Diskors Komite Olimpiade karena Tolak Israel pada Asian Games 1962, Indonesia pun Bikin GANEFO
Moh. Habib Asyhad October 24, 2025 01:34 PM

Indonesia kembali berurusan dengan komite Olimpiade IOC terkait Israel. Dulu, pada zaman Sukarno, urusan ini melahirkan apa yang kita kenal sebagai GANEFO.

---

Intisari hadir di whatsapp channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Indonesia kembali berurusan dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Pangkalnya adalah karena Indonesia menolak visa bagi atlet senang Israel dalam Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta.

Karena itulah, IOC melarang Indonesia menggelar ajang olahraga internasional untuk beberapa tahun ke depan.

Sebagaimana disinggung di awal, ini tentu bukan yang pertama. Pada zaman Orde Lama, organisasi yang sama juga pernah menskors Indonesia karena menolak kehadiran kontingen Israel – dan Taiwan – dalam ajang Asian Games 1962. Skors itulah yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai Games of the New Emerging Forces (GANEFO) – yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti pesta olahraga negara-negara berkembang – setahun kemudian.

Indonesia tolak beri visa ke atlet Israel

Sebagaimana disebut di awal, semua berawal ketika pemerintah Indonesia menolak memberi visa kepada atlet senam asal Israel yang dijadwalkan akan tampil pada Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025. Menurut keterangan resmi Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, keputusan itu diambil sesuai sikap politik luar negeri Indonesia.

"Pemerintah Indonesia tidak akan memberikan visa kepada atlet Israel yang berniat untuk hadir di Jakarta mengikuti kejuaraan senam artistik dunia yang akan diselenggarakan pada tanggal 19–25 Oktober yang akan datang," kata Yusril, Kamis, 9 Oktober 2025, kemarin.

Dia juga menjelaskan bahwa keputusan itu sejalan dengan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan Indonesia tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sebelum mengakui kemerdekaan Palestina.

Dan benar saja, Indonesia pun mendapatkan akibatnya. Sebagai respon, IOC kemudian mengeluarkan keputusan tegas bertanggal 22 Oktober 2025. Dewan Eksekutif IOC meminta seluruh federasi olahraga dunia untuk tidak menyelenggarakan ajang internasional di Indonesia. Dengan keputusan itu, mimpi Indonesia menjadi tuan rumah Olimpiade 2036 kemungkinan besar pupus.

“Semua atlet, tim, dan ofisial olahraga yang memenuhi syarat harus dapat berpartisipasi dalam kompetisi dan acara olahraga internasional tanpa diskriminasi apa pun dari negara tuan rumah," tulis pernyataan resmi IOC, dikutip dari Kompas.com, Kamis (23/10).

Pernyataan ini sesuai dengan Piagam Olimpiade dan prinsip-prinsip dasar non-diskriminasi. IOC juga disebut sudah menutup dialog dengan Komite Olimpiade Indonesia (NOC).

Tak hanya itu, IOC juga memutus sementara komunikasi dengan NOC Indonesia. Selain impian jadi tuan rumah Olimpiade 2036 pupus, Indonesia juga tak bisa jadi tuan rumah Olimpiade Remaja atau kejuaraan dunia lain di bawah payung IOC hingga ada jaminan partisipasi dari semua negara.

Meski begitu, dalam waktu dekat IOC meminta NOC Indonesia dan Federasi Senam Internasional (FIG) untuk datang ke Lausanne, Swiss. Tujuannya adalah untuk membahas permasalahan ini lebih lanjut.

Sementara itu, Menteri Pemuda dan Olahraga Erick Thohir mengatakan, kebijakan pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat dan berpijak pada kepentingan nasional. "Kami di Kemenpora, sebagai wakil Pemerintah Indonesia, berpegang pada prinsip untuk menjaga keamanan, ketertiban umum, dan kepentingan publik dalam setiap penyelenggaraan event internasional,” katanya.

Dia juga menambahkan bahwa langkah ini sesuai amanat UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, serta mencerminkan komitmen Indonesia menjaga ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.

Lalu bagaimana respon Federasi Senam Dunia?

Mereka disebut memahami apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah Indonesia. Sekretaris Jenderal FIG, Nicolas Buompane, menyatakan, meski kebijakan Indonesia bisa bertentangan dengan Piagam IOC, keputusan itu tetap dapat dipahami dari sisi keamanan dan situasi luar biasa.

