1.593 Hoaks di 1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Sasar Menteri hingga Pertamina
kumparanNEWS October 24, 2025 03:40 PM
Sebanyak 1.593 kasus hoaks muncul di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Temuan ini merupakan hasil riset yang dilakukan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) sepanjang 21 Oktober 2024 hingga 17 Oktober 2025.
Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho, mengungkapkan ada tren yang mengkhawatirkan dalam pola penyebaran disinformasi di Tanah Air. Terlebih keberadaan deepfake, kata dia, meningkat drastis terutama dalam produksi konten yang bermuatan politik dan sosial.
“Selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, hoaks terus diproduksi dan berevolusi, menyusup di setiap gap regulasi dan gap literasi digital masyarakat. Evolusi dalam bentuk konten deepfake yang mudah diproduksi namun semakin sulit dideteksi, sudah mengadu domba masyarakat Indonesia,” ungkap Septiaji dalam keterangannya dikutip kumparan, Kamis (23/10).
Perbesar
Ketua Mafindo, Septiaji Eko Nugroho. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Salah satu contohnya, kata Septiaji, adalah konten deepfake Sri Mulyani soal guru yang akhirnya memantik kemarahan masyarakat dan berujung pada penjarahan. Selain itu, lanjutnya, ada pula deepfake Ibu Ana yang berkerudung pink, dibuat untuk mendelegitimasi kelompok aksi penyampaian aspirasi.
Menurutnya, hal lain yang juga perlu diwaspadai adalah scam. Scam, kata dia, merupakan salah satu jenis hoaks yang jarang dibahas tuntas di media. Padahal, lanjutnya, korbannya justru sangat masif dan bisa menimpa orang terdekat.
"Temuan Mafindo, scam semakin canggih, sudah mulai memanfaatkan AI, menggunakan big data dari hasil kebocoran data pribadi, ini membuat scam ancaman serius bagi siapa pun.” ungkapnya.
Pertamina Ikut Jadi Sasaran Hoaks
Selain politik, isu ekonomi dan energi juga menjadi sasaran hoaks sepanjang satu tahun pemerintahan Prabowo. Mafindo mencatat Pertamina jadi entitas BUMN yang paling banyak jadi sasaran hoaks.
Menurut Mafindo, hoaks yang menyasar BUMN memanfaatkan emosi publik terhadap isu ekonomi. Tujuannya tak lain adalah menurunkan kepercayaan terhadap BUMN strategis seperti Pertamina.
Berikut ini adalah hoaks-hoaks yang menimpa Pertamina
Hoaks "Erick Thohir Jadi Tersangka Korupsi Pertamina, Resmi Dipecat Prabowo".
Hoaks "Pertamina membagikan kompensasi Rp1,5 juta untuk korban Pertamax oplosan"
Hoaks Video: “Pemusnahan Tabung LPG 3 Kg, karena kebijakan Kementerian akan diganti menggunakan DME”
Perbesar
Hoaks Selama 1 Tahun Pemerintah Prabowo-Gibran. Foto: Dok. Mafindo
Berdasarkan analisis Mafindo, hoaks yang menimpa Pertamina ada pada persoalan subsidi, kebijakan publik, BBM, SPBU, maupun monopoli. Salah satu hoaks yang muncul, misalnya, terkait dengan video SPBU Pertamina yang dibakar karena kebijakan motor mati pajak tak boleh mengisi bensin.
Padahal setelah ditelusuri, video tersebut rupanya merupakan peristiwa kebakaran di SPBU Pertamina, Kecamatan Simpang Kiri, Aceh. Kebakaran itu terjadi pada 10 Oktober 2024. Jadi, bukan karena dibakar massa akibat kebijakan motor mati pajak. Konten itu pun diklasifikasikan sebagai missleading content.
Perbesar
Hoaks Selama 1 Tahun Pemerintah Prabowo-Gibran. Foto: Dok. Mafindo
"Pertamina adalah penyedia utama Bahan Bakar Minyak dan LPG di Indonesia, yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Isu sekecil apa pun terkait ketersediaan, harga, atau kualitas produk ini dapat langsung memengaruhi jutaan orang dan memicu reaksi publik yang kuat, sehingga sering menjadi sasaran hoaks," kata Septiaji ke kumparan, Jumat (24/10).
Facebook dan TikTok Jadi Sumber Hoaks Terbanyak
Mafindo mencatat, Facebook masih menjadi saluran utama penyebaran hoaks. Hampir setengah dari total hoaks beredar di platform ini yaitu 727 konten (45,6%). Hal ini menunjukkan bahwa Facebook masih menjadi ruang dominan bagi penyebaran informasi politik, isu sosial, dan ekonomi, terutama di kalangan masyarakat usia dewasa.
Sementara itu, di posisi kedua ada TikTok dengan pertumbuhan hoaks signifikan yaitu 366 konten (23%). Menurut catatan Mafindo, platform ini menjadi lahan subur bagi hoaks berbentuk video pendek emosional dan provokatif, yang mudah viral terutama di kalangan muda.
Narasi Hoaks Terbanyak: Pipe Dream
Mafindo lalu memetakan tipe-tipe narasi hoaks. Nah, pipe dream merupakan tipe narasi hoaks yang terbanyak selama satu tahun masa pemerintahan Prabowo yaitu 831 hoaks (52,2%). Narasi hoaks tipe ini berusaha menggiring harapan palsu kepada publik, seolah-olah pemerintah akan atau telah melakukan sesuatu yang spektakuler, padahal tidak benar.
Misalnya informasi yang beredar bahwa pemerintah membuka lowongan kerja besar-besaran, pinjaman tanpa bunga koperasi merah putih, dan lain sebagainya. Hoaks tipe ini berfungsi untuk membangun persepsi positif semu terhadap kebijakan pemerintah atau tokoh tertentu.
Tipe narasi hoaks terbanyak kedua adalah wedge driver yaitu 601 hoaks (37,7%). Ini mencakup narasi yang bertujuan memecah belah masyarakat, biasanya dengan memunculkan konflik antarkelompok sosial, politik, atau agama.
Jenis hoaks tersebut banyak menyerang isu politik identitas, perbedaan pendapat terhadap kebijakan ekonomi, serta isu elite politik vs rakyat kecil. Tujuannya adalah menciptakan ketidakpercayaan publik dan mengganggu stabilitas sosial.
Perbesar
Hoaks Selama 1 Tahun Pemerintah Prabowo-Gibran. Foto: Dok. Mafindo
Sementara itu, tipe narasi boogies mencapai 133 hoaks (8,3%). Hoaks seperti ini sering menimbulkan kekhawatiran publik terhadap kondisi ekonomi, keamanan, atau isu global yang dianggap akan berdampak buruk bagi Indonesia. Misalnya, isu bahwa “utang negara tak terkendali”, “investasi asing hengkang karena kebijakan pemerintah”, atau “pemerintah akan menjual aset BUMN”.
12,7 Persen Hoaks Menggunakan AI
Hal lain yang menjadi catatan Mafindo adalah penggunaan AI dalam hoaks sepanjang pemerintahan Prabowo. Tercatat bahwa konten hoaks yang menggunakan AI mencapai 202 konten atau 12,7 persen.
Meski penggunaan AI tidak terdeteksi dalam sebagian besar hoaks yang beredar (86,7%), tetapi teknologi AI telah menjadi senjata baru dalam penyebaran disinformasi. Contohnya adalah kasus 'Guru Beban Negara' yang seolah-olah diucapkan Sri Mulyani, padahal itu merupakan deepfake.