Mikroplastik dalam Air Hujan di Jakarta – 'Bukan Air Hujannya yang Berbahaya, tapi Udaranya'
BBC NEWS INDONESIA October 24, 2025 03:40 PM
Mikroplastik dalam Air Hujan di Jakarta – 'Bukan Air Hujannya yang Berbahaya, tapi Udaranya'
Ada serat plastik dalam pakaian berbahan poliester yang mungkin sering Anda kenakan, hingga serat ban mobil di jalan, dalam air hujan di pesisir Jakarta, menurut penelitian BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Namun, bahaya yang mengintai bukan dari air hujannya, melainkan partikel-partikel mikroplastik yang tak kasat mata di udara dan bisa dihirup manusia, sebelum air hujan 'membersihkan' udara di sekitar kita di ibu kota.
Kabar baiknya, menurut ahli, air hujan itu pada umumnya cenderung tidak berbahaya.
Namun, kabar buruknya, udara yang mengandung mikroplastik dan terhirup manusia bisa membahayakan sistem pernapasan.
Penelitian itu berlangsung pada 2022 selama 12 bulan dan dari sampel yang dikumpulkan terdapat tiga sampai 40 partikel, atau rata-rata sekitar 15 partikel per meter persegi setiap hari.
"Jadi bayangkan kalau ada rumah seluas 1.000 meter persegi, bisa jadi 15.000 partikel jatuh ke dalam rumah itu," ujar Muhamad Reza Cordova, peneliti BRIN dan ahli mikroplastik yang meneliti partikel-partikel itu dalam satu dekade terakhir.
Perbesar
Sampah plastik yang telah dicacah dan akan diolah menjadi furnitur.
Menurut , mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 mm. Sementara sampel yang ditemukan dalam riset itu, berukuran mulai dari 200 mikron, tolok ukur yang lebih kecil dari milimeter, butuh alat bantu seperti mikroskop untuk melihatnya.
Sejumlah kalangan menyebut mikroplastik sebagai nanoplastik hingga partikel nano karena ukurannya yang tidak bisa langsung dilihat dengan mata telanjang.
Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan dalam riset itu, menurut Reza, berbentuk serat seperti benang, terutama material-material plastik sintetis seperti poliester dan nilon. Ada pula serat lain yang diduga berasal dari putung rokok.
Partikel lainnya yang ditemukan adalah polimer yang terkait dengan ban kendaraan.
"Ada unsur Polybutadiene, itu adalah bahan sintetis yang digunakan untuk membuat ban kendaraan," ungkap Reza.
juga mengungkap keausan ban kendaraan menyumbang sekitar 28% dari total mikroplastik yang memasuki lingkungan secara global, yakni sekitar 6 juta ton per tahun.
Mikroplastik ini dilepaskan dari abrasi ban dan ditemukan di tanah, air dan udara.
Mikroplastik yang ditemukan dalam penelitian BRIN erat kaitannya dengan aktivitas manusia di darat. Sehingga lambat laun lepas terangkat ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, atau terbawa angin dan melayang di udara hingga bisa terhirup manusia.
Bagaimana mikroplastik bisa ada di dalam air hujan?
Mikroplastik dalam pembentukan hujan, belum bisa dibuktikan dalam penelitian BRIN itu.
"Butuh riset yang lebih panjang untuk membuktikan apakah memang uap air uang menguap pada saat proses pembuatan awan hujan itu mengandung mikroplastik atau tidak," jelas Reza.
"Yang jelas, mikroplastik berada di antara awan dan daratan," tambahnya.
BRIN menggunakan sebuah alat yang disebut perangkap hujan steril yang diletakkan di atas gedung setinggi 28 meter di pesisir Jakarta. Dalam prosesnya, tak hanya air hujan yang masuk ke alat itu, partikel lain seperti debu dan uap air juga bisa masuk ke alat itu.
Sampel yang ditemukan kemudian disaring dan diperiksa di laboratorium.
Perbesar
Mikroplastik ditemukan dalam air hujan di pesisir Jakarta, menurut penelitian BRIN.
Gambaran awamnya seperti ketika seseorang menampung air hujan di dalam ember, kerap kali ada residu debu menumpuk di dasar ember. Residu tersebut berasal dari debu yang ikut masuk ke dalam ember ketika rintik hujan mulai membasahi Bumi.
Seperti debu, Reza mengatakan "posisi mikroplastik mengambang, melayang di udara kemudian pada saat air hujan turun, tetesannya mendorong mikroplastik ke bawah."