"Menyangkut keamanan, baik Piagam IOC maupun Statuta FIG mencakup pasal-pasal mengenai memastikan partisipasi dan non-diskriminasi kepada semua atlet," terang Boumpane. "Namun, terdapat juga klausa mengenai force majeure dan keselamatan peserta.”

Menurut mereka situasi politik global yang sensitif terhadap isu Israel–Palestina memang kerap menimbulkan tantangan dalam penyelenggaraan olahraga internasional.

Lahirnya GANEFO

Sebagaimana disebut di awal, ini bukan pertama kalinya Indonesia berurusan dengan IOC terkat Israel. Pada Asian Games 1962 dulu, Indonesia juga melakukan hal hampir sama dengan sekarang: menolak kehadiran Israel – dan Taiwan – yang ketika itu dianggap sebagai representasi dari neokolonialisme.

Meski Asian Games 1962 di Jakarta tetap berlangsung, tapi IOC langsung menskors Indonesia. Menurut mereka, Indonesia telah melakukan apa yang bertentangan dengan semangat IOC: berusaha memisahkan politik dari olahraga. Bung Karno sendiri ketika itu menyebut ICO sebagai “alat kaum imperialis dan kolonialis”.

“Olimpiade telah terbukti secara terbuka menjadi alat imperialis … sekarang mari kita katakan dengan jujur, olahraga punya hubunga dengan politik. Indonesia sekarang mengusulkan untuk mencampur olahraga dengan politik, dan mari kita sekarang menyelenggarakan Pesta Olahraga Negara-negara Berkembang, GANEFO, [untuk] melawan Tatanan Lama,” ujar Bung Karno, sebagaimana dikutip dari Political History of the Olympics karya Jules Boykoff.

Tapi yang jelas, skorsing itu memastikan Indonesia tak bisa tampil di Olimpiade 1964 di Tokyo, Jepang. Dan sebagai respon, lahirlah GANEFO, pesta olahraganya negara-negara berkembang – IOC sendiri menyatakan tak mengakui GANEFO dan banyak federasi olahraga dunia yang melarang anggotanya ikut dalam ajang tersebut.

Panitia Ganefo mulai mempersiapkan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan pada 1963. Karena ada seruan dari IOC dan federasi-federsi olahraga dunia untuk tak hadir dalam ajang ini, akibatnya, negara yang diundang tak bersedia mengirimkan atlet terbaiknya karena khawatir mendapatkan sanksi tak bisa mengikuti Olimpiade Tokyo 1964.

Selain itu, negara yang diundang juga disebut tak mempunyai anggaran untuk mengirimkan atletnya ke Ganefo. Karena itulah Indonesia menyediakan tiket dan menanggung biaya-biaya lainnya bagi atlet yang datang ke Jakarta. Rombongan kesenian untuk hiburan juga dipersiapkan oleh Indonesia.

Ganefo diselenggarakan di Jakarta pada 10-22 November 1963, diikuti sekitar 2.700 atlet dari 51 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Hasilnya, prestasi dari ajang ini kurang memuaskan karena yang bertanding bukan atlet-atlet terbaik.

Penyelenggaraan pesta Ganefo pada 1963 membuat Indonesia tak diundang pada Olimpiade Tokyo 1964. Akhirnya, Indonesia melakukan boikot dengan tidak berpartisipasi pada Olimpiade Tokyo, meski yang dilarang hanya cabang olahraga atletik. Seluruh delegasi yang berjumlah sekitar 200 orang terpaksa pulang ke Tanah Air.

Secara umum, GANEFO sudah dua kali diselenggarakan. Penyelenggaraan pertama di Jakarta pada 10-22 November 1963, sebanyak 2.7000 atlet dari 51 negara ikut menjadi pesertanya.

Penyelenggaraan kedua harusnya di Kairo pada 1967, tapi karena satu dan lain hal, dimajukan pada 1966 di Phnom Penh. Penyelenggaraan ketiga sedianya dilangsungkan pada Beijing pada 1970, sempat dipindah ke Pyongyang, tapi sampai kali ini tak pernah terjadi.

Berbicara tentang Ganefo 1963 artinya berbicara tentang Proyek Mercusuar Bung Karno. Proyek Mercusuar Sukarno adalah proyek pembangunan ibu kota agar mendapat perhatian dari luar negeri.

Proyek ini dibangun dengan tujuan agar dapat memfasilitasi Ganefo sebagai tandingan Olimpiade serta untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang besar. Dalam Proyek Mercusuar, Sukarno mencanangkan enam proyek yang dia bangun.

Namun proyek ini mengorbankan perekonomian semakin buruk karena adanya pembengkakan biaya.

