perangkat daerah yang memilih menunda dulu eksekusi belanjanya sambil menunggu arahan dan kebijakan dari kepala daerah yang baru dilantik,” katanya.
Menurutnya, dana yang mengendap jelas berdampak pada perekonomian. “Selama dana tersebut belum dibelanjakan, efek pengganda atau multiplier effect dari belanja pemerintah tidak berjalan optimal,” ujar Yusuf.
Namun, ia mengingatkan agar publik tidak gegabah menilai setiap kenaikan simpanan sebagai tanda lemahnya belanja. “Dalam beberapa kasus, saldo kas daerah meningkat karena penerimaan daerah juga naik,” katanya.
Yusuf menutup dengan pesan agar percepatan realisasi belanja daerah menjadi prioritas. “Ketika dana yang sudah tersedia bisa segera disalurkan ke program-program produktif, dampaknya akan langsung terasa pada kegiatan ekonomi di daerah, mulai dari konsumsi masyarakat hingga investasi lokal,” ujarnya.
Isu ini bermula dari paparan pemerintah pusat yang menyebut Jawa Barat memiliki dana mengendap sebesar Rp 4,1 triliun. Namun, Dedi Mulyadi membantah dan menyebut berdasarkan data kas harian di Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD), jumlah sebenarnya hanya Rp 2,6 triliun.
“Ya hasilnya, kalau kita melihat data memang per hari ini, per tanggal 17 Oktober, dana di kas Provinsi Jabar memang Rp 2,6 triliun bukan Rp 4,1 triliun,” ujar Dedi usai mendatangi kantor Bank Indonesia (BI), Rabu (22/10).
Dedi menjelaskan bahwa perbedaan angka itu terjadi karena BI memegang data pelaporan keuangan per 30 September 2025. Dalam data itu, dana kas daerah Jabar dalam bentuk giro tercatat sebesar Rp 3,8 triliun, sementara sisanya merupakan dana BLUD (Badan Layanan Umum Daerah).
“Sisanya itu adalah dana BLUD yang tersimpan dalam bentuk deposito di BLUD masing-masing di luar kas daerah karena mereka melakukan pengelolaannya sendiri seperti rumah sakit, kemudian dinas kesehatan ada lembaga-lembaga yang melakukan pengelolaan layanan kesehatan,” jelasnya.
Dedi menegaskan bahwa BI tidak memiliki data keuangan harian seperti yang dimiliki pemerintah daerah. “BI itu hanya mengambil data-data dari bank kemudian dicatatkan dan dilaporkan setiap akhir bulan. Itu persoalannya,” ujarnya.
Ia menambahkan, evaluasi akhir soal kemampuan belanja daerah seharusnya dilakukan di penghujung tahun. “Di tanggal 31 Desember, pemerintah Provinsi Jabar berhasil membelanjakan uang berapa? Andai kata ada sisa, sisanya harus wajar,” katanya.
Pernyataan Dedi tersebut merupakan tanggapan atas pernyataan Menkeu Purbaya yang menegaskan bahwa data dana Pemda bukan berasal dari Kementerian Keuangan, melainkan dari laporan Bank Indonesia.
“Tanya aja ke Bank Sentral. Itu kan data dari sana. Harusnya dia cari, kemungkinan besar anak buahnya itu ngibulin dia,” kata Purbaya.
Bank Indonesia kemudian menegaskan bahwa data simpanan Pemda diperoleh dari laporan resmi seluruh kantor bank yang disampaikan setiap bulan. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengatakan,
“Bank Indonesia memperoleh data posisi simpanan perbankan dari laporan bulanan yang disampaikan oleh seluruh kantor bank,” kata Denny.
Ramdan menjelaskan bahwa BI melakukan proses verifikasi sebelum data tersebut dipublikasikan dalam Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI). Berdasarkan data per 30 September 2025, jumlah simpanan Pemda di bank mencapai Rp 233,97 triliun, terdiri atas giro Rp 178,14 triliun, deposito Rp 48,40 triliun, dan tabungan Rp 7,43 triliun.