Menurut Reza, air hujan yang mengandung mikroplastik, pada umumnya tidak bersifat racun di luar tubuh manusia. Sebab, mikroplastik merupakan pencemar fisik atau zat dan benda asing yang mencemari lingkungan.
Namun, Reza mengingatkan, masyarakat juga perlu waspada, karena partikel mikroplastik tak kasat mata itu melayang di udara.
"Partikel mikroplastik ini bisa masuk secara langsung lewat saluran pernapasan pada saat udara kering, atau tidak sengaja terkonsumsi."
Di Jakarta—yang menjadi lokasi penelitian—indeks kualitas udara relatif buruk.
Dalam keadaan lingkungan yang kering, polutan-polutan lain di udara menempel di partikel mikroplastik karena bahan adhesif yang ditambahkan pada saat proses produksi plastik.
Sehingga, risiko gangguan saluran pernapasan dapat berlipat ketika seseorang menghirup udara 'kombo polutan dan mikroplastik'.
Namun, keadaannya berbeda ketika hujan turun. "Sebenarnya air hujan berfungsi untuk membersihkan [udara]," tambah Reza.
Waspada mikroplastik dalam udara yang kita hirup
Dalam sejumlah , mikroplastik dapat masuk ke sistem tubuh manusia melalui saluran pencernaan, permukaan kulit, hingga saluran pernapasan.
Mikroplastik juga sudah masuk ke hingga .
Penelitian BRIN bisa jadi pengingat tentang efek berulang 'udara mikroplastik' yang bisa dihirup manusia setiap harinya.
Dalam lainnya pada 2018 lalu, mikroplastik terdeteksi dalam debu yang jatuh dari atmosfer di area Paris dan sekitarnya. Penelitian itu menyebut penghirupan serat dan partikel mikroplastik seringkali menyebabkan sesak napas, akibat respons peradangan di saluran napas dan paru-paru.
Meski, menurut WHO, perlu lebih banyak penelitian untuk mengetahui dampak mikroplastik di dalam tubuh manusia.
Menurut dokter spesialis paru, Wiwin Is Efendi, ada efek paling ringan hingga jangka panjang jika seseorang sudah terpapar mikroplastik di udara. Apalagi mikroplastik itu bergabung dengan polutan udara lainnya dalam bentuk PM2.5 dan PM10.
"Kalau sistem mukus kita sudah mendeteksi ada jumlah tertentu mikroplastik yang masuk dalam saluran pernapasan, maka sistem itu akan memberikan sinyal seperti patuk dan untuk mengeluarkannya," kata dokter Wiwin ketika menggambarkan gejala paling ringan paparan mikroplastik saat terhirup manusia.
Perbesar
Dokter spesialis paru menyarankan untuk mengenakan masker ketika berada di luar ruang.
Jika terpapar terus-menerus, kata dokter Wiwin, efeknya bisa mencapai tahap kronis, "mulai dari penyakit paru obstruktif kronis, sehingga saluran pernapasan itu menjadi sempit, dan di parunya sndiri bisa terjadi kerusakan."
Risiko terparah, menurutnya, adalah kanker paru.
Kondisi ini juga berpengaruh bagi kelompok masyarakat yang sudah memiliki penyakit bawaan. "Orang-orang yang sudah punya asma, dan terpapar partikel [mikroplastik], asmanya juga bisa kambuh," terang dokter Wiwin.
Mikroplastik akan memperparah keadaan orang-orang yang punya komorbid atau penyakit-penyakit penyerta dan para manula, menurut dokter Wiwin.
"Karena kemampuan sistem tubuh, untuk 'membuang' mikroplastik dari dalam tubuh juga sudah berkurang," ujarnya.
Dia menambahkan, dalam keadaan normal, sistem pertahanan tubuh seseorang akan bereaksi ketika benda asing termasuk mikroplastik masuk dalam tubuhnya, dan membuang benda asing itu, salah satunya melalui saluran pencernaan.
Lewat keadaan itu, dokter Wiwin menyarankan seseorang yang berada di lingkungan dengan kualitas udara yang buruk untuk mengenakan masker. Praktik yang sama yang bisa dilakukan ketika masa pandemi Covid-19.
Sementara langkah lain yang bisa dilakukan adalah menjaga daya tahan tubuh dengan asupan makanan yang bergizi dan berolahraga, sehingga pertahanan tubuh dalam kondisi siap ketika ada 'serangan' mikroplastik masuk ke dalam tubuh kita.