Sejatinya, Proyek Mercusuar Bung Karno dimulai sejak ditunjuknya Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games pertama tahun 1962. Untuk mendukung penyelenggaran Asian Games, maka lahirlah bangunan-bangunan yang menjadi Proyek Mercusuar Sukarno.

Tujuan Sukarno membentuk Proyek Mercusuar adalah agar Indonesia mendapat perhatian dari dunia internasional.Ketika itu kondisi Indonesia tidak memiliki tempat untuk menyelenggarakan acara olahraga terbesar benua Asia yang diikuti 17 negara.

Namun, meski kondisi Indonesia tengah tidak mendukung dan sedang dilanda krisis keuangan, Sukarno tetap bersikukuh. Bagi Presiden Sukarno, momen Asian Games 1962 adalah sebuah bukti untuk dunia luar, bahwa Indonesia adalah negara yang besar dan tidak dipandang sebelah mata oleh negara lain.

Hanya dalam waktu empat tahun sejak pertunjukan Dewan Federasi Asian Games tanggal 25 Mei 1958, Presiden Sukarno merasa wajib untuk mewujudkan Jakarta agar dapat memberikan tampilan wajah Indonesia kepada dunia.

Enam Proyek Mercusuar yang terealisasikan pada masa kepresidenan Ir. Sukarno yaitu:

- Stadion Gelora Bung Karno (GBK)

Pada 1956, Sukarno sempat berkunjung ke Moskow. Sewaktu di sana, ia sempat melihat kemegahan Stadion Lenin. Bermula dari situ, Sukarno pun memiliki ide yang sama untuk membangun Stadion Senayan atau GBK dengan konsep kemegahan, kekokohan struktur, serta artistik dari Stadion Lenin.

Rancangan Stadion GBK dikerjakan oleh LS Tyatenko, arsitek yang mengerjakan desain Stadion Lenin. Secara keseluruhan, pembangunan kompleks olahraga Senayan menelan biaya 12,5 juta dollar AS. Sumber pendanannya dibantu dengan kredit yang diberikan Uni Soviet.

- Hotel Indonesia

Hotel Indonesia juga dibangun untuk menyambut Asian Games 1962. Hotel Indonesia menjadi hotel berbintang pertama yang dibangun di Jakarta, dengan 14 lantai menjuntang ke atas.

Proyek pembangunan Hotel Indonesia ini dibiayai dengan dana hasil Perjanjian Pampasan Perang dari Jepang yang resmi dibuka tanggal 5 Agustus 1962.

- Jembatan Semanggi

Demi mengantisipasi kemacetan lalu lintas saat Asian Games berlangsung, Sukarno membangun Jembatan Semanggi. Sukarno memilih nama Semanggi karena bentuk jembatan yang dibangun oleh Menteri PU Ir Sutami yang menyerupai daun Semanggi.

Jembatan Semanggi diklaim sebagai cloverlef bridge terbesar di Asia Tenggara yang diresmikan tahun 1962.

- Monumen Selamat Datang

Patung Selamat Datang dibuat oleh Edhie Sunarso tahun 1961 sebagai bentuk simbolis penyambutan para tamu mancanegara. Semua tamu asing yang datang ke Jakarta dan langsung menuju Hotel Indonesia akan langsung melihat patung Selamat Datang ini di depan mereka.

- Monas

Presiden Sukarno memerintah pembangunan Monas pada 17 Agustus 1961. Sukarno ingin Monumen Nasional berada tepat di depan Istana Merdeka sebagai simbol perjuangan rakyat. Akhirnya, Monas dibangun di Lapangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat. Pembangunan Monas berhasil dibangun dan dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975.

- Gedung DPR/MPR

Pembangunan Gedung DPR/MPR secara resmi dibuka tanggal 8 Maret 1965. Pembangunan gedung ini dimaksudkan untuk gelaran Conference of the New Emerging Forces (Conefo) pada 1966. Selain itu, pembangunan gedung DPR/MPR juga sebagai bentuk ambisi Sukarno dalam menegaskan dan mengukuhkan kemerdekaan Indonesia melalui bentuk fisik.

Akhirnya, gedung DPR/MPR resmi dibuka melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 48.

Semua pembangunan dalam Proyek Mercusuar ini membuat beban anggaran sangat melonjak. Akibatnya, terjadi krisis ekonomi di masa kepemimpinan Sukarno. Kebutuhan sehari-hari sulit dipenuhi dan inflasi juga meningkat tajam.

Kendati demikian, Sukarno tetap melanjutkan Proyek Mercusuarnya untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang besar.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.